NovelToon NovelToon
Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Pelakor jahat
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Isti arisandi

Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.

Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.

Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.

Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Mencoba Menerima

Sore itu, angin berhembus lembut menyapa kulit. Langit tampak teduh, seakan tahu hati Naura sedang tidak ingin diganggu.

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 16.30 ketika Yusuf datang menjemput. Ia mengenakan kemeja biru muda yang rapi, rambutnya disisir ke belakang dengan wangi parfum khas yang Naura kenal sejak lama.

“Naura, sore nanti kita pulang bareng, ya. Aku mau ajak kamu jalan-jalan, supaya nggak bete terus di rumah,” ucap Yusuf seraya membuka pintu mobil dari dalam.

Naura hanya menoleh dan tersenyum kecil. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Senyum itu hambar, nyaris tak bermakna. Tapi bagi Yusuf, itu sudah cukup menjadi tanda bahwa Naura tidak menolaknya.

Ia tahu, Naura sedang tak banyak bicara akhir-akhir ini. yusuf menyangka hanya karena lelah saja. Atau hatinya masih menerimanya setengah setengah.

Yusuf tidak ingin memaksa. Ia memilih mencintai Naura dalam diam dan dengan sabar. Karena ia percaya, air yang menetes terus-menerus, bahkan bisa melubangi batu yang paling keras.

Mobil melaju perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu toko. Yusuf membuka kaca jendela sedikit, membiarkan angin sore masuk, mencoba mencairkan suasana.

Di kursi sebelahnya, Naura duduk diam, menatap jalanan yang berlari mundur dari balik kaca.

Yusuf meliriknya sesekali, lalu mencoba lagi untuk bicara.

“Kita ke butik juga, ya. Itung-itung lihat-lihat baju pengantin dulu. Kan siapa tahu cocok, bisa langsung pesan.”

Naura masih menatap ke luar, tapi kali ini ia menjawab.

“Baiklah, Mas,” ujarnya pelan.

Yusuf tersenyum. Jawaban itu pendek, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa hangat. Ia menggenggam kemudi lebih erat, merasa semakin yakin dengan langkahnya bersama Naura.

Butik yang mereka tuju tidak terlalu jauh dari pusat kota. Tempatnya elegan, dengan kaca besar di bagian depan dan etalase yang menampilkan gaun-gaun pernikahan yang anggun. Saat mereka masuk, lonceng kecil di atas pintu berbunyi nyaring. Seorang pramuniaga langsung menyambut.

“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.

Yusuf melirik Naura, memberi isyarat agar ia yang bicara. Tapi Naura hanya tersenyum sopan, lalu kembali menunduk.

“Kami mau lihat-lihat baju pengantin,” ucap Yusuf akhirnya. “Mungkin juga sekalian fitting kalau sempat.”

“Oh, tentu bisa! Silakan, Mas dan Mbaknya bisa lihat-lihat dulu. Kalau ada yang cocok, nanti saya bantu.”

Naura mengikuti Yusuf dari belakang, menyusuri deretan gaun putih yang menggantung rapi. Tangannya sempat menyentuh satu dua kain renda, lalu kembali terdiam. Yusuf memperhatikan wajahnya yang tampak datar. Ia tahu, Naura belum sepenuhnya menikmati momen ini. Tapi ia tetap berusaha membuat suasana menyenangkan.

“Yang ini cantik, ya?” kata Yusuf, menunjuk salah satu gaun dengan ekor panjang dan manik-manik halus di bagian dada.

Naura hanya mengangguk. Tidak lebih.

“Kamu pasti cocok pakai ini. Aku bisa bayangin, kamu jalan di pelaminan, senyum manis seperti dulu…”

Naura menarik napas pelan. Perasaannya berkecamuk. Yusuf memang selalu manis. Bahkan ketika hatinya masih belum utuh, lelaki itu tetap memuliakan perasaannya. Tapi luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ia tak ingin memberi harapan palsu pada Yusuf, namun juga tak tega terus bersikap dingin.

“Aku... belum yakin, Mas,” ucap Naura akhirnya. “Bukan tentang bajunya. Tapi tentang semua ini.”

Yusuf menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Naura yang jujur.

“Aku tahu,” katanya pelan. “Dan aku nggak akan maksa kamu. Kita bisa mulai pelan-pelan. Nggak harus langsung percaya, nggak harus langsung cinta. Aku cuma ingin kamu tahu, aku serius.”

Naura mengangguk pelan. Hatinya seperti dipeluk oleh kalimat itu.

Usai dari butik, mereka memutuskan mampir ke sebuah taman kecil di tengah kota. Tempat itu tidak ramai, hanya ada beberapa orang tua yang sedang jogging dan anak-anak kecil yang bermain gelembung sabun.

Yusuf membeli dua cup es krim coklat dan memberikannya pada Naura. Gadis itu menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk di bangku kayu di bawah pohon beringin yang rindang.

“Aku tahu kamu belum bisa mencintaiku sepenuhnya, Naura,” kata Yusuf sambil duduk di sebelahnya. “Tapi aku juga tahu kamu bukan orang yang akan membiarkan seseorang menunggu tanpa harapan.”

Naura diam. Ia menatap es krimnya, lalu menjilat perlahan. Manis. Seperti masa-masa dulu saat Yusuf masih hanya seorang kakak kelas yang suka mencuri pandang di koridor sekolah.

“Aku pernah jatuh cinta, Mas. Dan aku juga pernah jatuh dalam luka,” ucap Naura akhirnya. “Dulu aku kira, cinta itu cukup. Tapi ternyata, kenyataan lebih rumit dari dongeng.”

Yusuf mendengarkan dengan tenang. Tak satu pun ia potong.

“Aku mempercayai seseorang sepenuh hati, seseorang yang tidak seharusnya, dan saat ini aku merasakan kesakitan sendiri.”

Yusuf mengangguk pelan.

“Aku ngerti, Naura. Dan aku nggak akan janji kita nggak akan pernah sakit. Tapi satu hal yang bisa aku janji'in aku nggak akan pergi.”

Hening. Burung-burung beterbangan di kejauhan. Naura merasa seperti ada sesuatu yang menetes di hatinya. Bukan luka, tapi semacam kehangatan yang selama ini hilang.

Hari mulai gelap ketika mereka kembali ke mobil. Dalam perjalanan pulang, Yusuf memutar lagu-lagu lama yang biasa mereka dengar saat masih kuliah. Lagu dari Ada Band, Kerispatih, dan Melly Goeslaw mengalun lembut.

Naura mulai tersenyum. Tak lagi datar, tapi benar-benar menikmati. Dia berusaha sadar kalau Yusuf adalah tameng untuk menutupi aibnya.

“Masa-masa ini dulu kayak mimpi, ya, Mas,” katanya tiba-tiba. “Kita dulu cuma kenal di kampus, cuma saling sapa kalau ketemu. Tapi sekarang… kita duduk di mobil yang sama, lihat baju pengantin.”

Yusuf tertawa kecil. “Dulu aku udah suka kamu sejak kamu rebutan tempat duduk di kantin.”

Naura tertawa pelan. Tawanya tulus. Yusuf menoleh dan melihat senyum itu. Ah, akhirnya, senyum yang ia rindukan benar-benar kembali.

Sesampainya di rumah, Yusuf tidak langsung pergi. Ia mengantar Naura sampai ke depan pintu, dan berdiri beberapa detik lebih lama dari biasanya.

“Naura…”

“Iya, Mas?”

“Kalau suatu hari nanti kamu sudah siap... aku ingin kamu tahu, aku akan ada di sini. Bukan buat jadi pelengkap hidupmu, tapi buat berdiri di sisimu. Bahkan ketika kamu marah, sedih, atau nggak percaya lagi sama cinta.”

Naura memandangnya. Mata Yusuf jernih, tidak ada kebohongan di dalamnya. Lelaki itu memang benar-benar mencintainya. Dengan cara yang tidak memaksa, tidak menuntut. Hanya memberi ruang, dan kesabaran.

“Terima kasih, Mas,” kata Naura. “Terima kasih karena nggak menyerah.”

Yusuf tersenyum.

“Sama-sama.”

Setelah itu, ia berbalik, berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Naura yang masih berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda di mata gadis itu. Tatapannya lebih hangat. Senyumnya lebih tulus. Seolah-olah hatinya mulai membuka jendela, meski belum seluruhnya.

Malamnya, di kamarnya sendiri, Naura duduk di depan cermin. Ia memandangi dirinya sendiri. Lalu mengingat semua yang terjadi hari ini, perjalanan mereka, butik pengantin, taman kecil, es krim coklat, dan kata-kata Yusuf yang terus menggema di pikirannya.

“Aku nggak akan pergi.”

Sederhana. Tapi itu kalimat yang sudah lama tidak ia dengar. Semua lelaki sebelumnya selalu punya alasan untuk pergi. Tapi Yusuf berbeda. Ia tetap tinggal, bahkan ketika Naura bersikap dingin.

Naura mengambil ponselnya, lalu mengetik sebuah pesan.

Makasih ya, Mas Yusuf, buat hari ini. Aku... senang.

Pesan itu singkat. Tapi Yusuf yang membacanya malam itu tersenyum lebar, seperti mendapatkan kado ulang tahun paling indah.

Ia membalas.

Aku juga senang. Semoga esok kamu lebih bahagia lagi.

"Huek Huek!!" Naura tiba-tiba merasakan mual yang luar biasa. Maura mengira dia telah masuk angin karena tidak langsung pulang usai kerja. Menyesal diajak mampir Yusuf ke restauran untuk makan, malah ditolaknya.

1
Rahmi
Lanjutttt
Rian Moontero
lanjuuuuttt/Determined//Determined/
Yunia Spm
keren
Yunia Spm
definisi ipar adalah maut sebenarnya....
watini
badai besar siap menghancurkan davit naura.karna kebusukan tak kan kekal tersimpan.moga Yusuf ga jadi nikahin Naura,dan mendapatkan jodoh terbaik.
watini
suka cerita yg tokoh utamanya wanita kuat dan tegar.semangat thor,lanjut
Isti Arisandi.: terimakasih komentar pertamanya
total 1 replies
Isti Arisandi.
Selamat membaca, dan jangan lupa beri like, vote, dan hadiah
Isti Arisandi.: jangan lupa tinggalkan komentar dan like tiap babnya ya...😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!