Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Anya ... bersiaplah," bisiknya. "Permainan baru saja dimulai." Jari-jarinya yang kasar mulai membersihkan laras pistol dengan gerakan yang tenang namun mematikan. Kilatan cahaya redup memantul dari logam dingin itu, seolah mencerminkan niat gelap yang berputar-putar di benak Revan.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Revan dengan cepat menyembunyikan pistol di balik punggungnya.
"Siapa itu?" tanyanya dengan nada dingin.
"Ini aku, Renata," jawab sebuah suara lembut dari balik pintu.
Revan mendengus. Renata, kembarannya yang selama ini tinggal di luar negeri untuk menyelesaikan studi sarjananya, kini kembali ke Indonesia. Gadis yang selalu menjadi kesayangannya, satu-satunya orang yang masih bisa melihat sisi baik dalam dirinya.
"Masuk," jawab Revan singkat.
Renata membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Ia menatap saudara kembarnya dengan tatapan khawatir. "Aku dengar kau masuk penjara? Apa yang kau lakukan, Revan? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil melangkah mendekati Revan.
Revan mengangguk. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," jawabnya berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan.
Renata menatap mata Revan dengan seksama. Ia bisa melihat amarah dan dendam yang tersembunyi di balik mata itu. "Aku tahu kau marah, Revan. Tapi kumohon, jangan lakukan hal bodoh," pintanya dengan nada memohon.
"Jangan lakukan ini, Revan. Aku tahu pernikahanmu dan Anya hanyalah perjanjian bisnis, tapi apa yang kau lakukan padanya ... itu sudah keterlaluan."
Revan menggeram. "Kau tidak tahu apa-apa, Rena! Wanita itu ... dia mencoba menusukku dari belakang! Dia mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanku! Setelah semua yang kuberikan padanya!" geram Revan dengan mengeraskan rahangnya.
Renata menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kau memberinya apa, Revan? Kekerasan? Penganiayaan? Dia hanya ingin bebas darimu. Pernikahan ini tidak pernah didasari cinta," tuturnya menasihati.
Revan mencengkram bahu Renata dengan kasar. "Diam! Kau tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja! Aku melakukan semua ini untuk keluarga kita! Untuk masa depan kita!" tegas Revan dengan mata sudah memerah menahan emosi yang meluap-luap.
"Dengan menyakiti orang lain? Dengan memperlakukan wanita seperti objek? Apa itu yang kau sebut masa depan?" serkas Renata masih berusaha menyadarkan saudara kembarnya itu.
Sambil berusaha keras melepaskan cengkraman tangan Revan. "Revan, kau harus berhenti. Biarkan Anya pergi. Dia sudah cukup menderita di sisimu, jika kau tidak mencintainya, bebaskan dia, biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri!" tutur Renata lembut sambil menatap dalam mata Revan seolah mencari secercah harapan di mata elang Revan.
Revan mendorong Renata hingga terjerembap ke lantai. Lututnya membentur sisi meja, membuatnya meringis menahan sakit. "Tidak! Dia tidak akan pergi kemana-mana! Dia milikku! Dan dia akan membayar atas pengkhianatannya!" lanjut Revan lantang.
"Kau sudah gila, Revan!" balas Renata sambil berusaha bangkit dari lantai, ia menatap Revan dengan air mata berlinang. "Aku tidak menyangka kau bisa menjadi monster seperti ini. Kau bukan Revan yang aku kenal," lirih Renata dengan suara bergetar, lalu berbalik dan berlari keluar dari kamar Revan, meninggalkan Revan yang berdiri terpaku dengan amarah yang semakin membara.
Setelah memastikan Renata sudah pergi, Revan kembali mengeluarkan pistol dari balik punggungnya.
"Baiklah, Anya," bisiknya dengan nada dingin. "Kalau kau ingin bermain-main, mari kita lihat siapa yang akan menang." gumamnya dengan tersenyum licik.
***
Sementara itu, Anya dan Damian kini berada di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Bukan tempat yang mewah, tapi cukup aman untuk sementara waktu. Meninggalkan kemegahan mansion adalah keputusan sulit, namun tak terhindarkan.
"Kita tidak bisa terus bersembunyi seperti ini," gumam Anya sambil menatap kosong ke luar jendela. "Revan tidak akan pernah berhenti." lirih Anya.
Damian menghela napas, raut wajahnya menunjukkan beban pikiran yang berat. "Aku tahu. Sejujurnya, aku ingin menghadapi Revan di sana, tapi..."
"Tapi kenapa kita pergi?" tanya Anya bingung dengan sikap Damian, yang sebelumnya ia kekeh akan menghadapi Revan. Tapi tiba-tiba saja keputusannya berubah dan mengajaknya untuk bersembunyi.
Damian menatap Anya dengan tatapan serius. "Karena aku tahu siapa Revan sebenarnya. Jika dia sampai nekat menyerang kita di mansion, dia tidak akan peduli dengan nyawa orang lain. Para pelayan, para penjaga ... mereka semua akan menjadi korban kebodohan Revan," jelas Damian.
Anya terdiam, menyadari kebenaran kata-kata Damian. Revan adalah orang yang kejam dan tak kenal ampun. Ia tidak akan ragu untuk mengorbankan siapa pun demi mencapai tujuannya.
"Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," lanjut Damian dengan nada tegas. "Aku tidak bisa mempertaruhkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah. Kita pergi bukan karena takut pada Revan, tapi karena kita harus melindungi mereka," jelas Damian lebih lanjut.
Anya meraih tangan Damian, dengan ragu ia menggenggamnya erat. "Kau benar, Damian. Kita tidak mungkin mengorbankan nyawa orang yang tak bersalah," balas Anya merasa kagum dengan jalan pikiran Damian.
Damian membalas genggaman Anya, tatapannya penuh tekad. "Aku berjanji, Anya. Aku akan menghentikan Revan. Dan aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi," janji Damian.
"Kenapa kau melakukan ini, Damian?" tanya Anya, suaranya pelan. "Kenapa kau mempertaruhkan segalanya untukku?" lanjutnya.
Damian terdiam sejenak, menatap Anya dengan lembut. Kilasan masa lalu melintas di benaknya. Ia ingat pertama kali melihat Anya, Anya yang masih memakai seragam SMA sedang membantu seorang kakek yang kesusahan menyeberang jalan. Ia bisa melihat ketulusan di mata gadis di hadapannya saat itu.
Menurut Damian, Anya adalah gadis muda yang penuh semangat dan mimpi sejak saat itu. Ia selalu memperhatikan Anya dari jauh, mengagumi kecantikan dan kebaikan hatinya. Ia ingin melindunginya dari dunia yang kejam ini, tapi ia selalu merasa tidak pantas untuk berada di dekatnya, karena ia tahu jika Anya berada di sisinya, Anya akan dalam bahaya. Karena itu, ia memutuskan untuk mengagumi Anya dalam diam.
"Aku hanya melakukan apa yang benar, Anya," jawab Damian akhirnya, suaranya tenang namun tegas.
Anya menatap Damian dengan rasa terima kasih. Ia tahu bahwa Damian adalah orang yang baik dan tulus, tapi ia tidak tahu mengapa ia begitu peduli padanya. Ada sesuatu yang Damian sembunyikan darinya.
Bersambung ....