Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Khanza telah sampai di rumah dan ia mendapati kalau suaminya mengunci pintu rumah.
Tok… tok… tok…
“Mas Reza, tolong buka pintunya. Aku mau masuk, Mas,” ucap Khanza dengan suara bergetar, matanya masih sembab karena tangis.
Terdengar suara kunci diputar dari dalam. Pintu terbuka perlahan, dan Khanza menatap suaminya dengan harapan tipis.
Namun, yang ia dapat justru membuat dadanya runtuh.
Brukk!
Reza melempar koper Khanza ke teras dengan wajah dingin.
“Bawa barangmu. Mulai malam ini, kamu nggak usah lagi tinggal di rumah ini.”
“Mas, apa maksudmu? Jangan bercanda seperti ini. Aku ini istrimu!” Khanza memegang tangan Reza, suaranya bergetar penuh ketakutan.
Reza menepis kasar tangannya dan menatap wajah Khanza.
“Kamu istriku? Sejak kapan kamu benar-benar jadi istriku, Za? Hati kamu nggak pernah ada buat aku! Semua orang tahu kamu lebih nyaman sama Devan! Jadi buat apa aku pertahankan pernikahan ini?”
Khanza menggeleng kencang, air matanya jatuh deras.
“Mas, tolong jangan bilang gitu. Aku cuma cinta sama kamu! Devan dan Yanuar itu cuma masa lalu. Aku janji, Mas. Aku akan buktikan!”
“Sudah cukup, Za!” suara Reza meninggi, matanya merah menahan amarah.
“Aku capek! Aku nggak mau hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Kalau memang kamu masih cinta sama aku, kenapa kamu selalu bikin aku ragu?”
Khanza terisak, lututnya lemas hingga ia terduduk di depan koper yang tergeletak.
“Aku salah, Mas… aku salah karena nggak bisa meyakinkan kamu. Tapi jangan usir aku kayak gini. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu.”
Reza menutup matanya sejenak, dadanya naik turun, mencoba mengendalikan emosinya. Lalu dengan suara bergetar, ia berkata,
“Pergi, Za. Jangan bikin aku tambah sakit. Kalau kamu bertahan di sini, aku yang akan hancur.”
Khanza meraih ujung kemeja Reza, menangis tersedu-sedu.
“Mas, jangan lakuin ini. Aku mohon. Jangan halangi aku untuk bahagiain kamu. Aku akan tinggal di depan pintu ini kalau Mas tetap usir aku.”
Reza menoleh, matanya basah, tapi ia mengeraskan hati.
Ia menutup pintu dengan keras, meninggalkan Khanza yang jatuh terduduk di depan rumah sambil memeluk kopernya.
“Mas, jangan tutup hatimu buat aku…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar di sela tangisannya.
Hujan turun deras, mengguyur tubuh Khanza yang masih duduk di depan pintu rumah.
Baju dan jilbabnya sudah basah kuyup, tapi ia tidak peduli.
Tangannya tetap memeluk koper, seolah itu satu-satunya tempat ia bisa berpegangan.
“Mas, aku nggak akan pergi. Walaupun hujan, walaupun dingin, aku tetap di sini. Aku akan tunggu sampai hatimu terbuka lagi buat aku." bisik Khanza.
Khanza yang kedinginan dengan tubuh yang lemas akhirnya jatuh pingsan.
Brugh!
Reza yang mendengar bunyi keras langsung berlari membuka pintu.
Ia membelalakkan matanya saat melihat Khanza yang jatuh pingsan.
"ZA! BANGUN, ZA!"
Reza membopong tubuh Khanza dan membawanya ke ruang tamu.
Tubuh Khanza yang basah kuyup membuat lantai ruang tamu ikut basah. Reza panik, wajahnya pucat, tangannya gemetar memegang pipi istrinya.
“Za, jangan bikin aku takut. Bangun, Za!” suaranya pecah.
Ia berlari ke kamar, mengambil handuk tebal, lalu kembali mengelap tubuh Khanza yang kedinginan.
Nafas Khanza lemah, bibirnya membiru karena kedinginan.
Reza buru-buru mengganti bajunya dengan pakaian hangat, lalu menyelimuti Khanza dengan selimut tebal.
Ia menyalakan penghangat ruangan, lalu mendekap tubuh istrinya erat-erat.
“Ya Allah, apa yang aku lakukan? Aku tega usir dia di tengah hujan…” bisiknya sambil menatap wajah Khanza yang pucat.
Air mata Reza jatuh membasahi rambut istrinya dan ia mencium kening Khanza berkali-kali, suaranya bergetar penuh penyesalan.
“Za, maaf… maafkan aku. Aku terlalu egois. Jangan tinggalkan aku, Za. Aku nggak sanggup kalau kamu beneran pergi.”
Beberapa menit kemudian, Khanza mulai merintih pelan.
Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka.
“Mas…?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Reza langsung menggenggam tangannya erat.
“Ya, Za, Aku di sini. Maafin aku, aku salah. Jangan tinggalkan aku…”
Air mata Khanza kembali mengalir, meski bibirnya tersenyum tipis.
“Aku nggak pernah mau ninggalin Mas. Aku cuma mau Mas percaya sama aku.”
Reza terisak, lalu menempelkan keningnya pada kening Khanza.
“Aku janji, Za. Aku janji nggak akan usir kamu lagi. Aku janji nggak akan biarin rasa cemburu bikin aku buta. Tolong jangan pergi, aku butuh kamu.”
Khanza tersenyum kecil, meski wajahnya masih pucat. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi suaminya dengan lembut.
“Aku selalu di sini, Mas. Selalu. Aku cuma butuh Mas percaya.”
Reza mencium tangan istrinya, lalu kembali memeluknya erat seolah takut kehilangan lagi.
Di luar, hujan masih turun deras, tapi di dalam rumah itu, ada kehangatan baru yang perlahan kembali tumbuh.
Mereka berdua tertidur pulas dan melupakan semuanya.
Keesokan paginya Khanza membuka matanya dan melihat suaminya yang sedang tertidur pulas.
Ia mencium pipi suaminya yang masih memeluknya dengan erat.
Khanza bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.
Pagi ini ia tidak lagi membuat teh atau kopi, mengingat suaminya yang mempunyai penyakit jantung.
Khanza menuang kedelai yang sudah ada di dalam kulkas.
Suara mesin blender memenuhi dapur yang masih sepi.
Setelah itu ia saring hasilnya, lalu menuangkannya ke dalam panci kecil berisi air yang sudah mendidih perlahan.
Uap panas mengepul, aroma lembut khas kedelai mulai memenuhi udara.
“Mas pasti butuh ini. Susu kedelai lebih sehat buat jantungnya” gumam Khanza pelan sambil mengaduk perlahan, matanya fokus pada panci.
Tiba-tiba ada lengan hangat yang melingkar dari belakang pinggangnya.
Khanza terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan sendok kayu dari tangannya.
“Mas Reza?” Khanza berbisik, wajahnya memerah seketika.
Reza menempelkan dagunya di bahu Khanza, suaranya serak tapi penuh kehangatan.
“Kenapa nggak bangunin aku, Sayang? Aku kira kamu ninggalin aku lagi…”
Khanza tersenyum tipis, meski air matanya hampir jatuh.
“Mas, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku cuma pengen bikin yang terbaik buat Mas. Mulai sekarang, nggak ada lagi kopi. Mas harus minum yang sehat.”
Reza mengeratkan pelukannya, menarik napas panjang seolah ingin menghafal aroma istrinya.
“Za, aku beruntung banget punya kamu. Semalam aku hampir kehilanganmu… sekarang aku janji, aku nggak akan usir kamu lagi, nggak akan nyakitin kamu lagi.”
Khanza menoleh sedikit, menatap wajah suaminya dari sudut mata.
“Janji, ya, Mas?”
Reza mengangguk, lalu mengecup pelipis Khanza lembut.
“Janji. Dan aku akan buktiin dengan perbuatan, bukan cuma kata-kata.”
Khanza tersenyum, lalu mengaduk lagi susu kedelai.
“Kalau begitu, sebagai awal, Mas harus minum susu kedelai buatan aku. Rasanya mungkin nggak seenak kopi, tapi ini dari hati.”
Reza terkekeh kecil, lalu mempererat pelukan dari belakang.
“Kalau dari hati kamu, pasti manis. Nggak peduli rasanya kayak apa.”
Khanza menggigit bibirnya, pipinya merona. Dan untuk pertama kalinya setelah banyak badai, pagi itu terasa benar-benar hangat dengan cinta yang mulai kembali tumbuh.