"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Langit di atas wilayah pinggiran Seoul tampak berwarna ungu pekat, seperti tinta yang diaduk dalam air. Di tengah lahan kosong seluas lapangan sepak bola, udara bergetar. Sebuah pusaran cahaya membentuk celah raksasa, memunculkan suara berdengung yang merambat ke tulang.
Gerbang Semesta.
Puluhan wartawan sudah berkerumun di belakang garis pengamanan. Kilatan kamera meledak setiap detik. Mikrofon menjulur ke udara, saling berebut posisi terbaik. “Cepat! Fokus di sisi kiri! Aku lihat mereka mulai keluar!” teriak seorang kameramen sambil mengatur zoom.
Barisan militer dengan seragam hitam gelap bergerak cepat. Senjata mereka tidak diarahkan ke gerbang, tapi ke arah wartawan yang mencoba mendekat. “Mundur! Semua tetap di balik garis kuning!” seru seorang perwira.
Lalu… dari pusaran itu, tujuh sosok perlahan melangkah keluar.
Aura mereka mendominasi udara—seperti gunung yang menjulang, seperti samudra yang tak terlihat dasarnya. Setiap langkah mereka seolah menekan oksigen di sekitarnya, membuat orang yang menyaksikan merinding tanpa alasan.
Sorakan wartawan pecah.
“Itu mereka! Itu Master Guild—!”
“Guild Astral Vanguard! Mereka benar-benar kembali!”
Flash kamera semakin gila. Di tengah barisan, seorang pria tinggi dengan rambut hitam kelam berdiri paling depan. Bahunya lebar, posturnya tegap, wajahnya tenang… terlalu tenang. Mata hitamnya dingin, tidak peduli pada teriakan yang memanggil namanya. Di dadanya, lencana perak dengan ukiran bintang bertingkat tujuh berkilau—Hunter Rank S.
Dialah Moon Daehyun, Master Guild Astral Vanguard.
Seorang wartawan memberanikan diri melangkah maju. “Ketua Moon! Bagaimana kondisi di dalam Gerbang Rasi Oranye?! Apakah rumor tentang ‘Overlord-type Beast’ itu benar?!”
Tidak ada jawaban dari Daehyun. Pandangannya lurus ke depan, tanpa sedikit pun emosi.
Seorang wanita berambut merah di sisi kanannya, salah satu anggota tim, tersenyum tipis dan maju selangkah. “Kami baru saja menyelesaikan pembersihan penuh di Rasi Oranye. Ya, ancaman itu nyata, dan ya, kami menanganinya.”
“Berapa lama operasi berlangsung?"
“Apa ada korban dari pihak kalian?!”
“Apakah ada kaitannya dengan beberapa bencana yang lalu?!”
Pertanyaan bertubi-tubi seperti hujan peluru. Kali ini pria berkulit sawo matang di sisi kiri Daehyun angkat bicara. “Operasi berlangsung hampir sepuluh hari. Tidak ada korban fatal, tapi sebagian dari kami mengalami luka cukup serius. Jadi, kami harap kalian mengerti… kalau ketua kami lelah.”
Nada tegasnya membuat sebagian wartawan terdiam, tapi kamera tetap memotret tanpa ampun.
Sementara itu, Daehyun nyaris tidak bergerak. Pandangannya… kosong. Seseorang dari luar lingkaran keamanan mulai berjalan mendekat. Bukan wartawan. Bukan militer.
Seorang pria berkemeja abu-abu dengan jas hitam dan papan ID menggantung di lehernya—manajer lapangan Astral Vanguard.
Ia menghampiri Daehyun, menunduk sedikit. “Tuan muda…” suaranya pelan, nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk. “Kakek Anda… General Moon Seok Hyun… tidak sadarkan diri.”
Langkah Daehyun terhenti.
Seolah semua suara di sekitar mendadak memudar. Sorak wartawan, teriakan militer, bahkan suara hujan tipis yang mulai turun—lenyap. Yang tersisa hanyalah kalimat itu… menggantung di udara.
“…Apa yang terjadi?” suara Daehyun pelan, tapi dalamnya seperti baja dingin.
Manajer itu menarik napas berat. “Banyak hal yang terjadi selama kepergian Anda dua minggu ini.” Tatapannya ragu, seakan menimbang apakah ia harus menceritakan semuanya di sini. “Terlalu banyak, Tuan muda. Dan… tidak semuanya baik.”
Daehyun menatap lurus pada manajer itu, pupilnya menyempit.
“Aku ingin penjelasan. Sekarang.”
Ruang tamu hari itu dipenuhi aroma susu segar dan roti panggang. Televisi menyala di sudut ruangan, menampilkan siaran langsung yang penuh euforia. Kamera memperlihatkan gerbang raksasa berwarna jingga yang kini hanya tersisa debu bercahaya, sementara para reporter berteriak-teriak seperti sedang meliput pesta kemenangan nasional.
“…dan inilah bukti keberhasilan Guild Astral Vanguard yang baru saja menyelesaikan clear penuh Gerbang Rasi Oranye! Operasi yang memakan waktu dua minggu ini dipimpin langsung oleh Master Guild mereka—Moon Daehyun, Hunter Rank S—yang lagi-lagi membuktikan dirinya sebagai salah satu kekuatan terkuat di Stellaris…”
Asterion duduk di sofa, kaki berselonjor, satu tangan memegang mangkuk sereal besar, satu lagi memegang remote. Sendok masuk ke mulutnya dengan santai, bunyi “kriuk” renyah memenuhi kepalanya sambil ia menatap layar.
Matanya mengamati sosok Moon Daehyun yang sedang diwawancarai di layar. Pria itu nyaris tidak tersenyum, aura yang terpancar seperti baja dingin.
“Hmm…” Asterion mengunyah pelan, lalu menelan.
“Jadi… setelah lulus dari akademi, orang bisa menjadi Hunter, ya? Lalu masuk guild… lalu menangani gerbang-gerbang itu.”
Sendok kembali menyendok, sereal masuk lagi ke mulutnya. "nyam.."
‘Gerbang…’ pikirnya. ‘Darimana sebenarnya asalnya? Bentuknya seperti dungeon bintang… tapi di dalamnya, penuh monster dari berbagai dimensi. Aku pernah membaca di buku dan berita, kalau itu bukan sekadar retakan ruang. Itu… semacam simpul realitas yang terbentuk saat energi bintang terlalu padat di satu titik.’
Ia menyandarkan punggung, menatap sisa susu di mangkuknya berputar pelan. “Jadi ada beberapa tingkatan gerbang rasi, disesuaikan dengan rank Hunter. Tidak semua orang yang punya Star Soul itu jenius… bahkan ada Star Soul tingkat 5 yang kalah dari tingkat di bawahnya. Ya ampun… ini mirip sistem kultivasi dari benua timur.”
Asterion terkekeh kecil, tapi ada getir di ujung bibirnya. “Pertarunganku dulu… ternyata membuat tatanan semesta ini jadi seperti gado-gado. Semua bercampur—monster, dimensi, energi… repot sekali kalau dipikir-pikir.”
Ia memiringkan mangkuk dan menghabiskan sisa susu dengan bunyi slurp panjang yang memuaskan. “Haaah… enaknya. Tapi aku tak sabar masuk akademi. Mau lihat sendiri dunia Hunter itu seperti apa.”
Tiba-tiba—
“ASTERION!!” suara itu memecah ketenangan pagi. Nada suaranya adalah campuran antara kesal dan pasrah.
Asterion menoleh setengah malas. “Hm?”
“Apakah kau TIDAK memasukkan kaos kakimu ke keranjang cucian lagi?!” teriak Elsha dari arah dapur.
Mata Asterion membesar sepersekian detik. “Ah… sial. Aku lupa.”
Tanpa menunggu lebih lama, ia meletakkan mangkuk di meja, lalu bangkit dengan gerakan seperti prajurit yang baru sadar medan pertempuran ada di depan mata dan setengah berlari menuju kamarnya.
Sambil berlari, ia bergumam ke dirinya sendiri. “Kenapa manusia punya aturan ribet begini sih? Di kehidupanku dulu, semua barang yang kutinggalkan di semesta langsung terbakar oleh energi kosmik—beres. Sekarang malah harus dimasukkan keranjang?!”
Ia masuk kamar, melihat kaos kaki tergeletak manis di pojok, nyaris menatapnya dengan tatapan ‘aku akan membuatmu dimarahi’. Asterion meraih keduanya, lalu kembali berlari.
Namun saat ia tiba di lorong, Elsha sudah berdiri di ujung dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresinya… seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis.
Asterion mengangkat kaos kaki itu seperti menyerahkan barang bukti. "Halo ibuku tercinta."
Elsha memutar mata. “Berapa kali ibu harus bilang? Kau tinggal di rumah ini, jadi—”
“—jadi harus ikut aturan rumah, aku tahu, aku tahu,” potong Asterion sambil menyeringai. “Tapi, demi membela diri… aku tadi sedang riset penting tentang dunia Hunter. Pekerjaan masa depan ini tidak bisa diabaikan begitu saja.”
Elsha menatapnya tanpa berkedip. “…kau sedang makan sereal sambil menonton TV, ‘kan?”
Asterion terbatuk pura-pura. “Ehem… metode riset visual field analysis.”
Suasana jadi hening sejenak… lalu Elsha menghela napas panjang. “Cepat taruh di keranjang. Lalu bantu ibu lipat pakaian.”
Asterion meringis seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Tapi dalam hati ia tertawa.