Impian memiliki rumah tangga harmonis ternyata harus berakhir di usia pernikahan yang ke 24 tahun. Handi sosok suami yang di harapkan bisa melindungi dan membahagiakannya, ternyata malah ikut menyakiti mental dan menghabiskan semua harta mereka sampai tak tersisa. Sampai pada akhirnya semua rahasia terungkap di hadapan keluarga besar ayah dan ibu Erina juga kedua anak mereka yang beranjak dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Enigma Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin jelas
"Selamat datang pakle dan bule Radi, adik adik dan Dito ponakan pakde yang makin pintar," ucapan sambutan dari mas Tono mengawali kedatangan kami di kampung halaman bapak mertua.
Akhirnya sampai juga. Setelah beberapa jam dari rumah makan tadi, rasanya ingin segera rebahan di kasur empuk. Tapi sepertinya gak akan bisa. Kasur yang paling bagus dan terlihat empuk itu sudah di kuasai mas Yoga dan keluarganya. Yang tersisa hanya karpet besar plus 6 tumpuk bantal kapuk. Ini sudah yang kedua kali aku menginap di rumah tua ini. Rumah peninggalan orang tua bapak mertua. Rumah yang cukup besar. Banyak kamar. Tapi kami selalu memilih tidur di ruang tengah. Agar bisa saling bercerita satu sama lain.
Suatu pagi sehari sebelum hari raya Idul Fitri....
"Kamu beres-beres di sini aja ya Er. Gak usah ikut. Ibu sama mba mu mau ke toko emas,"
Ibu mertua sibuk menghitung lembaran warna merah yang ada di dalam dompetnya
"Erina di ajak aja bulik, sekalian jalan-jalan" mba Dewi mengambil tas kecil dari atas kulkas 2 pintu peninggalan orangtua bapak
"Kalau di ajak juga buat apa. Kan dia ndak bakal bisa beli emas. Wong Handi sudah ndak kerja Wi... Makan aja masih dari pakle. Kalau ibu, Maya sama Lita sudah pasti mau beli emas," ibu menjawab saran mba Dewi istri mas Tono
Mba Dewi tampak terkejut mendengar jawaban ibu. Dia menatapku dari pintu dapur dan tersenyum. Serba salah. Itu yang dapat di artikan dari tatapannya kepadaku.
"Ayo Maya...Lita... kita pergi sekarang. Mumpung masih jam 8. Belum ramai di sana."
"Ayo Er, ikut mba. Kita jalan-jalan sambil lewat pasar nanti. Sambil cuci mata, banyak yang di lihat di pasar nanti," mba Lita menarik tanganku.
Aku dan mba Lita berjalan di belakang ibu dan mba Maya. Untung saja Dito ikut ayahnya pagi-pagi tadi ke dermaga untuk membeli ikan laut di TPI (tempat pelelangan Ikan)
"Selamat datang bude Radi dan mba Maya. Kata ibu semalam bude mau beli emas ya..." mba Tutik menyambut kedatangan ibu di toko emas tempatnya bekerja.
"Halo Tutik...iya nih, bude mau beli emas yang kadarnya 24k. Ada ndak ya?"
Tak berapa lama aku dan mba Lita masuk ke dalam toko. Dan mba Lita langsung memilih gelang yang akan di beli.
Sementara itu, aku hanya diam dan melihat lihat model kalung emas yang di pajang di etalase toko.
"Silahkan di pilih... Mau beli yang mana ya mba," sapa seorang karyawan toko emas kepadaku.
Aku tersenyum, tapi tiba-tiba ibu datang menghampiriku.
"Maaf mba, ini mantu saya. Ndak beli emas kok dia. Cuma lihat-lihat saja. Dia ndak punya uang buat beli emas. Ke sana aja mba, ambilkan buat saya kalung yang 10gram," ibu langsung berjalan ke arah mba Lita.
"Mmm... Mohon maaf mba, saya tinggal ke sana dulu ya mba"
"Oh, iya mba. Silahkan"
Dadaku terasa sesak. Aku mencoba tenang dengan menarik nafas panjang. Tampak ibu, mba Maya dan Mba Lita sedang sibuk memilih emas. Tanpa berpamitan diam-diam aku beranjak keluar dari toko dan ber jalan kaki arah pulang ke rumah peninggalan orang tua bapak mertua.
Pandanganku terasa agak buram, nafasku tersengal sengal. Nasib baik aku cepat tiba di rumah bapak. Dan untungnya gak ada orang di dalam. Aku segera menutup pintu dan berlari ke kamar mandi. Membuka kran air agar terdengar suara air mengalir. Aku menangis se puas-puasnya. Sakit... Sangat sakit rasanya di perlakukan seperti itu di depan umum. Aku seperti tidak ada harga diri. Ibu mertua bisa setega itu memperlakukanku . Entah apa yang akan terjadi besok di acara pernikahan saudara bapak.