Vira, seorang anak perempuan yang polos dan cantik selalu dikurung oleh ayahnya untuk menghasilkan uang dengan menjual tubuhnya.
Hingga suatu malam itu Vira mendapatkan pelanggan yang sangat berbeda dan cukup unik, berbicara lembut padanya dan bahkan memakaikan baju untuknya.
Namun, Vira tidak menduga bahwa pertemuannya itu justru mengubah nasibnya di masa depan nanti.
Siapakah sebenarnya laki-laki itu? dan takdir nasib apa yang tengah menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sofiatun anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sambil duduk termenung di atas atap rumah, Vin memandang pemandangan matahari terbenam di depannya yang lagi-lagi mengingatkannya pada tawa anak kecil yang tengah berlarian di taman bunga kesukaannya.
Ia sangat ingat bagaimana anak perempuan itu memetik bunga dengan antusias dan merangkainya menjadi mahkota bunga. Dan bagaimana ia memberikan dan memakaikan mahkota bunga itu di kepala kakaknya dengan tawa renyah.
"Hidup raja Vin!! Haha..."
Entah harus bahagia atau sedih, Vin bahkan tidak mengerti apa yang tengah ia rasakan saat ini. Bahkan setelah melihatnya secara langsung masih belum bisa menggoyahkan egonya yang sekeras batu. Padahal ia tak perlu memarahi nya seperti itu, apalagi jika ia sendiri lah yang melihat semua itu secara langsung.
Sejak putri Rina, adik yang hanya ia anggap sebagai satu-satunya keluarganya membangkitkan kekuatan yang diwariskan oleh para leluhur keluarga kerajaan kondisinya malah makin memburuk setiap harinya, karena usianya yang juga masih sangat muda ditambah dengan luka dari 17 tahun lalu yang sampai sekarang pun masih belum bisa disembuhkan.
Kesehatannya menurun tapi keadaan tidak mendukung. Sebagai keturunan kerajaan yang sudah membangkitkan kekuatan leluhur putri Rina harus menjadi pelindung untuk istana dan kerajaan dengan semua kekacauan 17 tahun lalu, dan segel raja yang juga sudah ikut menghilang membuatnya mengambil alih posisi itu tanpa memikirkan kesehatannya sendiri.
Bahkan selama 16 tahun terakhir pun putri Rina tak pernah bangun dari tidurnya yang seperti tengah menanti ajalnya. Tentu saja hal itu membuat Vin marah dan menyalahkan semua orang termasuk ratu dan para tetua meski ia mendapat banyak hukuman atas kelancangannya, tapi jika sudah menyangkut tentang adiknya tentu saja ia tidak akan tinggal diam.
"Pangeran... Saya mengerti perasaan anda... Karena saya juga merasakan hal sama, tapi semua masalah ini..."
"Apa kau bukan ibunya?! Apa kau memang tidak menginginkannya?! Dia anakmu dan kau hanya diam saja saat para orang tua itu memutuskan waktu kematian anakmu sendiri?!!" Vin berseru kalap sambil menunjuk sang ratu, ibu kandung dari putri Rina dengan telunjuknya penuh amarah.
Sang ratu pun hanya diam tidak bisa menjawab, karena ia sendiri tidak tahu lagi bagaimana ia menjelaskan semua ini.
"Oh, benar juga, bukankah anda sudah berjanji pada ibuku untuk mendukungku mengisi tahta raja? Itu sebabnya Anda bahkan dengan tega menyingkirkan Rina yang jelas-jelas sudah dipilih menjadi pewaris yang sah!!"
Mendengar hal itu ratu semakin tidak bisa berkata-kata lagi, dengan hati yang sakit mendengar setiap kata yang Vin lontarkan.
"Sebegitu terobsesinya kah kau denganku? Sampai kau harus menyingkirkan semua orang yang menghalangi?! Hah?!!" bentak Vin dengan keras sampai membuat ratu kini bergetar menahan Isak tangisnya.
"Kau itu tidak lebih dari hanya sekedar ratu penguasa tahta seperti yang ibuku bilang!! Kau membiarkan ibu pergi! Kau juga membiarkan raja maju ke garis depan tanpa pengawal! Dan sekarang... Kau mau membiarkan anakmu sendiri menunggu ajalnya dengan alasan keamanan istana! Hah!!
"JAWAB AKU KALAU PERKATAANKU SALAH!!" Bentak Vin dengan penuh amarah yang tak terkendali lagi, kali ini bahkan membuat ratu terduduk lemas sambil menyekap mulutnya dengan kedua tangan menahan Isak tangisnya yang menjadi, dan pada akhirnya tidak bisa memberi jawaban apapun pada Vin.
"Aku tidak pernah mengakui mu sebagai ibuku! Tidak pernah dan tidak akan!! Tapi jika itu adalah Rina... Itu hal yang berbeda, karena dia bahkan tidak mirip denganmu sama sekali!"
Saat itulah Vin akhirnya meninggalkan istana dan tak pernah kembali, tanpa kabar dan menghilang selama setahun lebih.
***
Hari menjelang malam dan makan malam terlewatkan hanya dengan Goro dan Vira saja.
"Sepertinya Vin belum pulang juga... Oh ya, apa Sen masih di kamar? Dia belum makan juga, bisakah anda menemuinya Vira?" pintanya pada Vira yang baru menyelesaikan makannya.
Sementara Goro membersihkan sisa makanan di meja, Vira menghampiri kamar Sen untuk mengajaknya keluar makan.
Namun, saat Vira baru saja membuka sedikit pintu kamar Sen, dia melihat Sen yang tengah tertidur di ranjang dengan tubuh yang bergetar seperti menahan sakit.
Dengan hati-hati Vira masuk ke dalam tanpa suara agar tidak mengganggu Sen. Dia berdiri di samping ranjang dan melihat dengan jelas ekspresi wajah Sen yang memang seperti menahan sakit, dan itu cukup menyakitkan sampai-sampai harus menggigit kain di mulutnya untuk meredam erangannya.
"Heh... Itu pasti sangat menyakitkan... Apa dia baik-baik saja terus seperti itu?" ucap peri biru dengan bahasanya yang hanya bisa dimengerti Vira.
Para peri lainnya juga ikut keluar dan melihat apa yang terjadi. Vira pun mengangkat jarinya di depan bibirnya pada para peri agar mereka diam karena itu mengganggu Sen.
"Ouh! Hmph..." dengan polosnya mereka menurut dan menutup mulut mereka satu sama lain.
"Hei Vira... Apa anda mau membantunya?" tanya peri merah kali ini dengan berbisik sekecil mungkin.
"Saya tidak yakin bisa membantunya" jawab Vira melalui suara batinnya yang selama ini ia gunakan sebagai komunikasi hanya dengan para peri.
"Heeeh... Sayang sekali..."
Walaupun Vira sudah membangkitkan kekuatan setelah ia berevolusi, dan juga sudah bisa menggunakannya saat menyembuhkan putri Rina. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak yakin jika ia bisa menolong Sen yang jelas dalam penglihatan barunya terlihat seperti tidak bisa ia sembuhkan.
Lalu apa itu? Apa yang sudah terjadi pada Sen sehingga menjadi seperti ini?. bahkan setelah Vira menelusuri setiap memorinya pun masih tidak ada jawaban untuk itu, seakan ada sesuatu yang hilang dalam memorinya, atau mungkin memang sengaja dihilangkan?...
Namun, melihat Sen yang masih kesakitan seperti itu membuat Vira tidak tega, ia tak bisa melakukan apapun, tapi setidaknya ia bisa berusaha mencari tahunya dengan mencoba.
Dengan memegang bagian tubuhnya saja Vira susah cukup untuk masuk ke dalam memorinya saat ini. Para peri tetap diam tanpa mengganggu, saat Vira memilih menyentuh kepala Sen agar lebih efektif, tidak sengaja membuat Sen merespon, dan itu justru seperti ia menginginkan sentuhan itu.
Vira yang menyadari hal itu pun kali ini dengan ragu dan hati-hati mengulurkan tangannya lagi pada kepala Sen, dan benar saja Sen kembali merespon sentuhan tangan Vira di rambutnya, dengan erangan tertahan yang semakin melemah, Vira pikir itu cukup membantu, ditambah dengan Sen yang masih belum membuka matanya dan menikmatinya dengan nyaman.
Vira pun mulai mengelus-elus nya dengan lembut berharap bisa memberi ketenangan agar Sen bisa kehilangan rasa sakitnya dan jatuh tidur dengan nyenyak.
"Eh, Vira... Mana Sen?" tanya Goro saat Vira keluar dari kamar sendirian.
Vira menjawab dengan gelengan dan mengisyaratkan kalau Sen tengah tertidur dan biarkan saja.
Goro yang mengerti itu pun mengangguk paham dan tersenyum pada Vira, walaupun tidak tahu apa yang tengah terjadi pada mereka berdua, tapi Goro juga tidak perlu tahu itu, dan ia pun kembali ke pekerjaannya di dapur.
"Eh... Vira, mau dibawa kemana makanannya?" tanya Goro saat Vira datang ke dapur dan mengambil sepiring makanan yang sengaja Goro sisakan di sana.
Sambil memegang piring itu dengan kuat-kuat, Vira menatap Goro dengan mata yang kini jelas bisa terbaca oleh Goro. Ia pun mengangguk paham dan mempersilahkan Vira untuk membawa sepiring makanan itu keluar.
***