Terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah dia impikan membuat kehidupan Anik Saraswati menjadi rumit.
Pernikahannya dengan seorang dokter tampan yang bernama Langit Biru Prabaswara adalah sebuah keterpaksaan.
Anik yang terpaksa menjadi mempelai wanita dan Dokter Langit pun tak ada pilihan lain, kecuali menerima pengasuh putrinya untuk menjadi mempelai wanita untuknya membuat pernikahan sebuah masalah.
Pernikahan yang terpaksa mereka jalani membuat keduanya tersiksa. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka.
Jika ingin membaca latar belakang tokoh bisa mampir di Hasrat Cinta Alexander. Novel ini adalah sekuel dari Hasrat Cinta Alexander
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Putri761, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Enak Badan
Langit menuruni tangga bermaksud mencari putrinya. Tapi, perutnya merasa sangat mual hingga membuat langkahnya berbelok mencari keberadaan wastafel terdekat.
" Huek...huek...." pria itu terus saja berusaha mengeluarkan isi perutnya yang masih kosong.
Nafasnya sempat terengah setelah perutnya merasa sedikit lega. Pagi ini memang rasanya tidak enak untuk langit, pria itu merasa sangat tidak nyaman sekali.
"Mas Langit seperti orang lagi ngidam." ucap asisten rumah tangga yang beberapa hari ini memperhatikan Langit.
"Bisa buatkan saya teh hangat manis, Bu!" pinta Langit yang kemudian memilih duduk di sofa yang dekat dengan ruang makan.
" Iya, Mas." jawab wanita paruh baya itu segera membuatku teh hangat.
Sejenak Langit terdiam, dia yang awalnya berniat mencari Ana malah duduk termenung sendiri. Pikirannya berkecamuk tentang apa yang dikatakan asisten rumah tangga mamanya.
Dia memang tahu tentang sindroma couvade, tapi mana mungkin? Dia hanya melakukannya sekali. Tiba-tiba dia teringat tentang sejarah Ana. Dia pun hanya sekali melakukannya dan itu pun tanpa sadar, tapi ternyata terciptalah Ana tanpa sepengetahuannya.
" Ah tidak mungkin, lagian jika Anik hamil dia pasti akan datang padaku." gumam Langit yang masih sangat meragukan perkataan asisten rumah tangganya.
Langit yakin semua itu karena dirinya terlalu sibuk dan stress. Setelah kepergian Anik, semua kegiatan dan tugasnya seperti bertumpuk dan kadang berbenturan jadwal.
Langit yang biasa mempercayakan Ana pada Anik pun harus lebih intens memberi perhatian pada putrinya itu. Belum lagi, dua bulan ini keinginan untuk mencari keberadaan mantan istrinya pun tidak lagi bisa di tahan.
Suara langkah kaki yang saling beriringan membuat Langit menoleh. Ternyata Ana dan mamanya sedang melangkah ke arahnya. Ana nampak siap dengan seragam sekolahnya.
"Lang, Ana hampir mogok sekolah karena mau ketemu Mama Anik." Kalimat mamanya membuat Langit mendesah. Masalahnya semakin belum juga selesai, dia baru menyadari energi Anik selama ini terlalu kuat untuk mengikat kehidupannya.
"Sayang, sini sama Papa!" panggil Langit dengan malas karena masih merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya.
Dengan wajah lesu Ana melangkah mendekati papanya.
" Ana sayang Mama Anik?" tanya Langit, tapi bocah itu hanya terdiam menatapnya.
" Baiklah, Ana sudah tidak sayang Mama Anik..."
" Ana kangen Mama Anik." sela Ana sambil berteriak.
" Ohhh... kalau Ana marah-marah kayak gini, terus nggak mau sekolah, apa Mama Anik tidak sedih?" tanya Langit. Diam-diam dia sering memperhatikan Anik yang selalu menasehati putrinya.
" Ana akan menurut, Papa. Tapi, Papa minta Mama pulang." ucap Ana. Dia merasa hanya papanya yang bisa melakukan itu. Seolah-olah, Langit lah yang menyembunyikan Anik selama ini.
Langit mengangkat putri kecilnya itu untuk duduk di atas pangkuannya. Melihat, wajah lesu putrinya dia juga tidak tega, tapi dia sendiri tidak tau lagi kemana harus mencari Anik.
Entah kemana menghilangnya wanita itu hingga membuat langit merasa putus asa mencarinya. Mungkin, dia sudah terlalu menyakiti perasaan wanita itu hingga Anik tak ingin bertemu dengannya.
###
Biru melangkah di belakang mamanya saat memasuki butik. Pria itu memang terlihat gagah dan rapi apalagi wajah tampannya memang menarik perhatian banyak orang.
"Ma, biru tunggu di sofa saja ya!" ucap Biru yang langsung memilih duduk di sofa saat mamanya disambut seorang pegawai butik.
Pria itu mencari ke sana- ke sini sosok yang membuatnya bersemangat mengantar mamanya pergi ke butik.
Anik yang baru saja mengeluarkan beberapa stok baju dari gudang membuat pria itu tersenyum. Entah kenapa melihat wanita itu terasa adem.
Pria itu langsung berdiri saat melihat wanita yang membuatnya tertarik itu kewalahan membawa tumpukan baju.
"Aku bantuin, Ras." suara bariton itu membuat Anik terhenyak kaget. Bahkan jari-jari pria itu sempat menyentuh punggung tangannya.
" Nggak usah, Mas. Ini sudah pekerjaanku." jawab Anik berusaha menolak dan menjauhkan tangannya dari pria gagah di depannya.
"Nggak apa-apa." Biru langsung menarik semua baju yang Anik bawa dan langsung membawanya ke meja yang ada di dekat kasir.
" Mas- Mas Biru, ini pekerjaan saya!" suara Anik yang kini melangkah mengejar Biru mengalihkan perhatian banyak orang pada keduanya, termasuk mamanya Biru.
Rini yang duduk di belakang meja yang sedang membenarkan daftar barang di komputernya, itu pun menatap keduanya dengan heran.
"Mas, saya nggak enak jika konsumen melakukan ini." ucap Anik setelah biru meletakkan tumpukan baju di meja Rini.
" Saya saja nggak masalah. Lain kali jangan terlalu ngoyo! Kamu bisa jatuh." ucap Biru yang memang sempat melihat jalan Anik tidak seimbang.
" Terima kasih, Mas!" ucap Anik.
"Hanya itu?" tanya Biru dengan tatapan menggoda ke arah wanita yang salah tingkah itu.
"Ya maksudnya, kamu bisa memberikan nomer ponsel atau mentraktirku minum teh." lanjut Biru, dengan sorot mata pengharapan.
" Tapi saya harus bekerja, Mas!" balas Anik yang sengaja membangun jarak dengan seorang pria.
" Besok sore saat kamu selesai kerja. Oke!" ucap Biru kemudian meninggalkan Anik dengan tersenyum tipis.
Anik hanya menatap heran pria itu tanpa mendapat kesempatan untuk menjawab.
" Itu putra saya, namanya Biru. Mbaknya sudah kenal?" suara Nyonya Anisa membuat Anik menoleh. Tatapan penuh selidik wanita paruh yang terlihat anggun itu membuat Anik serba salah..
" Maaf, Bu. Saya sering lihat Mas Biru mengambil pesanan Ibu di sini." jawab Anik sesopan mungkin membuat Nyonya Anisa malah tersenyum.
Dari awal Anik yang cemas karena kedekatannya dengan Biru menimbulkan spekulasi yang kurang pantas antar pelayan dan konsumen.
"Ohhh. Saya mau bayar ini, Mbak." lanjut Anisa menyerahkan pilihan belanjaannya pada Anik. Wanita itu sesekali melirik dan memperhatikan Anik yang terus saja menundukkan pandangan.
Setelah membayar belanjaannya, Nyonya Anisa menghampiri kembali putranya yang sedang memainkan ponselnya.
Biru langsung beranjak dari tempat duduknya saat Nyonya Anisa berdiri didepannya. Pria itu sempat menoleh dan tersenyum tipis ada Anik. Tatapan pria itu pada Anik memang bentuk kekagumannya pada sosok wanita yang terkesan naif itu.
"Nik sepertinya Mas Biru terus merhatiin kamu." lirik Rini setengah berbisik.
"Biasa saja, Mbak. Lagian saya tidak ingin berfikir lebih karena saya janda dan sekarang malah hamil." gumam Anik. Padahal hati wanita itu sudah tertutup untuk seorang pria.
"Kamu masih cinta sama mantan suamimu?" selidik Rini. Dia merasa Anik masih mencintai mantan suaminya.
" Cinta?!" jawab Anik dengan senyum sinis yang terbit dari bibir tipisnya.
Mereka mengobrol dengan setengah berbisik karena Mereka masih bekerja.
" Nggak mungkin kamu marah saat mantan bawa wanita lain pulang ke rumah. Nggak mungkin kamu gagal move on kayak gini, jelas saja ada cowok ganteng di depan mata." goda Rini membuat Anik hanya menggelengkan kepala. Dia sendiri tidak pernah berfikir ke sana.
Selama ini dia merasa tidak berhak atas hidupnya, tidak pernah diberi pilihan dan bahkan dipaksa untuk menerima keadaan. Hatinya sudah membeku, hanya ada satu ruang dalam hatinya yaitu untuk Ana dan calon bayinya.