NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:793
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 22

Amina menyipitkan mata, memperhatikan Alexander yang masih menatap dokumen di tangannya. Rahangnya mengencang, tangannya menggenggam kertas itu lebih erat. Di bawah cahaya lampu redup, bayangan wajahnya tampak lebih keras dari biasanya.

Dalam pikirannya, Alexander mencoba menghubungkan titik-titik. Jika bukti yang dibawa Amina benar, berarti seseorang di dalam timnya telah mengkhianatinya. Tapi siapa? Dan yang lebih penting—kenapa Amina yang menemukannya lebih dulu?

"Kau yakin dengan ini?" Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman, tapi ada ketegangan yang jelas di sana.

Amina mengangkat bahu, mencoba bersikap santai meskipun perutnya terasa seperti diaduk-aduk. "Aku tidak membawa sesuatu kalau aku tidak yakin."

Alexander menatapnya tajam. "Dan kenapa aku harus percaya padamu?"

Amina mendesah pelan. "Kau tidak harus percaya. Tapi kau bisa memeriksa semuanya sendiri." Dia melipat tangan di depan dada. "Atau kau bisa tetap duduk di sini, meragukanku, sementara pengkhianat yang sebenarnya melenggang bebas."

Alexander menggeram pelan. Itu menyebalkan karena Amina ada benarnya.

Keheningan yang tegang mengisi ruangan. Amina bisa mendengar detak jam di dinding, suara napasnya sendiri yang teratur, dan… langkah kaki di luar ruangan. Dia melirik sekilas ke pintu. Seseorang sedang menguping.

Seketika, Amina beringsut mendekati Alexander, membungkuk sedikit dan berbisik, "Kita diawasi."

Alexander tidak bereaksi berlebihan, tetapi dia sedikit memiringkan kepalanya, cukup untuk memberi isyarat bahwa dia juga menyadarinya. Dengan cepat, dia merapikan dokumen itu dan melirik jam tangannya.

"Pergi dari sini," katanya dengan nada rendah. "Aku akan menemuimu nanti."

Amina mengerutkan dahi. "Di mana?"

Alexander menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Gudang bawah tanah. Satu jam lagi. Jangan sampai ada yang melihatmu."

Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan Amina dengan seribu pertanyaan di kepalanya.

Di tempat lain, Lorenzo bersandar di dinding dengan ekspresi penuh minat. "Aku belum pernah melihatnya seperti itu," katanya sambil melirik Dante.

Dante mengangkat alis. "Seperti apa?"

Lorenzo menyeringai. "Tertekan. Seperti seseorang yang baru saja sadar bahwa musuh terbesarnya mungkin adalah seseorang di lingkarannya sendiri."

Dante mengangguk pelan. "Atau mungkin karena seorang detektif berhijab yang terus-menerus mengacaukan dunianya?"

Lorenzo tertawa. "Ya, kemungkinan itu juga ada."

Satu jam kemudian, Amina berdiri di depan gudang bawah tanah. Udara malam terasa dingin, dan angin bertiup pelan, membuat daun-daun kering bergesekan di jalanan berbatu.

Dia melangkah masuk dengan hati-hati, matanya menyapu sekitar. Gudang itu gelap, hanya diterangi oleh lampu remang-remang yang berkedip-kedip di sudut ruangan. Tumpukan kotak-kotak kayu berjejer di sepanjang dinding, dan aroma kayu tua bercampur debu menyengat di hidungnya.

Tidak ada tanda-tanda Alexander.

"Oke, ini mencurigakan," gumamnya pada diri sendiri.

Dia meraba-raba saku jaketnya, memastikan bahwa pisau kecilnya masih ada. Saat itulah dia mendengar sesuatu.

Langkah kaki.

Refleks, Amina merapat ke dinding, menahan napas. Langkah itu semakin mendekat. Hatinya berdebar lebih cepat.

Dan tiba-tiba—

"Bertemu lagi, detektif."

Suara itu dingin dan familiar. Sebelum Amina sempat bereaksi, sesuatu menghantam kepalanya dari belakang. Pandangannya langsung kabur, tubuhnya melemah.

Dalam beberapa detik, semuanya menjadi gelap.

Kesadaran Amina perlahan kembali seperti lampu yang redup lalu menyala lagi. Rasa nyeri berdenyut di belakang kepalanya, dan sensasi dingin menyentuh kulitnya yang tertutup hijab. Wangi logam dan debu menyengat hidungnya, membuat perutnya mual.

"Astaga... ini di mana?" pikirnya.

Matanya masih berat, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang kasar menekan pergelangan tangannya. Ketika akhirnya ia membuka mata, cahaya redup dari bohlam berkedip-kedip menyambutnya. Ruangan ini sempit, dindingnya dari beton tua dengan retakan seperti urat-urat lelah. Kursi kayu yang ia duduki terasa goyah, dan yang lebih buruk—tangannya diikat di belakangnya.

Amina menegakkan punggungnya, mencoba menganalisis situasi. Jelas, ia telah diculik. Tapi oleh siapa?

Langkah kaki terdengar di luar pintu. Suara sepatunya bergema, semakin lama semakin dekat. Amina menelan ludah, berusaha tetap tenang.

Pintu terbuka dengan berderit, memperlihatkan sosok tinggi yang melangkah masuk. Bayangan tubuhnya jatuh panjang di lantai. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi hitam yang terikat rapi. Wajahnya nyaris tak berekspresi, hanya mata tajamnya yang mengamati Amina seolah ia adalah teka-teki yang harus dipecahkan.

Amina mendengus. "Kalau ini soal utang kartu kredit, aku janji bakal bayar bulan depan."

Pria itu tidak bereaksi. Ia hanya berjalan mendekat dengan langkah terukur.

Amina menggigit bibir, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Atau kalau ini soal ayam goreng terakhir di kantin kantor yang aku ambil kemarin... ya, aku nggak nyesel sih."

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!