NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3 - Kelas Praktik Pertama

Vee

Empat hari berlalu sejak Professor Hill—well, Tyler—mengajakku makan malam di Laura’s Kitchen. Aku belum lagi bertemu dengannya dimanapun, bahkan di kampus. Jadwal kuliahku padat karena harus mengambil sebanyak mungkin mata kuliah wajib untuk jurusan Film. Jadi memang kemungkinan kami bertemu sangat minim. Kalaupun kami bertemu, seharusnya tidak masalah bukan, dia hanya bersikap baik kepadaku hari itu. Tidak perlu terlalu memikirkannya, Vee.

Tapi setiap kali aku teringat malam itu—sentuhan tangan yang tidak disengaja, cara dia menatapku, wajah dingin nya yang tersenyum kecil karena candaanku—wajahku memanas dengan sendirinya. Siapa yang tahu sepiring tiramissu bisa berdampak sebesar itu?

“Hey, Vee! Bagaimana kelas hari ini?”

Chloe bersandar di ambang pintu, rambut pirang bergelombangnya terurai alami. Chloe Davenport—teman asramaku, dan tahun kedua di Film Studies. Pada hari pertamaku di Ashenwood, dialah yang membantu mengangkat koper-koper besarku kedalam asrama. Dia mungkin terlihat feminin, tapi dibalik penampilannya, dia atletis dan sedikit tomboy.

“Kelasku jam 1 siang nanti. Praktik Penyutradaraan, diajar oleh…” Aku mencari-cari jadwal di sela buku catatan “Thomas Hunt? Benarkah? Berarti ini artinya aku akan bertemu Tyler Hill lagi?”

Aku tidak percaya. Baru saja aku memikirkannya beberapa menit lalu, dan sekarang… aku harus berhadapan kembali dengannya.

Chloe duduk di pinggir kasur, dengan senyum lebar seperti sudah menunggu seharian untuk bergossip “Kamu tahu nggak? Mahasiswa lain cemburu dengan mahasiswa jurusan film tahun ini. Karena sejujurnya, Professor Hunt itu menyeramkan. Selalu mencela semua hal yang bersifat modern, tidak mentolerir kesalahan sedikit pun, kelasnya selalu penuh tekanan. Jadi banyak mahasiswa yang menghindari jurusan Film karena alasan itu.”

“Dan sekarang Tyler yang mengajar kelasnya,” Ujarku

“Tepat sekali.” Dia mendekat, matanya bercahaya. “Asisten Thomas Hunt yang terkenal itu. Secara teknis dia cuma dosen pengganti, jadi seharusnya dipanggil Mr. Hill. Tapi tidak—semua orang memanggilnya professor. Seolah kehadirannya saja sudah pantas dapat gelar lebih tinggi.”

Aku tertawa kecil “Tyler sama saja seperti itu. Kaku, sarkas, tidak pernah tersenyum.”

Hampir tidak pernah tersenyum, tambahku sendiri. Kecuali malam itu. Senyum kecilnya malam itu masih membuatku salah tingkah setiap mengingatnya.

“Yesss, tapi ayolah,” Chloe menimpali, menaikkan alisnya nakal seperti penjahat di kartun. “Bahu tegap. Rahang tegas. Rambut hitam, yang diikat dengan rapi. Bayangkan seperti apa jika rambutnya dibiarkan tergerai” Dia mengipasi dirinya sendiri secara dramatis, kemudian mendekat kearahku lalu melanjutkan, “Orang-orang memanggilnya Professor Dreamy, tahu?

Aku sedang minum air dari botol air, nyaris tersedak mendengar itu. “Professor Dreamy?”

Chloe tertawa “Ayolah, tidak perlu berpura-pura kau tidak melihatnya juga. Tenang saja, dia bukan tipeku, aku sudah punya pacar.”

Aku mengangkat sebelah alis. “Oh yeah? Jason Clarke si pemain Football terkenal? Defense untuk The Eagles, yang itu kan?” Nada bicaraku penuh ejekan kali ini

Chloe memukul pundakku perlahan dengan muka memerah.

“Anyway,” Ucapnya sambil beranjak dari kasur, “bagaimana kalau malam ini kita hang out? Ada bar terkenal didekat sini—The Tavern. Kita bisa bersenang-senang, dan kamu bisa…mungkin cari pacar disana?”

Aku meringis “Nggak tau ya kalau pacar, tapi hang out? Kedengarannya lebih menarik daripada menghabiskan jumat malam sendirian di kamar kecil ini.”

“Perfect. Aku juga ingin mengenalkanmu ke teman-temanku. Kami adalah The Reels.”

“The Reels?” Ujarku, penasaran

“Yep. Sahabatku sejak tahun pertama. Sophie, Ethan, dan Liam. Liam tahun terakhir, sama sepertimu. Aku yakin kamu pasti bisa langsung cocok dengan mereka.”

Aku tersenyum. “Okay, deal. See you there.”

Jam menunjukkan pukul 12:40. Aku mengambil tas dan bergegas keluar asrama. Dalam pikiranku hanya satu : Jangan sampai terlambat masuk kelas Tyler Hill.

“Good luck, Vee!” Seru Chloe. Suaranya bergema sepanjang lorong.

Aku menarik napas dalam-dalam. Semoga aku siap.

\~\~\~

Tyler

Menyutradarai bukannya passion ku, melainkan Thomas. Tapi disini lah aku sekarang, menggantikan beliau mengajar segala hal tentang itu. Aku tahu tidak seharusnya aku mengeluh, jika bukan karena Thomas Hunt, mungkin aku sudah berhenti kuliah 8 tahun lalu, lalu menghilang entah kemana.

Praktik penyutradaraan adalah kelas yang tidak ku sukai. Terlalu banyak hal yang tidak bisa ku kontrol, terlalu banyak orang yang perlu diarahkan. Semoga hari ini segera berakhir.

Langkahku berat saat mencapai studio. Lampu-lampu sorot tergantung rendah, panasnya menyentuh kulitku seperti peringatan. Kamera untuk latihan berjejer rapi di satu dinding, kabel yang menjalar di lantai seperti jebakan. Kursi lipat tersusun rapih membentuk lingkaran, tampak ramah namun tampak menghakimi.

Dan disanalah dia.

Victoria. Rambut hitamnya terurai menutupi sebagian wajahnya, duduk di barisan belakang, seperti berharap redupnya ruangan bisa menelannya. Mengajar dalam kelas praktik sudah cukup membuatku pusing—dan sekarang aku harus berpura-pura kehadirannya tidak mempengaruhiku.

Aku sudah berusaha cukup baik menghindarinya beberapa hari ini. Tiap kali aku melihat siluetnya di lorong, aku berbalik arah. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk goyah.

“Barisan depan, Sinclair,” Ujarku dari depan ruangan, “Kalau mau belajar menyutradarai, kau tidak bisa bersembunyi di belakang.”

Semua kepala menoleh. Dia menatapku—terkejut sepersekian detik—lalu berdiri dan melangkah ke depan. Dadaku sempat ingin berdegup lebih cepat, tapi aku paksa untuk tenang.

“Baik,” aku memotong bisik-bisik di antara mereka. “Menyutradarai bukan sekadar memberi perintah. Ini soal memahami script, menafsirkan emosi, dan menyalakan kehidupan dalam tubuh aktor. Kita langsung praktik.”

Beberapa mahasiswa bergumam tegang. Praktik ini bisa membuat mahasiswa paling percaya diri sekalipun bisa terlihat rapuh, sedikit pun keraguan bisa terlihat sebagai sebuah kelemahan.

“Kalian akan berpasangan, 1 aktor, 1 sutradara. Tapi kalian berdua harus bisa menampilkan penampilan singkat yang meyakinkan.”

Aku menelusuri daftar nama. “Walsh dengan Marlowe. Blake dengan Jensen. Sinclair dengan…” Jeda terlalu lama berarti kelemahan, aku hanya menahannya sepersekian detik saja. “Carter.”

Aku menangkap siluet panik di matanya sekilas. Kemudian dia berbalik dan menemukan Carter. Dia berdiri, dan mengangkat tangan, dan terlihat santai seperti seseorang yang biasa tampil. Sepertinya partner nya bisa diandalkan.

Aku berjalan keliling ruangan sementara mereka menyiapkan diri. Bisikan terdengar, kertas berdesir. Dari sudut mataku, kulihat Victoria menggulung naskahnya, lalu meratakannya lagi—tanda seseorang yang mencoba menenangkan diri. Carter menunjuk beberapa baris; mereka saling bertukar pandang. Victoria mengangguk—terlalu cepat.

“Waktu habis,” kataku. “Kelompok Walsh silahkan maju pertama.”

Satu pasangan tampil, lalu berikutnya. Catatan demi catatan: “Tunjukkan aksi, bukan penjelasan.” “Motivasi, bukan volume.” “Tahan jeda beberapa detik, biarkan penonton bernapas.”

“Sinclair—Carter.”

Mereka maju. Carter berdiri miring sedikit, satu tangan di saku. Victoria dua langkah darinya, bahunya kaku. Aku benci bahu yang kaku. Bahu yang kaku adalah kebohongan.

“Mulai,” kataku.

Adegan berjalan. Carter membuka dengan baik: tenang, tidak berlebihan. Masalahnya ada di Victoria; suaranya tepat, tapi matanya… kosong. Tidak ada bahaya di dalamnya. Tidak ada rahasia.

“Berhenti,” potongku. Semua mata menatap. “Sinclair, apa yang kamu inginkan darinya?”

Ia menatapku. “Konflik—”

“Bukan jawaban dari buku teks,” kataku datar. “Apa yang kamu inginkan—sekarang?”

Ia menarik napas. “Aku ingin dia mengaku.”

“Bagaimana kau akan memaksanya?”

Hening. Aku benci keheningan yang takut. Lalu dia melangkah setengah langkah mendekat—masih kurang. “Setengah lagi,” kataku.

Ia menuruti. Mata hazel-nya terangkat. Ada sesuatu di sana—kecil, berani. Carter bereaksi; bahunya bergeser, dagunya menunduk. Bagus. Carter mulai merasakan tekanannya.

“Lanjut,” perintahku.

Dialog berlanjut. Victoria lebih percaya diri, terlihat dia mulai mengarahkan Carter melalui kata-katanya. Carter terpancing, suaranya merendah. Ruangan menjadi jenis hening yang indah, hening yang berarti perhatian.

“Cukup,” kataku pada waktu yang tepat. “Tidak buruk. Tapi kau masih bermain aman, Sinclair. Wajahmu sudah bagus, biarkan suaramu mengarahkannya”

Dia mengangguk. Garis di rahangnya sedikit berubah. Aku berbalik sebelum membaca terlalu banyak dari gerak geriknya.

Sisa kelas berjalan lancar. Pertunjukkan singkat, bahkan tawa kecil saat salah satu diantaranya melakukan improvisasi yang berlebihan. Saat bel hampir berbunyi, aku menutup buku catatan.

“Tugas minggu ini kalian pilih satu adegan dua halaman. Sutradara siapkan blocking dan motivasi. Aktor buat latar belakang singkat. Kita tampil hari Jumat depan. Kelas selesai.”

Kursi berderit. Ritsleting tas dibuka. Langkah-langkah bergeser. Aku menahan diri untuk tidak mencarinya di antara kerumunan.

“Sinclair,” panggilku, datar.

Dia menoleh. “Ya, Pak—” Ia tampak kaget sesaat.

Aku pura-pura tak memperhatikan.

“Jangan bermain aman,” kataku. “Ikuti nalurimu dan lihat apa yang terjadi.”

Sepersekian detik, matanya menantangku. “Baik.”

Dia pergi, menyusul Carter di pintu. Dadaku tak lagi terasa sesak seperti sebelumnya—dan aku tidak menyukai kenyataan itu.

Menyutradarai masih bukan passionku. Tapi hari ini… kelas terasa tidak seburuk biasanya.

Dan justru itulah masalahnya.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!