"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Dua Pulu Dua
Malam itu, rumah besar keluarga Hendra mulai lengang. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan di lorong, menandai waktu yang terus berjalan meski semuanya terasa berhenti bagi Raya.
Dari balik tirai kamarnya, Raya masih menatap halaman depan yang kini kosong. Mobil Arka sudah menghilang beberapa menit lalu, tapi bayangan tubuh pria itu masih jelas dalam pikirannya. Begitu nyata hingga dada Raya terasa sesak.
Tirai yang ia pegang pelan-pelan dilepaskan. Raya berbalik, bersandar pada dinding. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa tak beraturan. Tapi semakin ia berusaha tenang, semakin hatinya bergetar hebat.
Apa benar tadi aku melihatnya pergi bersama Amara?
Atau aku hanya sedang bermimpi buruk?
Ia melangkah pelan menuju meja rias, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, mata memerah, rambut terurai acak-acakan. Semua tanda lelah itu bukan hanya karena hari yang panjang, tapi juga karena perasaan yang sulit dijelaskan—antara kecewa, marah, dan sedih yang menumpuk jadi satu.
Raya mengusap matanya yang mulai panas.
“Sudahlah, jangan menangis,” gumamnya pada diri sendiri, tapi suaranya bergetar. Ia menatap bayangannya lama, lalu mendadak tertawa kecil. Tawa getir yang sama sekali tidak lucu.
“Lihat dirimu, Raya,” katanya lirih. “Kau bahkan masih berharap pria itu menoleh ke arahmu sebelum pergi.”
Ia memalingkan wajah, melangkah ke arah tempat tidur, dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Pikirannya terus berputar, mengulang kejadian sejak pagi—ketika Arka menariknya ke dalam pelukan hangat, ketika bibir mereka bertaut lembut, ketika ia sempat percaya bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi hanya butuh satu kedatangan.
Satu nama.
Dan semua yang ia pikir kuat ternyata rapuh seperti kaca.
Amara.
Nama itu bergema di kepalanya seperti gema panjang yang tak mau berhenti.
Gadis itu—kakak tirinya—yang seharusnya menjadi istri Arka.
Dan entah bagaimana, meski waktu sudah berjalan, kehadiran Amara tetap terasa begitu kuat di antara mereka.
Raya memejamkan mata.
Ia tahu sejak awal posisinya lemah.
Ia hanya pengganti.
Perempuan yang dipilih karena keadaan, bukan karena cinta.
Tapi mengapa Arka membuatnya percaya bahwa segalanya bisa berubah? Mengapa ia membiarkan dirinya jatuh sedalam itu hanya untuk akhirnya dibiarkan terjatuh sendirian?
Ia menangis tanpa suara.
Tangis yang lebih seperti luka yang akhirnya pecah, bukan karena kelemahan, tapi karena lelah menyimpan semuanya sendirian.
*
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya pelan.
Tok. Tok. Tok.
“Raya, Mama boleh masuk?” suara Sarah terdengar lembut—terlalu lembut hingga Raya tahu pasti ada sesuatu di balik nada itu.
Ia menghapus cepat air matanya, lalu berjalan ke pintu dan membukanya. “Ada apa, Ma?”
Sarah masuk tanpa menunggu izin. Matanya menelusuri wajah Raya yang sembab, lalu mendecak pelan. “Kau menangis?”
Raya menggeleng cepat. “Tidak. Hanya lelah.”
Sarah berdiri di depan anaknya, tangan di pinggang. “Kau masih juga memikirkan Arka, ya? Kau pikir menangis akan mengubah apa pun?”
Raya tidak menjawab.
Sarah mendekat, suaranya semakin tajam, “Dengar baik-baik, Raya. Dunia ini tidak akan memihak orang bodoh. Kalau kau terus menuruti perasaan, kau akan kalah sebelum sempat bertarung. Kau kira Arka akan memilihmu hanya karena kau menangis dan setia menunggunya? Tidak. Dia akan kembali pada Amara, dan kau akan tersingkir seperti yang seharusnya.”
“Cukup, Ma,” ucap Raya pelan tapi tegas.
“Aku tidak ingin mendengar lagi.”
Sarah terdiam sejenak, tampak tidak menyangka.
“Apa katamu?”
“Aku tahu semua ini salah sejak awal. Aku tahu aku tidak seharusnya menggantikan Amara di hari itu, tapi semuanya sudah terjadi. Dan aku tidak menyesal. Setidaknya... aku tahu rasanya dicintai, meski hanya sebentar.”
“Kau benar-benar naif,” sahut Sarah sinis. “Perasaan tidak akan memberimu apa pun, Raya. Lihat Amara, dia pergi sesuka hatinya, dan sekarang semua orang tetap memaafkannya. Sementara kau? Kau akan tetap jadi bayangan.”
Raya menatap ibunya lama, lalu berkata lirih, “Mungkin aku memang bayangan, Ma. Tapi aku bukan bayangan yang akan terus berdiri di tempat yang sama.”
Sarah ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ada sesuatu di tatapan Raya malam itu—bukan amarah, bukan juga kesedihan, tapi keteguhan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Akhirnya Sarah hanya menghela napas kasar dan melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Pintu tertutup.
Dan keheningan kembali mengambil alih ruangan.
*
Raya berdiri di depan cermin lagi, menatap dirinya yang tampak berantakan. Tapi kali ini, tidak ada air mata. Ia mengambil tisu, menghapus sisa noda di pipinya, lalu berbisik pada bayangannya sendiri.
“Cukup sudah, Raya. Kau tidak boleh terus seperti ini.”
Ia melangkah ke arah meja kecil di pojok kamar, mengambil laptopnya, dan membuka dokumen kerja yang belum sempat ia selesaikan. Tangannya gemetar di awal, tapi ia memaksakan diri untuk fokus.
Namun, layar laptop tak membantu. Huruf-huruf terasa kabur. Semua pikiran tetap kembali pada satu hal: Arka.
Apa dia masih mencintaiku? Atau semua itu hanya kebetulan, permainan rasa yang tak pernah sungguh-sungguh ada?
Ia menutup laptop itu keras-keras, menunduk, dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
Tapi kemudian ia ingat sesuatu—kata-kata Arka pagi tadi, yang terdengar lembut namun menekan:
“Kau milikku, Raya. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku.”
Kata-kata itu kini terdengar seperti belenggu.
Bukan janji yang hangat, tapi ancaman yang menakutkan.
Ia terisak pelan.
Untuk pertama kalinya, Raya sadar bahwa cinta yang terlalu mengekang bisa jadi sama menyakitkannya dengan kehilangan.
Dan entah bagaimana, malam itu ia mulai merasakan sesuatu yang ia takuti:
rasa dingin di antara mereka bukan karena Amara semata, tapi karena cinta yang mulai berubah bentuk.
*
Pukul sebelas lewat lima belas.
Raya masih belum tidur.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang basah oleh embun malam. Di luar, bulan tampak redup.
Ia menarik napas panjang, lalu menulis sesuatu di ponselnya—pesan yang tak pernah ia kirimkan.
Arka, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi kalau kau mencintaiku, tolong jangan buat aku merasa seperti tawanan. Aku ingin penjelasan."
Ia menatap pesan itu lama.
Lalu, dengan senyum getir, ia menghapusnya sebelum sempat menekan tombol kirim.
“Percuma,” bisiknya. “Dia tidak akan mengerti.”
Raya berbaring di tempat tidur. Lampu kamar ia matikan, membiarkan gelap menutupi wajahnya yang lelah. Tapi sebelum matanya benar-benar terpejam, air mata kembali jatuh diam-diam.
Tanpa isak, tanpa suara—hanya keheningan yang tahu betapa beratnya malam itu.
Dan di tengah kesunyian itu, satu hal jelas baginya:
Pagi nanti, segalanya tidak akan sama lagi.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi antara dirinya dan Arka.
Tapi satu hal pasti—Raya tidak ingin lagi menjadi sekadar bayangan di hidup seseorang.
📖 To Be Continued...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........