Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21. Insting Tajam
21
Malam kian larut.
Ombak terdengar lirih, membentur batu karang di kejauhan, seolah menjadi pengiring bagi udara yang semakin dingin.
Di dalam kamar yang temaram, hanya satu lampu tidur kecil yang menyala, memantulkan cahaya lembut di dinding berwarna krem.
Allen berbaring di sofa panjang yang empuk di sisi kanan kamar.
Tempat itu sebenarnya sangat nyaman, namun tidak cukup untuk membuatnya bisa memejamkan mata.
Ia memutar tubuh ke kiri, lalu ke kanan. Menarik selimut tipis hingga menutupi leher, tapi tetap saja… gelisah.
Ia mendesah pelan, berusaha menenangkan diri.
Masalahnya sederhana tapi rumit.
Ia tidak bisa tidur dengan nyaman kalau masih mengenakan pakaian lengkap.
Sejak dulu, ia selalu tidur hanya dengan pakaian tipis atau tanpa pakaian sama sekali_ kebiasaan kecil yang sulit diubah. Tapi malam ini? Dengan Liang dan Aldrich yan tidur di ranjang utama, jelas itu mustahil dilakukan.
Allen menatap langit-langit, menggigit bibir pelan.
“Kenapa sih aku gak bisa tidur kayak orang normal aja,” gumamnya pelan, frustrasi pada diri sendiri.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi suara ombak di luar justru membuat pikirannya semakin ramai.
Bayangan wajah Carlos, lalu Aldrich, kemudian Liang yang selalu mengawasinya dengan tatapan penuh tanya, semuanya datang silih berganti.
Tak sadar, ia menggeser selimut, membetulkan posisi bantal, tapi gerakannya justru menimbulkan bunyi kecil.
Liang, yang tidur di ranjang tak jauh dari sofa, terbangun setengah sadar.
“Allen…?” panggilnya dengan suara serak, antara sadar dan belum.
Allen kaget setengah mati. Ia buru-buru menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Ah, maaf, Koko. Aku cuma… susah tidur,” jawabnya cepat.
Liang mengucek mata, menatap sekilas ke arah sofa.
“Masih belum bisa juga? Sudah hampir jam dua, tahu.”
Allen memaksa tersenyum dari balik selimut. “Hehe… iya. Mungkin karena kejadian tadi, aku masih agak tegang.”
Liang mengangguk pelan, lalu duduk di tepi ranjang.
Tatapannya samar, namun terasa lembut. “Kalo kamu takut, bilang aja. Vila ini aman. Satpam pasti udah keliling setiap dua jam.”
“Bukan… bukan itu, Koko,” Allen menggeleng cepat, menunduk. “Aku cuma gak terbiasa tidur di tempat baru, mungkin.”
Liang memperhatikan wajah Allen yang setengah tertutup selimut, tampak benar-benar gelisah.
Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi urung. Akhirnya, hanya menghela napas dan berkata,
“Kalo gitu, coba dengar suara laut aja. Kadang bisa bantu biar pikiran tenang. Jangan terlalu dipikirkan.”
Allen mengangguk. “Iya, Koko. Terima kasih.”
Liang kembali berbaring, menarik selimutnya sendiri.
Tapi sebelum memejamkan mata, sempat bergumam pelan,
“Kamu ini… unik, ya. Kadang ceroboh, tapi sopan. Nggak heran Aldrich mulai percaya sama kamu.”
Allen menelan ludah pelan. “Hehe… semoga begitu.”
Beberapa menit berlalu.
Liang tampak sudah kembali tertidur, tapi Allen masih menatap langit-langit, matanya lelah.
Ia perlahan menurunkan selimut dari wajahnya, menarik napas panjang, lalu membenamkan diri lebih dalam agar tubuhnya tetap tertutup rapat.
Pikirannya menolak tenang.
Ia tahu, satu kesalahan kecil saja, satu gerakan tak wajar, satu benda pribadi yang tertinggal lagi, bisa membuat seluruh penyamarannya berantakan.
Dan malam itu, di antara hembusan angin laut dan suara ombak yang berkejaran, Alleandra alias Allen hanya bisa berdoa dalam hati, semoga sampai pagi nanti, tidak ada lagi kejadian yang membuat jantungnya berpacu sekeras itu.
***
Udara dini hari terasa lembap.
Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye samar yang mulai muncul di balik garis laut.
Allen berdiri di balkon vila, bersandar pada pagar kayu, menatap jauh ke horizon.
Matanya tampak lelah, tidak karena kurang tidur saja, tapi juga karena pikirannya yang terus berputar semalaman.
Angin laut membelai rambutnya yang sedikit terurai dari penutup kepala, membuat beberapa helai jatuh ke pipi.
Ia menutup matanya sejenak, menghirup aroma asin laut yang menenangkan.
“Mungkin aku memang harus berhenti berpura-pura, sandiwara ini sungguh melelahkan.” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
"Aku gak tahu apa yang akan terjadi kalo aku sampe ketahuan."
Kemudian suara langkah pelan dari belakang membuatnya menegang spontan.
“Masih belum bisa tidur juga, ya?”
Allen berbalik cepat.
Liang.
Pria itu berdiri di ambang pintu balkon, dengan piyama abu-abu dan wajah yang tampak tenang tapi… ada sesuatu di matanya malam itu, sesuatu yang membuat dada Allen berdegup keras.
“Ko-Koko juga belum tidur?” tanya Allen gugup, suaranya sedikit bergetar.
Liang melangkah mendekat perlahan. “Nggak juga. Aku dengar pintu terbuka, kupikir kamu mau keluar sendirian. Laut masih agak dingin, nanti masuk angin. Lagian nanti perut kamu nyeri lagi lho.”
Allen menunduk cepat, menghindari tatapan itu. “Aku cuma butuh udara segar. Maaf kalau membuat Koko terbangun.”
Liang bersandar di pagar samping, posisi mereka kini sejajar, hanya dipisahkan jarak satu langkah.
Suasana hening sejenak. Hanya suara debur ombak dan desiran angin yang jadi saksi.
“Aku mau tanya sesuatu,” ucap Liang tiba-tiba. Suaranya datar tapi lembut.
Allen mengangkat kepala pelan. “Tanya apa, Koko?”
Liang menatapnya lama, terlalu lama, hingga Allen merasa jantungnya mau meloncat keluar.
“Kamu gak usah pura-pura lagi,” katanya akhirnya.
Allen membeku. “A… apa maksudnya?”
Liang menghela napas panjang, lalu menatap lurus ke laut. “Aku ini bukan orang yang gampang curiga. Tapi… sejak malam pertama kamu di vila ini, ada hal-hal kecil yang gak bisa aku abaikan.”
Allen mundur setengah langkah, wajahnya mulai pucat. “Koko…”
Liang melanjutkan dengan nada tenang tapi menusuk.
“Sabun cair khusus yang kamu tinggalkan waktu kran mampet. Aroma parfumnya khas perempuan.”
Ia menatap Allen lagi. “Lalu ada barang-barang khas perempuan di kamarmu, dan juga, aku menemukan binder di koper kamu. Itu sebabnya bentuk tubuh kamu bisa tersamarkan.”
Allen menunduk dalam, menahan napas.
Liang tersenyum tipis, tapi senyum itu bukan ejekan, melainkan campuran antara pengertian dan ketidakpastian.
“Kamu sudah menipuku, juga Aldrich. Dia meminta asisten pria, bahkan memintaku menjauhkan semua wanita dari crew. Tapi kenyataannya, kamu malah berani masuk ke ranah yang tidak seharusnya. Kamu pikir kamu lebih pintar. Tapi aku sudah tahu sejak itu, Allen. Atau mungkin harus kupanggil… Alleandra.”
Suara itu membuat darah Allen terasa berhenti mengalir.
Ia memalingkan wajahnya, tapi air matanya sudah menetes tanpa sadar.
“Jadi… Koko tahu selama ini?” suaranya bergetar pelan.
Liang mengangguk sekali. “Ya. Tapi aku memilih diam. Karena ku pikir kamu mungkin punya alasan besar hingga menyembunyikan jati dirimu.”
Allen mengusap air matanya dengan cepat. “Aku gak bermaksud menipu kalian… aku hanya butuh pekerjaan. Karena aku tidak punya siapapun untuk diandalkan. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku gak mau orang tahu siapa aku. Aku gak mau dikejar masa lalu.”
Liang menatapnya dengan mata yang lembut tapi tegas.
“Orang-orang seperti aku terbiasa membaca gerak tubuh. Kamu gak pernah benar-benar nyaman berpura-pura jadi pria. Tapi aku lihat kamu berusaha keras, bekerja sungguh-sungguh, menjaga sikap. Itu sebabnya aku gak tega membongkar rahasiamu.”
Allen terisak pelan. “Jadi Koko… gak akan bilang siapa pun?”
Liang menggeleng. “Selama kamu gak berbuat yang aneh-aneh, aku gak punya alasan untuk buka mulut. Tapi kamu harus hati-hati, Alleandra. Dunia Aldrich keras. Sekali orang tahu, gosipnya bisa menghancurkanmu.”
Allen mengangguk cepat, suaranya hampir tak keluar. “Aku janji. Aku gak akan bikin masalah.”
Liang menghela napas lagi, kali ini lebih ringan.
“Baiklah. Sekarang masuk, ya. Fajar sudah hampir tiba. Kalau Aldrich lihat kamu menangis begini, dia pasti curiga.”
Allen mengangguk, tapi sebelum melangkah, ia sempat menatap Liang penuh terima kasih.
“Terima kasih, Koko. Aku gak tahu harus gimana kalau Koko bukan orang pertama yang tahu.”
Liang menepuk bahunya ringan, bukan sebagai pria ke pria, tapi seperti seseorang yang benar-benar ingin melindungi.
“Tidurlah, Alleandra. Duniamu akan lebih rumit mulai besok.”
Dan saat langit berubah menjadi jingga lembut, rahasia besar itu kini tak lagi hanya milik Alleandra seorang.
Saat Liang berbalik di ikuti oleh Alleandra menuju ke dalam, ternyata sosok tegap Aldrich sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar tanpa ekspresi yang tak urung membuat jantung Liang dan Allen sama-sama berdegup kencang.
Apakah Aldrich sudah mendengar semuanya?
.
YuKa/ 241025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍