NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Dalam Dekapannya

Elena menaruh barang belanjaannya di meja dapur tanpa menatanya satu per satu. Kantong-kantong itu masih terbuka, sebagian isiannya tampak berantakan. Ia berjalan perlahan menuju ruang tamu, melepas mantel panjangnya lalu menyampirkannya di sandaran sofa, dan menaruh tasnya sembarangan.

Begitu tubuhnya jatuh di sofa, Elena langsung menunduk, kedua tangannya menyusup ke rambutnya dan meremasnya perlahan. Bahunya naik turun menahan napas yang berat, sementara pikirannya terasa kacau.

Ia menunduk lebih dalam, berusaha menenangkan diri, tapi semakin ia mencoba, semakin kuat ingatan itu menghantamnya.

Elena mengangkat kepalanya ketika suara bel apartemen terdengar nyaring di tengah keheningan itu. Suara itu membuatnya sedikit tersentak, namun tanpa berpikir panjang, ia segera berdiri dan melangkah menuju pintu. Ia bahkan tidak sempat melirik layar kecil di samping pintu untuk memastikan siapa yang datang. Tangannya refleks membuka pintu.

“Elena.”

Sosok di hadapannya membuatnya terdiam seketika. Tatapan matanya berubah sendu, seolah semua emosi yang ia tahan sejak tadi runtuh hanya karena satu panggilan itu. Tanpa bisa ia kendalikan, air matanya menggenang, dan tubuhnya spontan melangkah maju, memeluk pria itu erat-erat.

Damian sempat terkejut, namun begitu merasakan tubuh Elena bergetar di pelukannya, ia tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja.

“Apa yang terjadi?” tanyanya, sambil mengusap lembut punggung wanita itu, mencoba menenangkan.

Tapi Elena tidak menjawab. Tangisnya justru pecah semakin keras. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Damian, membiarkan air matanya jatuh tanpa kendali. Elena yang selalu terlihat kuat di hadapan Damian, kini terlihat begitu lemah di mata pria itu.

Damian tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya membalas pelukan itu, lebih erat, seolah ingin menegaskan bahwa ia ada di sana. Tangannya bertahan di punggung Elena, sementara dagunya bertumpu lembut di atas kepala wanita itu. Bahkan ia tidak peduli jasnya yang basah oleh air mata wanita itu. Yang penting sekarang hanyalah membuat Elena merasa aman di dalam dekapannya.

Setelah beberapa saat, tangis Elena perlahan mereda. Pelukan yang tadinya begitu erat kini mulai terlepas dengan sendirinya. Damian menunduk sedikit, menatap wajahnya yang sembab, lalu mengusap lembut pipi Elena yang masih basah oleh air mata.

“Masuklah,” ucap Damian lembut sambil menuntun Elena. Ia membawanya pelan ke dalam apartemen dan menutup pintu di belakang mereka.

Keduanya duduk di sofa tamu. Damian melirik sekilas ke arah Elena yang tampak diam, memandangi lantai tanpa ekspresi. Namun matanya segera menangkap sesuatu yaitu pada kaki Elena yang telanjang di lantai dingin. Pria itu langsung berdiri tanpa banyak bicara, melangkah ke arah rak kecil di dekat pintu masuk. Ia mengambil sepasang sandal rumah yang biasa dipakai Elena, juga melepas sepatunya sendiri sebelum mengenakan sandal rumahan yang memang selalu disiapkan untuknya.

Ia kembali ke hadapan Elena, lalu berlutut di depannya, “Ini, pakailah dulu.”

Ia menyentuh kaki Elena dengan hati-hati, membantunya mengenakan sandal itu. Gerakannya lembut, penuh perhatian, seperti seseorang yang takut menyakiti hal yang sudah rapuh.

Namun justru karena kelembutan itu, tangis Elena pecah lagi. Ia menunduk, menutup wajahnya dengan tangan.

“Hiks… hiks…”

Damian mendongak, menatapnya dengan khawatir, “Ada apa?”

Elena hanya menggeleng, lalu membuka kembali wajahnya.

Tangan Damian kembali terulur. Ia mengusap pipi Elena yang kembali basah, menatapnya dengan pandangan penuh ketulusan.

“Sudah,” ucapnya lembut, “Jangan menangis lagi. Aku di sini.”

Elena menatap Damian dalam-dalam, “Jika Om tahu kebenarannya suatu saat nanti, apa Om akan marah?” lirihnya.

Damian mengernyit pelan, sorot matanya berubah serius, “Apa maksudmu? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanyanya hati-hati.

Bibir Elena bergetar, namun ia cepat-cepat menggeleng, “Tidak.”

Damian menghela napas panjang, menatapnya dengan lembut, “Ada apa denganmu, hm? Apa ada yang menyakitimu?”

Elena menarik napas dalam-dalam, “Tidak, Om. Hanya saja, aku merindukan kakekku,” ucapnya yang jelas berbohong. Tidak mungkin ia menyebut nama Bastian di hadapan Damian.

Damian mengangguk pelan, seolah mencoba memahami. Ia mengulurkan tangannya lagi, lalu menggeser beberapa helai rambut yang menutupi wajah wanita itu.

“Aku menghubungimu sejak siang tadi. Tapi kau tidak mengangkatnya.”

Tatapannya kemudian berpindah ke arah meja dapur, di mana kantung belanjaan masih menumpuk.

“Kau baru pergi belanja?”

Elena menunduk, mengangguk kecil, “Kulkasku kosong. Aku takut kalau Om datang dan lapar, aku tidak bisa memasakkan sesuatu untuk Om.”

Senyum lembut muncul di wajah Damian. Ia menyentuh pipi Elena, menatapnya hangat, “Kau selalu memikirkanku, hm?”

Elena hanya membalas dengan senyum tipis.

Damian kemudian berdiri, melepas jasnya dan menyampirkannya di samping mantel Elena.

“Ayo, kita ke kamarmu,” ucapnya tenang.

Elena menatapnya bingung, “Om, ini masih siang,” ucapnya polos, menatapnya dengan ekspresi ragu.

Damian tertawa kecil sambil mengusap pucuk kepala Elena, “Apa yang kau pikirkan, gadis kecil? Aku hanya ingin menemanimu beristirahat.”

Elena menahan senyum malu, lalu memukul perut Damian, “Salah Om yang bertanya dengan tidak jelas. Terus kenapa malah buka jas?”

Damian terkekeh, “Baiklah, aku yang salah. Aku minta maaf.” Ia kemudian menuntun Elena menuju kamar.

Begitu sampai, Elena menaiki tempat tidurnya, sementara Damian menarik selimut dan menutup tubuhnya dengan hati-hati.

“Om menemaniku tidur?” tanya Elena, menatap Damian dari balik selimut.

Damian hanya mengangguk, lalu berbaring di sebelah wanita itu. Ia meraih tubuh Elena dan menariknya dalam pelukan. Satu tangannya ia selipkan di bawah kepala wanita itu agar lebih nyaman.

Elena tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya semakin mendekat, menenggelamkan wajahnya di dada Damian. Hangat tubuh pria itu membuatnya perlahan merasa aman. Tidak lama, napasnya mulai tenang dan teratur.

Damian menunduk, menyadari Elena yang sudah tertidur dengan damai. Sementara jari-jarinya masih mengusap lembut punggungnya. Ia kemudian mencium pucuk kepala wanita itu dengan penuh kasih.

Dalam hatinya, satu pertanyaan menggantung tanpa jawaban.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Elena?”

......................

Suasana rumah keluarga Evans sore itu terasa begitu hidup. Tawa muda-mudi menggema di ruang tamu yang luas. Para pelayan berlalu-lalang membawa nampan berisi camilan, minuman, dan buah-buahan mahal yang tertata rapi di atas meja.

Sean duduk di tengah, dikelilingi oleh teman-temannya yaitu Leo, Emily, Isabel, dan Bastian.

“Sean, kau tidak mungkin hanya menyediakan minuman ringan. Apa di rumah sebesar ini tidak ada minuman lain?” sindir Leo sambil menaikkan alis.

Sean tertawa kecil, “Tenang saja, ada. Tapi hari ini aku ingin kita menjadi anak baik,” ujarnya sambil membuka soda kaleng.

“Bersulang!” serunya sambil mengangkat tinggi kalengnya.

Keempat temannya menyambut serempak, dentingan kaleng mereka bergema nyaring.

“Aku selalu suka datang ke rumahmu,” ucap Isabel sambil tersenyum puas.

“Setuju,” timpal Emily, “Kau memang tuan rumah terbaik.”

Sean hanya mengibaskan tangannya, pura-pura merendah.

Sementara itu, Bastian duduk lebih tenang dari yang lain. Ia menyuap butir demi butir anggur shine muscat segar, membiarkan rasa manisnya memenuhi mulutnya.

“Oh ya, di mana ayahmu?” tanya Leo sambil melirik ke arah tangga, “Bukankah ini sudah waktunya jam kantor selesai?”

“Oh, Ayahku sering lembur. Pulang malam seperti biasa.”

“Enak sekali hidupmu. Bisa bebas di rumah sebesar ini,” keluh Leo, “Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan tenang di rumah.”

Sean menepuk bahu pria itu, tertawa pelan, “Kau yang beruntung, percayalah,” ucap Sean serius, tapi justru membuat Leo tertawa tidak percaya.

Namun tawa itu berhenti ketika Bastian tiba-tiba terkekeh sendiri.

Keempatnya sontak menatap heran.

“Ada apa denganmu?” tanya Emily sambil mencondongkan tubuh.

Bastian masih menatap kosong ke arah meja, sebelum akhirnya tersenyum samar, “Tidak. Hanya... aku merasa melihat seseorang tadi.”

“Seseorang?” Sean menatap tajam.

“Ya,” jawab Bastian tenang, “Gadis itu, yang dulu kau bully semasa SMA.”

Suasana langsung berubah. Sean mengernyit, mencoba mengingat.

“Gadis yang kubully? Siapa maksudmu?”

Leo mendengus, “Astaga, Sean. Saking banyaknya yang kau bully, kau sampai lupa?”

Sean terdiam sejenak, lalu matanya sedikit membulat, “Apa maksudmu gadis berkacamata tebal dan rambut kepangnya itu?”

Bastian mengangguk.

Wajah Sean berubah, setengah heran setengah geli, “Dia?” remehnya, lalu tertawa, “Kau yakin itu dia?”

Bastian menatap lampu kristal yang tergantung di atas ruang tamu, “Aku tidak tahu. Aku merasa dia mirip dan tidak mirip dengannya. Sayangnya aku tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai kacamata hitam. Mungkin aku hanya salah lihat,” ucapnya lalu mengambil kaleng soda di atas meja.

Sean bersandar santai, menyeringai, “Kalau pun benar dia, lalu kenapa? Apa menurutmu dia bisa mengubah nasibnya? Pecundang tetaplah pecundang, Bastian. Kemunculannya tidak akan mempengaruhiku.” Nada suaranya penuh kesombongan.

Sean mengangkat kembali kaleng sodanya, tersenyum lebar, “Sudahlah, lupakan masa lalu. Mari kita nikmati hari ini dengan pikiran bebas.”

“Bersulang!” serunya lagi.

“Bersulang!” sahut empat suara bersamaan.

Tawa mereka kembali pecah, namun di balik suara riuh itu, Bastian masih terdiam. Dan untuk alasan yang jelas ia pahami, perasaan bersalah mulai tumbuh di dadanya.

......................

Malam sudah tiba ketika Elena perlahan membuka matanya. Ia menoleh ke samping, tapi tempat di sebelahnya kosong. Damian sudah tidak ada di sana. Apa pria itu sudah pergi?

Dengan perlahan, Elena menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur. Saat berdiri, ia mencium sesuatu yang sedap dari luar kamar.

“Aroma apa ini?” lirihnya, lalu melangkah keluar.

Baru diambang pintu, ia seketika berhenti saat melihat Damian di dapur. Pria itu mengenakan celemek dan sedang menumis sesuatu di depan kompor. Kantong belanja yang tadi ada di meja juga sudah hilang, sepertinya Damian yang membereskannya dan menyimpan semuanya ke dalam kulkas.

Elena mendekat, suaranya lembut, “Om.”

Damian menoleh sambil tersenyum, “Kau sudah bangun?”

Elena mengangguk kecil, lalu ikut tersenyum. Ia melangkah mendekat, berdiri di sisi Damian, dan mengintip isi teflon yang sedang ditumis.

“Om sedang membuat apa?” tanyanya penasaran.

“Masakan sederhana. Tumis ayam kemangi,” jawab Damian sambil sibuk menumis.

Aroma harum langsung menyambut hidung Elena. Ia memejamkan mata sebentar, menikmati wangi daun kemangi yang tercampur dengan gurihnya ayam. Setelah itu, ia menatap Damian dengan kagum.

“Om ternyata bisa masak, ya?”

Damian tersenyum tipis, “Kalau masakan seperti ini aku bisa. Tapi kalau masakan rumit seperti yang sering kau buat, tentu aku kalah. Aku ini pria yang bercerai, walaupun punya banyak pelayan. Saat tengah malam pun, kalau aku lapar, aku sering memasak sendiri.”

Elena tidak mengalihkan pandangannya, “Nanti kalau Om lapar di tengah malam, bilang saja padaku. Aku yang akan memasakkan sesuatu untuk Om.”

Damian sempat meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada tumisan, “Kau memang pandai menggodaku.”

Elena tersenyum kecil, “Perlu kubantu?”

Damian menggeleng, “Tidak usah. Kau tunggu saja di meja makan. Aku bahkan sudah menanak nasi untuk makan malam kita.”

Elena melirik ke arah penanak nasi di pojok dapur, lalu tersenyum, “Baiklah, aku akan menunggu Om,” ucapnya, lalu beranjak menuju meja makan.

Di sana, Elena duduk dengan tenang. Satu tangannya menopang dagu dan pandangannya tidak lepas dari Damian yang sibuk di dapur.

Tidak lama, Damian datang membawa dua piring nasi dan satu piring besar berisi tumis ayam kemangi yang masih mengepulkan asap hangat. Ia duduk di samping Elena, lalu menyendokkan ayam itu ke piring mereka.

“Cobalah,” ujar Damian lembut.

Elena mengangguk dan mulai menyendokkan nasi serta ayam ke mulutnya. Begitu dikunyah, matanya langsung melebar.

“Ini sangat enak, Om! Di luar ekspetasiku. Sederhana, tapi rasanya berhasil membuat kesan tersendiri,” ucapnya antusias sambil cepat-cepat menyuapkan lagi ke dalam mulutnya.

Damian tersenyum melihat tingkah wanita itu, “Jangan terburu-buru. Tidak ada yang akan merebut piringmu.”

Elena tertawa kecil, mulutnya masih penuh, “Ini terlalu enak, Om. Aku tidak bisa menahannya.”

Damian hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia mengusap lembut bagian belakang kepala Elena sebelum ikut menikmati makanannya.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!