NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:428
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Kalau Aku Nggak Balik?

Tiny kini melihat suaminya yang duduk bersila, sedikit condong ke depan, sibuk mengetik sesuatu di laptop hitamnya. Cahaya layar itu memantul ke wajah Xion, membuat ekspresi seriusnya terlihat lebih dalam. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, sesekali berhenti untuk membaca ulang, lalu lanjut lagi.

Mereka berada di kamar. Baru saja selesai shalat Isya.

Berdua.

Mereka masih duduk di atas karpet yang baru—lembut, empuk, dan berwarna hijau terang. Warna yang dipilih Tiny kemarin saat belanja. Warna yang katanya “biar kamar ini nggak kayak kantor”.

Akhirnya… kamar mereka ada warna juga. Ada jejak Tiny di situ.

Xion duduk satu langkah lebih depan. Tegap. Diam.

Tiny berada di sebelahnya, agak ke belakang. Dan tentu saja… dengan mengunyah.

Xion sempat melirik ke samping—ke arah Tiny yang masih santai duduk di karpet, menyandarkan badan ke bantal besar, sibuk mengunyah camilan yang entah keberapa.

Mulutnya bergerak pelan, ekspresi wajahnya tenang, bahkan terlihat bahagia.

Xion menoleh lagi ke layar. Kedua tangannya kembali bergerak cepat di atas keyboard.

Laporan. Koreksi tugas mahasiswa. Draft artikel untuk jurnal. Dan… tugas tesisnya sendiri.

Dosen dan mahasiswa dalam satu tubuh.

Itu sudah cukup menyita hidupnya. Dulu ia jalani dengan santai, karena ya… memang suka sibuk. Terlalu suka sibuk.

Bagi Xion, kerja keras itu gaya hidup, bukan beban. Tapi sekarang…

Ada seseorang yang harus ia nafkahi. Yang ia bawa ke rumah. Yang harus ia pastikan bisa makan, punya tempat tinggal yang nyaman, dan merasa aman.

Tiny.

Pikiran itu membuat Xion sejenak berhenti mengetik.

Ia menatap layar, tapi pikirannya melayang. Inilah yang membuat Xion sebenarnya… malas menikah.

Bukan karena ia anti. Bukan karena takut. Tapi karena hidupnya sudah punya ritmenya sendiri. Rencana pernikahannya bahkan baru masuk daftar usia 35 tahun ke atas.

Kalau karier mapan. Kalau keuangan stabil. Kalau rumah sudah layak untuk berkeluarga. Kalau mental siap. Baru, mungkin.

Tapi takdir?

Tak pernah repot tanya kesiapan.

Belum genap 30 tahun, Xion sudah duduk di kamar sendiri… bersama istri yang mengunyah snack di sebelahnya. Sungguh… ini bukan dalam skenario hidupnya.

Ia sempat melirik ke arah satu nama lain yang muncul di pikirannya—Gery.

Kakaknya. Pria yang menikah cukup muda, santai, bahkan bisa bercanda soal rumah tangga sambil main game bareng anak.

Xion dulu bingung. Apa yang dicari dari menikah muda?

Sekarang… ia masih belum punya jawabannya. Tapi… ia sudah punya Tiny. Dan kadang, itu cukup untuk hari ini.

Tiny tiba-tiba menyerahkan bungkus snack ke arah Xion. “Mau nggak?” tanyanya santai.

Xion menggeleng pelan. “Makan aja.”

Tiny mengangkat bahu. Lalu menyudahi aktivitas ngunyahnya. Ia meletakkan bungkus snack di meja kecil. Kemudian duduk lebih dekat ke Xion, melipat kaki di atas karpet.

Xion melirik lagi. Heran. “Kenapa berhenti?”

Tiny menjawab ringan, “Mau nemenin kamu aja. Istrinya ngemil, suaminya sibuk kerja. Kan nggak adil. Kalau Mama kamu tau, mungkin dia kasian ya sama kamu. Menantu-nya enak aja makan snack. Anaknya banting otak karena kerja.”

Xion menahan tawa kecil. Senyum tipisnya muncul begitu saja, seolah tanpa izin.

Kalimatnya konyol. Tapi hatinya… hangat.

Tiny memiringkan badan, menatap laptop Xion penuh rasa ingin tahu.

“Aku boleh liat tugas-tugas mahasiswi kamu nggak?” tanyanya pelan, tapi matanya sudah berbinar duluan.

Xion menghela napas kecil. “Boleh,” jawabnya ringan.

Lagian… dia juga butuh istirahat sebentar. Dan dengan Tiny di sebelahnya, lebih baik dia yang mengawasi langsung daripada membiarkannya iseng sendiri.

Dia tahu betul, istri kecilnya itu terlalu lincah. Terlalu kreatif kalau dibiarkan.

Xion menyerahkan laptop ke Tiny. Satu jari masih menggulir trackpad untuk membuka folder tugas.

“Ini, folder yang minggu kemarin. Lihat aja yang PDF, jangan utak-atik yang Word ya,” pesannya.

Tiny mengangguk. Duduk makin tegak, bibirnya maju sedikit, serius—gaya membaca ala penyidik. Lalu, klik file pertama.

Xion hanya diam menatap Tiny yang kini serius seperti sedang membaca berkas penting negara.

Ia bersandar lebih santai ke dinding, menikmati pemandangan istrinya yang berubah jadi “detektif tugas mahasiswa”.

Lalu, tiba-tiba—

“Bang,” panggil Tiny sambil menoleh. “Coba pinjam kacamata kamu. Pengen coba.”

Xion menaikkan alis. “Kalau matanya nggak rusak, nggak usah dipakai.”

Tiny manyun. “Pinjam bentar aja. Pengen gaya juga. Kan siapa tau cocok.”

Xion menghela napas kecil, lalu melepas kacamatanya dan menyerahkannya ke Tiny.

Tiny langsung memasangnya dengan percaya diri. “Gimana? Aku kelihatan kayak dosen juga nggak?”

Ia membusungkan dada, lalu menatap laptop dengan gaya sok serius.

Tiga detik. Empat detik. Lima detik kemudian…

Tiny mengernyit. Lalu melepaskan kacamatanya cepat-cepat.

“Uh, pusing! Dunia muter. Mataku kayak lagi naik odong-odong.”

Xion langsung meraih kacamatanya kembali dan memakainya lagi cepat-cepat. “Makanya jangan dipakai,” gumamnya.

Tiny menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu sendiri. “Aku udahan deh liat tugasnya. Pusing.”

Xion menatapnya sekilas. “Tadi sok-sok-an.”

Tiny tidak membantah. Hanya nyengir kecil.

Lalu, dengan nada tulus, ia berkata, “Kamu hebat sih… bisa jadi dosen sama mahasiswa sekaligus.”

Xion hanya tersenyum tipis, tanpa kata. Ia kembali pada laptop, jemarinya langsung bergerak lagi, menyambung pekerjaan yang sempat tertunda.

Namun baru beberapa detik, suara Tiny terdengar lagi.

“Bang…”

Xion tak berhenti mengetik. “Apa?”

Tiny menggigit bibir bawahnya. Gaya khas anak kecil yang sedang memikirkan cara minta sesuatu ke orang tuanya.

“Kalau abang ada hari libur… aku mau ke rumah mama papa aku.”

Nadanya pelan. “Rindu.”

Kali ini, Xion berhenti. Ia menoleh penuh ke arah Tiny. Menatap langsung wajah bulat yang kini tak banyak senyum seperti biasanya.

“Bisa,” katanya jujur. “Cuma ya… aku Cuma bisa nganter kamu aja. Bisa nginep sehari di sana. Selebihnya, ya… kita LDR-an dulu.”

Tiny berkedip. “LDR?”

Xion mengangguk pelan. “Kalau kamu nginep dua-tiga hari, aku balik ke sini dulu. Soalnya kerjaan, kuliah, ya gitu…”

Tiny terdiam sebentar. Kemudian menunduk pelan.

LDR.

Padahal belum lama tinggal serumah. Dan sekarang harus pisah jarak dulu.

Tiny mengangkat kepala pelan, menatap Xion dengan mata beningnya. “Kamu nggak apa-apa, kan… aku tinggal?”

Xion diam sebentar, lalu menjawab tenang, “Aku udah biasa sendiri. Udah jalan tujuh tahun juga—kuliah sambil kerja, ngatur hidup sendiri. Jadi, ya… biasa.”

Tiny menunduk. Hatinya mencelos sedikit. Jadi… ketidakhadirannya, tidak akan berpengaruh?

Tapi sebelum ia sempat menafsir terlalu jauh, Xion kembali bicara.

“Tapi sekarang udah nggak sendiri.” Suara Xion masih tenang, tapi ada jeda di ujungnya yang seolah menyimpan makna.

“Jadi tetap kerasa beda kalau kamu nggak ada.”

Tiny menunduk lagi. Kemudian bergumam, setengah bercanda, setengah serius, “Nanti… aku jadi istri durhaka nggak, Bang? Ninggalin suami gara-gara rindu orang tua?”

Xion menghela napas, lalu menjawab dengan nada datar tapi jujur.

“Kalau kamu durhaka, aku harusnya udah masuk daftar anak durhaka duluan. Karena ninggalin rumah sejak kuliah. Jarang pulang. Kadang lupa kabar.”

Tiny terdiam. Ia tidak menyangka Xion akan jawab dengan fakta seperti itu. Bukan dengan lelucon atau candaan yang menenangkan.

Tapi justru itu… yang menampar hatinya pelan.

“Manusia bisa rindu siapa pun,” lanjut Xion. “Orang tua, rumah, bahkan masa lalu. Tapi rindu nggak sama dengan durhaka. Yang penting kamu pamit. Dan kamu balik lagi.”

Tiny menggigit bibir bawahnya. Lalu mengangguk pelan. “Oke, tapi...”

“...kalau aku nggak balik?” tanyanya pelan, seperti sedang menguji.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!