Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.
Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.
Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.
Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.
note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 22 Main Drama
Cpphh..! Jihan mengecup bibir Ira. "Gue pergi dulu, Ra."
"Hu-um. Ati-ati, kak Peri."
"Sip. Cuma lo yang gak nyebut gue miss Blonde, Ra. Boleh sih lo bilang gue miss Bihun juga."
"Haha. Mana ada, Kak. Gak mau."
"Bonus.."
Ira merem mata. Jihan melabuhkan bibirnya lagi di bibir si fresh girl.
Chyaap..!
Cpphhh! Ira membalas lumat yang ada dengan sama lembut.
Sementara itu, Dito memulai briefing dengan Helen dan Nana.
"Nana, Helen, tolong bantu gue. Ada masalah soal medan Higgs. Kalian harus ngulang imej di lokasi seberang ini. Demi temlen kalian. Pola brangkas masih gak aman dari Henpar. Trus dikarenakan temlen masih terputus dari Server, terpaksa kita harus memperbaiki ini secara manual. By hand."
"Bentar Dit. Kak, bener nih, lo mau tanggung perbuatan gue, ngawinin jins sama kartunya?" tanya Phoenix Girl pada Jihan.
"Jalani, Bonin. Paduin mereka. Lo satu-satunya lusid yang stabil pas Phoenix ikut campur di bodi lo. Ketimbang nyatuin gue sama Waras yang emang udah gak akur lagi kalo bergabung bodi, Nana-Helen praktek lo berikutnya."
"Nih tanggung jawab lo ya?"
"Iya. Gue yang nanggung hukuman," tegas Jihan.
Blitz! Jihan langsung memberkas dan cahaya pusarnya tersebut sekilas membuat Ira terpejam mata setengah detik.
"Oke. Sini Na, Len, kalian pegang tangan gue secara misah. Kira dan kanan."
Nana dan Helen menyentuh tangan Nina, menuluskan permintaan. Seuap plasma oren mengalir dari kedua bahu Nina, mungkin energi sayap.
"..?!"
"Ngefek anjir."
"Diem. Gue pernah mental jauh waktu bagi-bagi begini," pinta Nina yang persis Sandrina Michelle ini.
"Kita berdua musti ngapain, Nin?" tanya Helen.
"Nunggu ledakan."
"Kalo-"
Blurrh!!
Nana tak sempat bicara, tiba-tiba muncul sulut api di depan Phoenix Girl. Fusion berhasil. Nina nyengir dikejutkan konslet apinya sendiri. "Hehe."
"Ke mana Nana?" tanya Helen, semunculnya langsung bingung sendiri.
"Udah privat. Cuma lo yang denger dia, Len."
"Oke. Valid." Helen dengan piyama barunya ini sudah sibuk mengamati jari tangan, mengepal-ngepal. "Kita bisa telkin Nan."
Tapi jika garis api sudah ditutup, apa teleportasi Jihan tadi akan sasar, salah alamat? Tidak. Garis Phoenix hanya cara cepat ke Enfield, bukan untuk ke tempat bebas, api tersebut sebuah portal umum yang tidak akan menguras tenaga Nina. Maka, teleportasi Jihan bebas dari pengaruh portal karena menggunakan tenaganya sendiri.
Jihan berani menyuruh Nina mungkin karena dia tahu kemampuan Nina, di mana sudah dapat menjangkau timeline Hen Hen dengan garis Phoenix, hanya dengan sarana umum. Sementara lusid lain masih perlu aksi path seperti yang Jihan lakukan.
Dan teori fusi barusan sukses, Helen dan Nana berpadu alias satu "kendaraan".
Di sini, di planet Helena, Jihan melayang-layang di atas magma yang menggelegak panas, mencari empunya garis-waktu. Jihan sengaja berputar-putar di area sebongkah logam ukuran rumah, mencari tanda-tanda Hen Hen.
Tapi benda di sana bukan sedang terapung melainkan sedang menempel di sekotak lantai yang Jihan sebut rakit.
Tadinya sebelum kejadian, pelat itu bukan rakit, lapisan tersebut muncul sendiri begitu rambut Jihan berubah putih.
Boleh dikatakan, logam tersebut sedang menempel di lantai force (gaya).
Hen Hen tidak muncul lagi di rakit tersebut. Entah berenang ke mana, sembunyi di mana.
Drrth! Drrth..! Logam Enfield bergerak-gerak.
"???"
DRRTH..!! Drrrgh!
"Notif," tatap Jihan.
Drrth-drrth..
Gwwth! Rakit menghilang. Seiring kejadian ini, muatannya yang sebesar dumptruck melayang ke atas.
"Lift," komen Jihan, tatapannya persis orang awam.
"Han..? Gimana?"
Cincin Jihan menyala-nyala, ponsel ala dunia jadi-jadian.
"Apanya?"
"Siskon di situ, Han?"
Cincin Jihan berkedip-kedip lagi.
"Ooh."
"Gimana?"
"Ng.. Gue belum nemuin Hen Hen, Dit. Planetnya ini.. ngng, lagi.. lagi naik. Iya. Lagi naik."
"Bengkak apa mengembang?"
"Ngembang."
"Oke. Kondusif. Kayak gitu densitas gravitasi bila sedang berkurang. Gak bakal ada daratan lagi. Kecuali habis kalibrasi ini ada polesan Server. Misalnya injeksi suhu atmosfer harus berapa. Oke, Han. Lanjutin pencarianmu. Gue saranin lo terhubung dengan Seha kalo sudah di dalam brankas."
Saat Jihan fokus mendengarkan, matanya teralih ke tempat rakit, ada tuyul hitam naik ke lantai force tersebut. Dia biarkan bongkaran logam melayang naik ke atmosfer menjauhinya.
"Hen!"
Menyadari seruan itu, siluet gundul meloncat lagi ke laut-magma. Byuur!
"Oke, thanks, Dit."
Zwwth! Bluuarggh..!!
Jihan melesat ke tempat Hen Hen masuk. Dan benar saja..
Blizt! Jihan muncul di daratan, tepat di depan sebuah pohon, di pinggiran jalan. Tapi lokasi tampak diliputi fatamorgana sejauh mata memandang, kota kecil ini bercitra seperti neraka, semua tanahnya penuh kobaran api.
Jihan masuk ke lawang persegi di depannya. Setibanya di dalam, dia melihat Hen Hen sedang berlari ke tepi danau. Jihan melihatnya lewat dindin rumah yang Hen Hen terobos dan segera meninggalkan aula ninja.
"Hen! Tunggu!"
Sampai di danau, Jihan turut masuk ke lawang persegi dengan cara yang sama, mengangkang sebagaimana orang masuk ke tembok yang bolong.
Tampak Jihan tidak mempedulikan rumah bambu yang ditinggalkannya yang mulai diliputi fatamorgana. Tampak tanah di sini pun mulai menyala kobaran apinya. Api merambah di mana-mana.
Jihan muncul di pom bahan bakar minyak. Dia langsung minta tunggu sambil mengejar Hen Hen. Yang di kejar menoleh ke belakang. Hen Hen mempercepat larinya.
Di sepanjang tol kedua pelari tak peduli dengan pemandangan yang ada, di mana tanah mulai membara dari titik portal ke segala arah.
Dhuaar! Ini mungkin ledakan tangki bawah tanah.
Sebelumnya Jihan pernah di jalur tol ini. Tapi kali ini dia bergerak biasa, tidak melayang. Entah kenapa.
Di bawah gawang rambu penunjuk kota, Hen Hen menoleh lagi ke belakangnya. Dia dapati Jihan masih lari memburunya.
Di kejauhan gawang ada lawang dimensi dan sesampai di depannya, Hen Hen naik memasukinya.
"Heeen! Ini guee! Stop!"
Hen Hen meneruskan larinya. Tak lama kemudian, Jihan sampai di objek apung tersebut dan melakukan hal yang sama, naik untuk masuk, tak peduli daratan di belakangnya berkobar jadi neraka.
"Hhh.. hh.. hh.."
Jihan ngos-ngosan di ruang makan ini. Dia membiarkan lubang dinding menciut. Jihan mengatur nafasnya, sementara ruangan rumah berubah transparan dari kontrasnya. Tidak ada sosok hitam yang sedang berlari, citra di sekeliling Jihan hanya menampakkan lantai putih yang sangat luas.
Ke mana Hen Hen bergerak?
"Sindemi.. hhh, hh. Cosami.. Hh, hh.. Tandesa.."
Gwiiith! Selapis layar hitam tampak di bawah kaki Jihan. Ini mungkin keset panggilan yang punya nama SCT (sindemi cosami tandesa).
"Turun..!"
Layar bergerak ke dalam lantai di ruangan maha putih ini. Senyap, tak ada bunyi roda mekanik atau desis hidrolik. Tak ada fatamorgana ataupun kobar api yang terlihat di sini.
Di perjalanan turun sejauh mata Jihan melihat, hanya ada kegelapan yang pekat. Jihan tengadah melihat sumber cahaya satu-satunya di sini, objek persegi yang menjauh itu pun menjadi satu-satunya indikator pergerakan keset.
"Cepetin.."
Gelap. Jihan hilang dari sorotan kamera.
"Duh.. mata gue."
Di lihat dari cincinnya yang bioluminescent, Jihan mengucek-ngucek mata.
30 menit kemudian.. kepekatan menyala dengan tiba-tiba. Claph! Jihan sampai di alamat turunnya; ruang dadu 516 senti meter kubik.
"Segini luasnya ya?"
"Ini tiga kali tinggi lo, Bos. Lima ratusan kubik. Siapa pun yang ada di brankas, volume ruangan always mengadaptasi tinggi eksplorer-nya."
Suara di seberang terdengar sama jenis dengan suara Jihan.
Jihan mendengarkan itu lewat cincin yang tersemat di jari manisnya.
"Sambungin gue ke si Sajen, Ras," pinta Jihan yang menutup kupingnya ini.
"Sudah."
"Sajen. Gue udah di posisi tukang copet akte. Denger gue?"
"Iya, bentar."
"Yang lo prediksi bener. Gue gak liat lorong ato sumur elevator. Ini ruang penjara, Ha. Gue udah di dalem brankas."
"Iya. Ayo kita colong tanah Helena. Lo buat patokan arah dulu, Kak. Dinding bakal kebuka sekalipun disentuh jidat. Hilang jadi lorong labirin."
"Gue jedukin ke mana?"
"Sentuh dulu batas kanan mana, batas kiri mana."
Jihan mulai bergerak ke samping. Sampai di depan dinding, Jihan menyentuhnya dengan tangan yang bercincin. Jihan kembali ke tengah ruangan, membiarkan dinding teropasiti jadi transparan.
Jihan bergerak ke kiri dan menyentuh dinding tujuan dengan tangan kiri. Dinding berubah jadi transparan. Jihan kembali ke titik tengah, membiarkan perubahan dinding yang berlangsung.
Sentuhan Jihan membuat halangan jadi membias hilang. Bahkan dengan cara mundur pun, dinding merespon Jihan yang menyingkap piyamanya saat ingin bersandar.
Jihan kembali ke posisi tengah dan terus berjalan ke depan. Sampai di tujuan, Jihan menaruh kepalanya ke dinding.
"Udah, Ha."
"Nah, ada lorong. Empat ruas. Kika-dekang ini aktif. Gravitasi hilang."
"Oke. Valid.. Gue ngambang tay-tay sekarang, Ha."
Jihan membiarkan tubuhnya melayang ke tengah ruangan.
"Normalnya gak gitu."
"Iya, terus apa Sajen? Gue gak bisa mode imej. Jadi drone."
"Normalnya dateng aer dari salah satu lorong. Versi copet, tunggu tiga bahaya memulai gamenya."
"Mari kita lihat nasib astronot bakal gima.. Whoaa!!"
Entah angin apa, belum sempat Jihan melihat, tubuhnya terdorong maju ke depan. Alhasil Jihan melaju sangat cepat di lorong Depan ini.
"Aaargh..!! Gimana lagiii..!!" jerit Jihan. "Kyaaa..!!"
"Baling-baling.."
"Hah?!"
GRRRRRRHH!! Putaran ini nyaris tak menampakkan bilahnya. Betapa cepat rotasi yang ada. Pusat kipas besar ini runcing.
Angin yang membawa Jihan semakin kuat mendorong. Korbannya melihat logam runcing yang terhunus.
"An*iing.. Berhentiiii.. Stooop..!! Kyaaa!!"
Sempat terlihat sayap api di punggung Jihan namun labil penampakannya alias gagal dipikirkan.
GRRRRHHH..!! Deru logam ini kian kencang terdengar.
"Kyyaaa... aaa!!"
Jraat..!! Darah terpancar di ujung logam, seketika.
"Ukkh!"
... kemudian angin lenyap.
Glith! Bilah-bilah kipas berubah menjadi dinding, namun pancang hidungnya yang panjang meruncing statis, membiarkan tubuh Jihan menggantung.
Jihan tersadar. Ada bunyi deru yang membangunkan. Samar-samar, Jihan mendapati dadanya sudah tertusuk besi, tapi..
"Akhh.."
DRRRRHH...!! Permukaan dinding ini penuh duri.
Suatu deru mendekat. Jihan panik, kesulitan melepaskan dirinya dari batang jarum. "Eghh! Ugh.. Eghh..!"
Jihan diam..
Di kejauhan lorong tampak sumber deru itu masih melaju.
"Anj*ng.. !! Eghh..! Eghh!"
Takh! Takh..!
"Ughh!"
Taakh!
Jihan memukul-mukul batang jarum, logam tersebut berubah-ubah isinya, namun tak juga membening statis jadi kaca saat Jihan pukuli.
DRRRRHH!!
"Akh.. Hhh, hh.. hh.."
Di ujung pegal, Jihan menyerah. Anehnya, saat tubuh Jihan melemas demikian, batang jarum membening.
Brugh..!!
... jadi air dan Jihan langsung jatuh.
"Ugh.. Bodi gue.. bolong, Ha."
"Danger next.. Sandwich."
"Iya.."
Jihan dengan punggung berlubang, bangun berdiri. Tak peduli dengan dagunya yang terlumur darah segar. Jihan sudah tak bisa ke mana-mana, selain didatangi laju dinding, Jihan sudah terkunci di sini, oleh baling-baling yang kini sudah berupa kulit Durian.
DRRRRHH!!
JRAKKH..!! Tubuh Jihan sukses digencat.
"Whoah..!!"
Kegelapan yang datang langsung mengejutkan Jihan. Dia masih di tempatnya namun mendapati serpihan tubuhnya di lantai. Laju dinding tadi seolah meledakkan patung begitu kontak dengan batasnya.
"Hhh, hh.. hh, hh. Sadis emang kalo udah di brankas."
"Gue lihat peta prediksi. Inti labirin dinamis."
"Terus..?"
"Tuan rumah datang."
Dinding di depan Jihan, tepatnya dinding Punggung, membias sendiri jadi transparan. Jihan melihat seseorang bediri di sana.
Tubuh Hen Hen berubah dari siluet botak jadi gadis berbaju lusuh dan rambut acak-acakan. Penampilan Hen Hen sudah tak terurus. Di tangannya ada sebuah pelat yang bersinar.
"Valid. Dia lagi megang akte, Ha," beritahu Jihan pada cincinnya yang sudah seperti microphone.
"Bilang aja. Kenapa dia lari."
"Kenapa lo lari?"
"Lihat sendiri."
"Liat sendiri.."
"Gue bukan ahli."
"Gue bukan ahli.."
".. brankas."
"Brankas."
Dinding kanan menghilang. Gwiiith!
"Tinggalin tempat. Cepat..!'
Jihan bergerak ke lorong yang baru terbuka, lari sesuai arahan Seha.
Gadis remaja ini menghilang. Namun benda tipis yang dipegangnya tetap tinggal dan mengambang di udara, di ruang gelap.
"Lari terus?"
"Yup. Air. Ntar ngebakar badan kalo lo terkejar."
"Shut up..!"
Jihan tetap bergerak menapaki lorong putih ini. Belum ada deru bahaya yang didengarnya namun Jihan tampak tahu alasan larinya untuk apa.
"Terserah. Lo berarti percaya peta ini."
"Aaaarh!!"
"Dua puluh dua per jam. Terus."
"Aaa... aaarh!"
"Dua puluh lima.."
"Aaa!!"
"Tiga puluh.."
Drrghhhh...!
Prang! Prang..! Praang..!
Di kejauhan dinding kiri dan kanan pecah tertekan air yang masuk dan membanjiri lorong. Satu persatu pecah, per blok di sepanjang lorong.
"Dua puluh sembilan.."
"Aaargh!!"
"Tiga puluh.. Tetapkan kecepatan ini."
Jihan belum berhenti bergerak walau pun sempat turun kecepatannya. Dia tetap berteriak.
"Tiga puluh satu.."
Praang! Brang! Pring!! Deru pecah semakin mengganas. Yang tadi selaras kini bunyi-bunyian tersebut seperti dipaksa ada, pecah di luar waktunya.
Klaang!! Traang! Ini bukan lagi bunyi kaca yang pecah tapi bunyi logam yang patah.
Klontang..! Byuur..!!
"Aaargh!"
Air dan pecahan kaca kini tepat di belakang Jihan. Melaju dua puluh lima kilometer per jam.
"Naikkan ke tiga puluh lima.. Dua lagi."
"Aaargg!!"
Klontang!! Rrrssskkhh..!!
Satu petak yang baru Jihan lalui langsung melemparkan pecahannya. Ruang tersebut terpancar deras air yang bocor.
"Tiga puluh tiga.."
Jihan diam tak bersuara.
Gontaang!! Dinding blok jebol seketika.
"Tiga puluh empat.."
Sampah-sampah kaca yang terbawa arus kemudian menyala. Semuanya rata-rata panjang dan runcing.
Apa mungkin akan meledak?
"Tiga puluh lima.. tiga puluh enam.."
Wtthh! Wtthh..! Cahaya runcing tersebut langsung melesat.
Tepph! Taph..!! Sayangnya menancap di lapisan dinding baru milik blok tersebut. Jihan tetap lari meninggalkan titik 36 km/jam ini.
"Oke.. sip. Cukup. Lima kilo per jam. Jangan berhenti. Gue sambungin ke semangat lo."
Jihan masih berlari.
"Kak.. Nih aku. Tadi keren. Aku nonton. Aku deg-degan banget.."
Jihan memperlambat gerakan kakinya. Dia kini melangkah biasa.
Sambil jalan, Jihan mengecup lampu yang melingkar di jari. Chhpp!!
"Awas Kak.."
Ngueng!
"Eh, buset..! Kereta dimasukin segala. Kampret. Niat banget," komen Jihan atas balas dendam yang ada.
Jsshh! Jssh!! Jeeshhh..!
"Info speed dong, Ra. Kaget gue.. Hadeh. Niat banget anjir."
"Lima kilometer, Kak. Iya. Hampir aja kena."
Chppp!!
Jihan mengulang aksinya, mencium jari. Kali ini tak ada bahaya. Bahkan tak ada gema suara.
Jihan masih tak melihat ujung goa persegi yang ditelusurinya ini. Lorong yang ditapaki masih tampak panjang hingga ujungnya seperti titik yang gelap.
"Kejar Kak."
"??"
Takh..! Takh! Takh..!
Bayangan transparan muncul. Ini remaja berambut gelandangan tadi. Dia sudah berlari sejak kemunculannya.
"Hen!"
Jihan lari mengikuti kecepatan Hen Hen.
"Berhenti!"
"Gak! Pergi!" pinta Hen Hen sambil menengok.
"Berhenti, Kak..! Teks ini merah."
Ckiiit..! Jihan menghentikan larinya.
Jlag! Jlig..! Jlag ..! Jliggh!
Belasan tombak menghadang menutup jalan, turun dari langit-langit. Dua blok. Jika saja Jihan tetap mengejar, kepalanya langsung.. anu, terpasung di blok tersebut.
"Tunggu di sini Kak."
"Hhh.. Oke."
"Apa kak Hen Hen megang sesuatu?"
"Iya, Ra. Itu akte. Normalnya ada di pusat spiral. Mengambang di tengah ruangan. Di brankas standar gue gak lari-lari gini tapi hanyut dibawa arus aer sampe ke pusat pusaran. Sadar-sadar gue udah nyampe di lubang saringan. Udah dianterin ke ruang surat. Brankas ini gak gitu. Kerasa lagi ngusir.."
"Ya udah Kak. Tunggu."