Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17.
Naina duduk bersila di ujung ranjang, wajahnya cemberut. Handuk sudah ia ganti dengan kaos tipis hotel, rambutnya masih basah. Ia menatap Ihsan yang duduk santai di kursi sambil memainkan ponselnya.
“Om, aku pengen banget dateng. Sekali ini saja. Kan kebetulan kita di Bandung, lagi pula mereka udah curiga. Kalau aku nggak muncul, bisa jadi gosip panjang. Tolong izinin ya,” ujarnya setengah merengek.
Ihsan mendongak, tatapannya datar tapi senyum tipisnya muncul. “Boleh. Tapi dengan satu syarat,” katanya pelan.
Naina mengerutkan dahi. “Syarat lagi? Om tuh ya, hobi banget bikin aku ribet. Apa sih?” ucapnya sambil melipat tangan.
Ihsan bangkit, berjalan mendekat lalu berdiri di depannya. Dengan suara berat menekan, ia berkata, “Aku ikut, Na. Dan di depan teman-teman kamu, aku mau dikenalin sebagai kekasih kamu.”
Mata Naina langsung melebar. “Hah!? Om gila ya? Kalau mereka tau Om itu papanya Rubi, tamat hidup aku. Rubi sekelas sama aku, inget nggak!?” serunya panik.
Ihsan hanya menatap dingin, tak bergeming. “Tenang aja. Mereka nggak akan tau. Selama ini nggak ada yang pernah lihat aku di sekolah Rubi. Aku bukan tipe bapak yang nongol di setiap acara anaknya. Jadi aman,” ujarnya mantap.
Naina menelan ludah, masih tampak ragu. “Tapi Om, kalau mereka kepo? Kalau ada yang nyambungin? Gimana coba aku ngejelasinnya?” katanya gelisah.
Ihsan mendekat lebih dekat, jaraknya nyaris membuat Naina mundur. Ia menunduk sedikit, menatap mata gadis itu tajam.
“Kalau mereka kepo, biar aku yang jawab. Kamu cukup bilang aku cowok yang lagi deket sama kamu. Se-simple itu. Nggak ada yang bisa bantah,” ujarnya penuh keyakinan.
Naina menggigit bibir, hatinya berdebar keras. Antara takut, bingung, sekaligus merasa aneh melihat pria berusia 40 tahun dengan wajah baby face bicara seolah segalanya mudah.
“Om tuh keterlaluan bukannya ngebantu, malah bikin aku makin deg-degan,” ucapnya lirih.
Ihsan tersenyum licik. “Aku justru lagi bantu kamu. Dengan aku ada di samping kamu, siapa pun bakal mikir dua kali sebelum gosipin kamu. Anggap aja ini latihan, Na… latihan jadi pasangan beneran,” imbuhnya, nada suaranya berat tapi misterius.
Wajah Naina merona, ia spontan melempar bantal ke arah pria itu. “Om Ihsan licik banget! Tapi yaudah deh, aku nurut. Tapi sumpah kalau ada masalah, Om yang maju duluan,” ujarnya setengah pasrah, setengah malu.
Ihsan menangkap bantal itu dengan sekali gerakan. “Deal,” katanya singkat, lalu duduk lagi dengan wajah puas.
Di dalam hati, Naina justru makin tak tenang. Besok bukan sekadar pentas tari tapi ujian besar yang bisa jadi membuka semua rahasia.
Malam makin larut, tapi mata Naina justru sulit terpejam. Dari tadi ia hanya bolak-balik di atas ranjang hotel, menatap langit-langit sambil memainkan ujung selimut. Akhirnya ia bangkit, berjalan pelan ke arah jendela besar yang menghadap gemerlap kota Bandung.
Ihsan yang sejak tadi duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya memperhatikan gerak gadis itu.
“Kenapa belum tidur? Besok kamu butuh tenaga buat acara,” ujarnya dengan nada tenang.
Naina menggigit bibir, lalu berbalik menatapnya. Tatapannya kali ini serius, bukan lagi manja atau bar-bar.
“Om kemarin aku denger kabar dari kantor Om, katanya lagi nyari keberadaan papa kandung aku. Apa bener? Udah ketemu siapa sebenarnya pria yang pernah ngerusak Mama Rahayu sebelum beliau nikah sama Papa Aditya Pradana?” tanyanya lirih, nyaris bergetar.
Ihsan terdiam sejenak, menutup laptopnya perlahan. Sorot matanya tajam, tapi ada keraguan yang jarang ia tunjukkan. Ia lalu bangkit, berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Naina.
“Na… urusan ini berat. Aku nggak mau jawab asal-asalan sebelum ada bukti jelas. Tapi ya, orang itu ada dan jejaknya mulai keliatan,” ujarnya hati-hati.
Naina menatapnya tak berkedip, tangannya mengepal. “Aku punya hak tau, Om. Seumur hidup aku dihina sama Mama sendiri, dibandingin sama Namira, dianggap aib keluarga. Aku capek jadi anak yang selalu salah, padahal aku sendiri nggak pernah minta lahir dari cara kayak gitu,” ucapnya, kali ini dengan suara pecah.
Ihsan menghela napas, lalu menepuk pelan bahunya. “Aku ngerti, Na. Makanya aku turun tangan. Orang itu bukan tipe yang gampang dilacak, tapi aku punya orang-orang yang lagi kerja buat ngumpulin data. Kalau waktunya tepat, kamu bakal tau semua.”
Naina menunduk, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Aku cuma pengen tau siapa aku sebenernya. Selama ini aku berusaha kuat, berusaha ketawa depan orang lain, tapi dalam hati aku kosong, Om.”
Ihsan mengangkat dagunya perlahan, memaksa gadis itu menatap matanya.
“Kamu bukan kosong. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Dan apa pun hasilnya nanti, buat aku kamu tetap Naina. Cewek keras kepala, bar-bar, tapi justru bikin aku hidup lagi setelah sekian lama dingin,” ujarnya dengan suara rendah tapi mantap.
Naina tercekat, menatapnya lama. Hatinya bergetar dengan rasa aneh antara lega, takut dan juga rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuh dan pikirannya.
“Om jangan bikin aku makin bingung,” ucapnya pelan.
Ihsan tersenyum tipis, tapi matanya serius. “Aku nggak bikin kamu bingung. Aku cuma pengen kamu tau kalau kamu nggak sendirian. Aku di sini, Na. Dan aku nggak akan berhenti sampe semua jawaban itu ketemu.”
Naina duduk di tepi ranjang, bahunya bergetar pelan. Air matanya turun tanpa bisa dibendung lagi. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, suaranya parau saat bicara.
“Om, aku bener-bener nggak kuat… Mama nggak pernah liat aku kayak anak sendiri. Dari kecil aku selalu disalahin, dibandingin sama Namira, dibilang keras kepala, dibilang bawa sial. Aku kira semua ibu sama anak pasti punya kasih sayang. Ternyata nggak berlaku buat aku,” ujarnya lirih.
Ihsan terdiam, wajahnya yang biasanya tegas mendadak luluh. Ia duduk di samping Naina, meraih tangannya perlahan.
Naina melanjutkan, suaranya pecah, “Aku dulu pikir mungkin aku aja yang kurang baik. Aku belajar, aku nurut, aku sabar. Tapi nggak pernah cukup. Baru dua minggu lalu aku tau ternyata aku memang bukan anak Papa Aditya. Aku anak dari pria yang ngerusak Mama sebelum nikah. Jadi semua sikap Mama selama ini ternyata karena aku cuma anak haram.”
Tangisnya pecah makin keras. Ia menunduk, pundaknya bergetar.
Ihsan meremas tangannya lebih erat. “Na… jangan pernah sebut diri kamu anak haram lagi. Kamu lahir bukan salah kamu. Yang salah itu orang-orang dewasa di masa lalu, bukan kamu,” ujarnya tegas.
Naina menggeleng dengan mata sembab. “Tapi Om sakit banget rasanya. Semua sikap Mama selama ini jadi masuk akal. Dia benci aku karena aku selalu jadi pengingat masa lalu yang gelap. Aku jadi malu sama diri sendiri, kayak nggak pantas ada di dunia ini.”
Ihsan mengusap pipinya, menghapus air mata yang terus mengalir. Sorot matanya dalam, dingin tapi penuh ketulusan.
“Dengar aku baik-baik. Kamu pantas hidup, Na. Kamu pantas bahagia, lebih dari siapa pun. Jangan biarin luka orang lain jadi beban kamu. Kamu bukan kesalahan, kamu justru hadiah yang nggak pernah mereka syukuri. Tapi aku bersyukur bisa nemuin kamu,” katanya mantap.
Naina menatapnya lama, bibirnya bergetar. “Om kenapa ngomong kayak gitu? Jangan bikin aku jatuh makin jauh,” ujarnya pelan, nadanya setengah takut.
Ihsan tersenyum tipis, wajahnya mendekat. “Karena aku udah jatuh duluan, Na. Jauh lebih dalam dari yang kamu kira.”
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺