Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertamu Di Rumah Anin
Suasana rumah yang hangat menjadi semakin ramai ketika Arkan dan Kean bergabung. Ibu Lidya sungguh sangat senang ketika tahu Arkan dan Kean bertamu. Apalagi saat melihat Kean, ia merasa cucunya bertambah satu.
Radit pun menerima Kean dengan senang hati. Dua anak itu dengan cepat akrab. Keduanya bermain bersama di kamar milik Radit. Sementara Arkan, dia mengobrol bersama Dimas di ruang tamu. Ibu Lidya bersama Anya sibuk di dapur bersama tiga art yang bekerja. Dan Anin, dia sedang membersihkan diri di kamarnya.
Anin berjalan keluar dari kamar mandi mengenakan handuk sambil mengusap rambutnya yang basah. Setelah itu, ia meraih hair dryer lalu mengeringkan rambutnya. Perempuan itu melakukan semuanya dengan cepat, kemudian berakhir di depan cermin meja rias usai mengenakan pakaiannya.
"Rambutku... baiknya dikepang atau dikucir saja? Atau, biarkan saja tergerai?" Anin bergumam sambil menatap wajahnya pada cermin.
"Atau... Ah, apa apaan kau ini? Itu Pak Arkan, atasan mu, Anin. Bersikap biasa saja layaknya hubungan rekan kerja."
Anin menghembuskan nafasnya pelan. Ia lalu mulai menyisir rambutnya, mengikatnya setengah dan membiarkan yang lainnya tergerai. Perempuan itu lalu bergegas turun.
Langkahnya langsung menuju dapur, ingin membantu Ibu dan Kakak Iparnya.
"Anin, kau sudah selesai?"
Anin mengangguk pelan. "Dimana Ibu, Kak?" Perempuan itu celingukan, mencari sang Ibu yang ternyata tak di dapur.
Anya yang tengah menyajikan makanan di meja makan pun menghentikan sejenak kegiatannya. "Ibu sedang memanggil Kakak mu dan Pak Arkan. Kau tolong panggilkan Radit dan Kean, ya? Mereka ada di kamar Radit."
"Baik, Kak."
Anin segera berbalik dan berjalan menuju kamar ponakannya. Langkahnya cepat hingga tak sempat berpapasan dengan sang Ibu yang membawa Arkan dan Dimas bersama.
Anin mengetuk pelan pintu kamar Radit lalu mendorongnya. Dua anak yang tengah bermain langsung menghentikan permainan mereka.
"Tante Cantik."
"Tante." Radit dan Kean berucap bersamaan.
"Hai." Anin menyapa sambil tersenyum. "Ayo, sudah waktunya makan malam. Mainnya lanjut nanti."
Dua anak itu mengangguk cepat. Segera mereka mendekat dan menggandeng masing-masing tangan Anin.
"Apa Tante cantik yang masak?" Kean bertanya.
"Tidak. Bukan Tante yang memasak."
"Kean, kau tahu? Tante sering memasak masakan yang enak. Tapi, sejak Tante bekerja, Tante hanya memasak di hari libur. Tapi, Radit tetap senang." Anin terkekeh pelan. Ponakannya sangat lucu.
"Tante cantik bisa kah memasak untuk Kean juga nanti?"
"Akan Tante masakan untuk Kean kalau Papa Kean mengizinkan."
"Baiklah. Kean akan minta izin pada Papa nanti."
Anin kembali terkekeh, begitu juga Radit. Kean begitu ceria. Langkah ketiganya pun memasuki area ruang makan yang berada satu ruang dengan dapur.
Anin tersenyum cantik sambil tetap mendengarkan celotehan dua bocah itu. Sementara semua yang berada di ruangan itu memperhatikan mereka. Saat semua fokus pada ketiganya, fokus Arkan hanya tertuju pada Anin. Hanya Anin seorang.
"Ayo, kalian berdua duduk dekat Nenek. Nenek sangat senang punya dua cucu sekarang," ucap Ibu Lidya. Ia menarik kursi di sisi kiri dan Kanannya, membiarkan dua bocah itu duduk.
"Terima kasih, Nenek."
"Terima kasih Nenek Cantik," ucap Kean membuat Ibu Lidya tersenyum gemas.
"Pak Arkan, putra mu sangat manis." Ibu Lidya menatap Arkan, namun yang ditatap malah serius menatap Anin. Lelaki itu baru tersadar saat Dimas sedikit menyenggol lengannya.
"Ada apa?" tanyanya sambil menatap Dimas.
"Ibu, dia bicara padamu."
Arkan langsung menoleh pada Ibu Lidya. "Maaf, saya tidak fokus."
Ibu Lidya tersenyum lembut. Dia bisa melihat, Arkan menyukai putri nya. "Tidak masalah, Nak. Kau mengurus perusahaan besar. Itu tidak mudah. Sudah pasti kau kelelahan."
"Terima kasih atas pengertiannya. Tapi, apa yang Anda katakan tadi?"
"Putra mu, dia sangat manis."
"Terima kasih." Arkan tersenyum tipis, lalu sedikit melirik Anin. Jujur, Anin terlihat cantik dengan rambut yang terikat setengah dan dress sebetis yang sederhana.
"Anin, piring Pak Arkan belum terisi lauk. Tolong bantu isi kan," ucap Anya, sengaja agar ada interaksi antara adik iparnya itu dengan Arkan.
Dia pikir, menjadi perantara agar hubungan Anin dan Arkan semakin dekat tidak buruk, mengingat Pak Arkan sepertinya menyukai adik iparnya. Lagi pula dia kasian pada Arkan yang sudah cukup lama menyendiri, dan kasian pada Kean yang sepertinya membutuhkan sosok Ibu.
Anin mengangguk pelan, namun Arkan dengan cepat menyela. "Terima kasih. Sepertinya tidak perlu. Saya bisa lakukan sendiri."
Anin tersenyum tipis. Ia membiarkan Arkan mengambil sendiri makanannya. Sekarang ia hanya fokus pada Radit dan Kean.
***
Setelah makan malam, semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu sejenak, kembali berbincang dengan Arkan dan Kean—lebih banyak mendengarkan celotehan Kean dan Radit.
Setelah beberapa saat, Ayah dan anak itu berpamitan pulang. Kean tidak menolak lagi karena ia sudah mengantuk.
"Tante, Kean pulang dulu," ucap anak itu dengan suara lemah. Kantuknya sudah cukup berat. Radit saja sudah tertidur.
"Iya. Hati-hati, ya," ucap Anin sambil mengusap pelan puncak kepala Kean. Dia lalu menatap Arkan. "Anda juga hati-hati, Pak. Keselamatan itu nomor satu."
"Ya." Arkan tersenyum, merasa begitu bahagia mendapat perhatian Anin. Ia hendak melangkah untuk memeluk Anin. Namun, segera ia urungkan ketika teringat jika Anin belum mengingatnya.
Arkan dan Kean lalu berpamitan pada Ibu Lidya dan Dimas, sementara Anya sudah kembali ke kamar terlebih dahulu untuk menemani Radit.
"Anin."
"Hm?" Perempuan itu menjawab tanpa menoleh ke arah sang Kakak yang memanggil. Matanya terus mengikuti arah mobil Arkan yang melaju.
"Anin."
"Iya, Kak Dimas?" Anin mengalihkan tatapannya tepat ketika mobil Arkan tak terlihat lagi.
"Serius sekali melihat ke arah mobil Pak Arkan. Kenapa? Tidak ingin Pak Arkan pergi?"
"Kak Dimas apa-apaan? Tidak. Aku tidak mengharapkan itu."
"Sudahlah. Mengaku saja. Kalian itu cocok satu sama lain. Pak Arkan—"
"Ibu, Ayo masuk. Kak Dimas suka melantur."
Ibu Lidya mengangguk pelan sambil menahan senyum. Sebenarnya ia ingin menggoda Anin juga. Tapi, melihat wajah merah putrinya, ia urungkan saja niatnya dan ikut masuk saat Anin mengajaknya masuk sambil menggandeng erat tangannya.
Anin langsung mengantar Ibu nya menuju kamar wanita itu. Setelahnya ia naik ke lantai atas, kembali ke kamarnya usai melihat ke kamar Radit.
"Haah!!!" Anin menarik nafas ketika tubuhnya terbaring telentang di atas kasur dengan selimut hangat yang menyelimuti nya.
Segaris senyum terbit di wajahnya. Ia merasakan perasaan bahagia. Entah apa alasannya, yang jelas ada kaitannya dengan Arkan dan Kean.
Perlahan ia mulai memejamkan mata, dan berharap pagi segera tiba. Dia ingin cepat bertemu Pak Arkan.
"Ck. Apa yang kau pikirkan Anin. Dia atasan mu. Sudahlah! Cepat tidur!"
***
"Ar, gimana penampilanku?" Seorang perempuan memperlihatkan apa yang ia kenakan pada seorang lelaki tampan.
"Apapun yang kau kenakan, akan selalu terlihat cantik," ujar lelaki itu sambil memeluknya dari belakang. Satu kecupan ia daratkan di pipi sang perempuan.
"Terima kasih sudah memuji ku. Tapi, tidak perlu dicium. Putraku sudah menunggu." Perempuan itu mendorong wajah sang lelaki yang tak berhenti mencium, lalu bergegas meninggalkan lelaki itu.
Langkahnya cepat, lalu ia tiba-tiba berada di sebuah ruangan layaknya ruangan kerja dengan lelaki yang sama. Hanya saja, dia tengah menggendong seorang bayi lelaki.
"Kau yakin akan pergi?"
"Iya. Aku harus pergi. Kau tidak perlu khawatir. Setelah acaranya selesai, aku cepat kembali. Tolong jaga putra kita." Perempuan itu mendekat, menyerahkan bayi itu pada si lelaki kemudian mengecup sekilas pipi lelaki itu.
Meskipun si lelaki berusaha menahannya untuk jangan pergi, dia tetap melangkah menjauh, hingga tiba-tiba dia berada di sebuah ruangan gelap, dalam posisi terikat di sebuah kursi, dan dikelilingi beberapa lelaki berbadan kekar juga berwajah bengis.
"Aku dimana?"
"Apa yang kalian lakukan?"
"Lepaskan aku!"
"Lepaskan aku!"
Namun teriakan dan ronta-an nya tak ditanggapi. Dia malah mendapat tamparan, pukulan, bahkan dicekik. Dia disiksa sedemikian rupa hingga tubuhnya lemas.
"Tolong ...." Suaranya lemah.
"Tolong ...."
"Tolong!!!"
Anin langsung terbangun. Dia dengan cepat mendudukkan tubuhnya. Nafasnya memburu, bibirnya bergetar, dan keringat membanjiri setiap bagian tubuhnya.
"Mimpi itu lagi ..." lirihnya pelan. Orang-orang dalam mimpi yang tak terlihat jelas wajah itu sangat mengusiknya. Membuatnya terus kepikiran.