Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rendra jangan buat aku goyah
Bian menatap kepergian Ara dengan jantung berdegup kencang, dia bahkan harus melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya, Sesak.
Ara benar-benar membuatnya gila, bocah bau kencur itu meracuni pikirannya dengan pesona yang dia punya.
"Heri ikuti istriku! laporkan padaku apa saja yang dia lakukan di luar." perintah Bian pada salah satu orang suruhannya, melalui ponselnya. Melepas Ara tanpa pengawasan darinya tak membuat pikirannya tenang, apa lagi sosok Rendra selalu membuat hatinya memanas.
Dia sendiri masih ada jadwal pertemuan, dengan beberapa rekan bisnisnya. mungkin Malam baru dia bisa pulang ke rumah.
Taksi yang di tumpangi Ara berhenti di depan halaman mall. Ara turun dari taksi lalu masuk menemui temannya yang sudah menunggunya di gerai makanan yang ada di lantai satu.
Hari ini sepertinya pengunjung mall tak begitu Ramai, jadi Ara tak begitu sulit mencari temannya diantara pengunjung yang ada di gerai makanan.
"Ra!" teriak Kiki sembari melambaikan tangan ke arahnya. Ara balas melambai dan bergegas menghampiri Kiki dan rombongan.
"Lama ya nunggunya?" Tanya Ara seraya duduk di kursi kosong di sebelah Fathan. Gerai ini cuma menjual minuman kekinian baik dingin maupun hangat tidak ada cemilan atau sejenis makanan ringan lainnya.
"Pesan apa?" tanya Fathan sebari menyodorkan buku menu pada Ara.
"Nanti saja!" Suara berat dan dalam terdengar menyela perkataan Fathan.
Ara dan yang lain serempak menoleh ke sumber suara, lelaki tinggi tegap berisi dengan garis wajah yang sangat tampan tengah menatap Ara lekat.
"Kak Rendra," ujar Ara tak percaya Rendra sedang berada di depannya.
"Ikut aku," ujar Rendra seraya meraih jemari Ara.
"Tunggu!, maaf kamu siapa main bawa Ara seenaknya?" Fathan menahan tangan Rendra dengan berani.
Kalau fathan menatap Rendra dengan curiga, tidak dengan Kiki dan Imel, mereka sudah pernah melihat Rendra sebelumnya, saat Rendra melakukan panggilan video, mereka mengenali Rendra sebagai sugar bebynya Ara.
"Ra! please!" sentak Rendra tak sabar.
"Tidak apa fathan," ujar Ara seraya beranjak dari duduknya.
"Aku pinjam temen kalian bentar Ya, bolehkan?" Tanya Rendra dengan wajah yang begitu menggemaskan. Kiki dan Imel mengangguk dengan mata berbinar.
"Ayo, Ra!" Rendra melempar senyum pada ketiga teman Ara, kemudian membawa langkah Ara mengikuti langkah mejauh dari temen Ara.
Ara memainkan kuku jarinya, berusaha menghindari tatapan Rendra yang menusuk jantungnya. Jujur lelaki ini yang ada dihatinya beberapa waktu belakangan ini, hanya saja sttatus yang membuat Ara tak berani bermimpi terlalu indah tentang Rendra dan memilih memendam rasa yang dia punya seorang diri.
Mereka sedang berada di sebuah cafe sekarang, Rendra sengaja memesan private room demi bisa bicara tenang dengan Ara, dia tak mau tiba-tiba Bian datang merebut Ara darinya. Ada banyak kata dan rasa yang akan dia curahkan saat ini pada gadis impiannya.
"Ra, kau benar menikah dengan Bian?" Tanya Rendra dengan lembut. Ara mengangkat wajahnya sekilas lalu mengangguk pelan, Tubuh Rendra layu seketika, rahangnya mengeras, menahan sakit di sudut hatinya.
"Tapi pernikahan kami hanya demi statusku dan tanggung jawabnya kak," ujar Ara dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang dia lakukan padamu Ra?" Rendra sudah tersulut emosi, kalimat Rara tadi sudah menceritakan apa yang terjadi pada Ara dan Bian, tapi dia ingin dengar dari Ara langsung apa sebenarnya yang terjadi. Tapi Ara malah menggeleng pelan.
"Sudah, tidak usah di ungkit lagi kak, aku sekarang adalah istrinya, dan dia adalah suamiku," ujar Ara dengan senyum hambar.
"Ada masalah sebesar ini kenapa tidak bicara padaku, kau anggap apa aku."
"Kau orang istimewa bagiku," ujar Ara lirih.
"Benarkah? lalu apa ini, kau menikah dengan Bian tanpa memberitahuku!"
"Aku bisa apa kak, ini aib bagiku, mana mungkin aku sanggup membaginya dengan orang lain."
"Kalau kau cerita padaku, kau tidak harus menikahi Bian Ra!" suara Rendra sedikit meninggi, dia sudah tak mampu lagi menahan amarahnya.
"Lalu, nikah dengan siapa? gadis yang sudah tak vir gin lagi siapa yang mau, hanya dia kak, dia yang sudah merengutnya dari ku, dia yang harus menikahi ku," ucap Ara dengan suara bergetar. Dia juga tak mau, dia juga ingin menolak, tapi apa dia punya daya? tidak! Sama sekali tidak...
"Andai aku mau, apa kau mau?" Ara menatap Rendra penuh lalu tetawa pelan. Kalimat Rendra terdengar seperti lelucon.
"Hanya Andai kan," ujar Ara pelan.
"Karna kau sudah menikah dengan Bian Ra, andai belum aku bersedia menikahimu, " ujar Rendra sembari menggenggam jemari Ara.
Ara seperti di permainkan oleh nasib, Rendra begitu merajai hatinya, tapi dia tak punya nyali walau sekedar menghayalkannya, saat Bian telah merengut segala angan dan Asa, Rendra datang menawarkan hatinya dengan segenap rasa, dia tidak tau harus merasa senang atau sedih saat ini.
"Sudah terlambat kak," ucap Ara pelan dengan senyum pahit terukir di bibirnya.
"Tapi Ra.." Rara meraih jemari Renda dengan lembut lalu menggeleng pelan.
"Tidak ada yang harus di bahas lagi, aku sudah memutuskan menerima tuan Bian kak, aku tidak boleh ingkar. ini terakhir kakak menemuiku. Tuan Bian tidak suka aku menemui kakak, aku harap kakak mengerti keadaanku sekarang." Rendra membisu gadis kecil ini telah membuatnya patah hati sebelum dia sempat mengatakannya.
"Bisa kita pulang sekarang kak?" Rendra tak langsung menjawab ucapan Ara, ingin rasanya dia melarikan Ara dari Bian, membawanya pergi ketempat yang jauh tanpa Bian.
"Kak."
"Iya Ra, tidak bisakah menunggu sebentar lagi, aku masih rindu," ucap Rendra sendu.
"Jangan begini kak, jangan membuat ku goyah, penikahanku belum berjalan sehari, jangan buat aku jadi istri durhaka, aku tidak mau itu," ujar Ara pelan, tapi menghujam tepat di jantung Rendra. Ara harusnya kau menikahiku bukan Bian pria dingin yang tak punya hati itu.
"Ayo pulang, kerumah atau lembali ketemenmu?"
"Ke temenku kak, aku gak mau mereka khawatir."
"Baiklah."
Rendra membawa Ara kembali ketempat Kiki dan Fathan, benar saja mereka tengan menunggu Ara dengan cemas.
Hampir menjelang jam sepuluh malam Ara baru pulang, tubuh dan pikiranya terasa lelah, dia berharap Bian tak berulah malam ini, misalnya memintanya memasak atau membersihkan sesuatu, sebab dia ingin segera rebahan.
Dengan langkah pelan Ara memasuki rumah, hatinya lega saat di ruang tamu dia tak melihat Bian. tapi..
Bian duduk bersilang kaki di ruang tengah, tengah menatapnya dengan wajah yang tak bisa dibaca ekpresinya.
"Dari mana?" Tanya Bian dingin dan dalam. Ara menghentikan langkahnya tepat di depan Bian, tatapan Bian seolah menebas habis jantungnya. Ara tak pernah melihat wajah Bian setegang ini, ada apa?
"Bukankah, aku sudah bilang pada tuan, aku pergi bersama teman-temanku," jelas Ara dengan perasaan takut.
"Benarkah hanya itu?" Tanya Bian dengan rahang mengeras.
"I-itu Kak Rendra mengajak ku bicara berdua." lirih Ara, wajahnya tertunduk dalam.
"Dan kau bersedia ikut dengannya?" Ara mengangguk pelan.
"Apa yang dia lakukan padamu?!" Suara Bian mulai meninggi, membuat Ara semakin takut.
"Tidak Ada tuan," jawab Ara semakin lirih bahkan nyaris tak terdengar.
"Bukankah dia menyentuh tanganmu?" ujar Bian dengan tatapan membunuh. Ara mengankat wajahnya sekilas menatap mata elang suaminya, tapi sedetik kemudian dia kembali tertunduk menekuri lantai.
"Hanya itu tuan," ujar Ara dengan suara bergetar.
"Hanya itu kau bilang, kau ingin aku memotong jemari Rendra di depan mu hah!" Teriak Bian seraya melempar gelas purtih kedinding tepat di samping Ara. Pecahan gelas jatuh berderai mengotori lantai, seperti air mata Ara yang berderai membasahi pipinya.
"Hik hik hik." isak tangis Ara tak terbendung lagi, dia takut setengah mati, seumur hidupnya belum pernah ada lelaki yang memperlakukan dirinya sekasar ini, baru Bian yang melakukannya.
"****!!" Makinya geram.
"Pergilah kekamarmu!"
Dengan sesegukan Ara beranjak pergi, meningalkan Bian yang masih di balut emosi.
.
Happy reading.
tingalin jejak ke emak ya sayang🥰🥰🙏