DILARANG DIBACA SEBELUM TIDUR!!!
Hanya untuk kalian yang sudah dewasa, yang sudah bisa tidur sendiri tanpa lampu😏
Cerita dalam novel ini akan membawa kalian pada malam mengerikan tanpa akhir. Malam panjang yang dingin dengan teman sekamar yang tanpa tahu malu tidak perlu patungan biaya kamar kos.
Bersama Penghuni kos lain yang tidak tercatat dalam buku sewa. Begitu sepi saat siang tapi begitu ramai saat malam. Dengan bayang-bayang penghuni sebelumnya yang sebenarnya tidak pernah pergi darisana.
Seakan mendapat diskon untuk sebuah keberanian sia-sia. Karena bayaran mahal yakni nyawa setiap malamnya.
Setiap inci gedung kos begitu tipis untuk menghalangi antara yang Hidup dan Mati. Dimana pagi adalah harta terindah yang telah kalian lupakan. Karena memang hanya untuk mereka yang sudah tidak punya pilihan lain.
Cerita horor ini sangat berbeda dari yang kau bayangkan.
Apakah Calista bisa melunasi atau masih berutang nyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ittiiiy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Lorong Tak Berujung
Saat Calista selesai mengetuk, masih sambil tertawa ia mendorong pintu kamarnya. Tapi bersamaan dengan itu sebuah tangan yang bengkok dengan tulang keluar merusak kulit yang pucat menarik pintu untuk Calista dari dalam kamar.
"Selamat Datang ... Selamat Datang ...." Seseorang terus membisikkan kalimat itu tepat di telinga Calista.
Telinga Calista berdenging dan sejenak penglihatannya kabur. Makhluk itu memiliki leher yang panjang sehingga harus memutar-mutar lehernya untuk bisa menyamai ketinggian Calista. Untung saja pemandangan mengerikan itu tidak dilihat oleh Calista.
Tombol untuk menyalakan lampu ditemukan, tapi Makhluk itu masih disana menggesekkan giginya kekiri dan kekanan sambil mengikuti Calista seperti permen karet yang baru saja diinjak dan kini telah menempel kuat.
"Kamar ini bersih sekali, apa benar iya harganya cuma 100 ribu ...." Calista tidak bisa melewatkan pemikiran itu, melihat bagaimana fasilitas kamar yang disediakan didepan matanya saat ini.
Atau begitulah yang bisa dijangkau oleh mata Calista saat ini. Karena yang sebenarnya kamar itu penuh dengan darah. Seakan dinding kamar itu adalah canvas putih dan tintanya adalah darah. Setiap goresan tinta darah memiliki kisah yang memilukan. Calista berjalan kesana-kemari tanpa alas kaki di kamar barunya itu. Tapi di tempat yang sama, Calista menyebabkan suara genangan darah terdengar begitu keras membangunkan seluruh penghuni tidak tercatat dalam kos itu. Di mata Calista, dia hanya menginjak lantai putih bersih tapi dengan penglihatan yang lebih jauh Calista seperti sedang menari-nari diatas lantai yang penuh darah.
Seluruh dinding kamar kemudian dipenuhi dengan banyak kepala yang datang satu per satu saat ini mengamati Calista. Tapi semuanya langsung pergi ketika Makhluk yang menyambut Calista berbicara, "Dia telah berutang padaku."
"Tetap saja, nyawanya belum tentu milikmu ...." Makhluk terakhir yang hendak pergi tapi kembali memasukkan satu mata dan setengah mulutnya kedalam dinding. Seakan dipaksa, mata dan mulut hantu itu seperti akan meledak karena membesar dan cairan merah terus mengalir dari mata dan dari sela-sela giginya yang terlihat ada sisa makanan penuh rambut.
"Dan juga belum tentu milikmu ...." Makhluk sekamar Calista berbicara dengan suara berderit dan kemudian melengking layaknya pintu yang sudah berkarat sambil memanjangkan lehernya untuk memukul dinding mengusir Makhluk dari kamar lain itu.
Calista memasang seprei, selimut dan sarung bantal yang telah disiapkan di dalam lemari. Bukan baru tapi seperti belum terpakai sama sekali karena begitu bersih. Pakaian yang dibawa Calista tidak banyak, seperti hanya akan pergi berlibur seminggu padahal dia akan tinggal disana kurang lebih tiga tahun lamanya. Sepatu yang dibawa hanya satu dan telah dipakai lari marathon tadi sore.
Calista tidak begitu berinvestasi pada penampilannya dan masih sedang berusaha untuk tidak mendengarkan penilaian orang lain. Begitupun sebaliknya, Calista tidak akan menghakimi mereka yang bersungguh-sungguh dan tulus pada penampilannya.
Itulah Calista, gadis yang banyak disalahpahami tapi sebenarnya dia adalah tipe yang semua orang butuhkan sebagai teman.
"Jendela ...." Calista tersenyum memegangi jendela yang katanya akan sulit dimiliki oleh kamar kos di kota. Tapi dia memilikinya, jendela yang besar dengan pemandangan kota yang begitu terang layaknya jutaan kunang-kunang sedang terbang, "Aku ... Cukup beruntung."
Calista menyiapkan segala kebutuhannya untuk besok dan bersiap untuk tidur nyenyak malam ini, melupakan segala macam rintangan pertamanya sebagai orang dewasa hari ini. Sebenarnya dia melakukannya dengan baik lebih dari yang dibayangkannya.
"Hah?!" Calista bangun dengan panik. Dia merasa tidak pernah tidur, hanya menutup mata sebentar tapi matahari sudah masuk ke dalam kamar melewati jendela kamar yang tidak tertutup gorden.
"Aaakkk!!!" Calista meringis merasakan sakit di tangannya, ternyata ada goresan disana. Calista mencoba mencari disekitar tempat tidurnya darimana penyebab lukanya tapi tidak ada hal yang bisa mengakibatkan luka dimanapun.
Calista bergegas menuju kampus di hari pertamanya sebagai mahasiswa. Melupakan gelar siswa yang polos dalam menerima ilmu, kali ini dia siap mencari ilmu itu sendiri.
"Dia sudah berutang nyawa." kata Nayla yang pelan tapi bisa didengar oleh Calista yang punya telinga sensitif. Tapi diabaikan oleh Calista karena tidak ingin terlambat di hari pertamanya. Lagipula Nayla mengatakan itu tanpa melihat Calista seperti hanya sedang berbicara sendiri.
Calista akhirnya memasuki ruang kuliah pertamanya, dia memandangi seluruh ruangan sampai kursi, meja dan papan tulis dengan detail seakan ingin menyimpannya sebagai kenangan yang paling indah dalam ingatannya. Calista tidak menulis buku harian dan tidak memotret untuk mengabadikan sebuah moment. Tapi dia menggunakan matanya, seakan menggunakan pulpen atau kamera paling mahal, dia mengabadikannya dalam ingatan.
Semua hal diperhatikan baik-baik oleh Calista, sehingga dia tidak bisa mengabaikan bagaimana nama yang kemarin didengarnya itu diulang terus menerus tapi tidak ada jawaban.
"Elvara Kirana ...."
"Kamar 2013?" Calista mengingatnya, "Apa dia ketiduran?" Calista sekarang fokus dengan Elvara, dengan terus memperhatikan pintu masuk berharap Elvara datang meski terlambat dan dimarahi dosen tapi dia berharap Elvara tetap datang.
Perkuliahan berakhir dan tidak ada tanda-tanda Elvara ada diluar ruangan. Calista mencoba mencari disekitar ruangan, tapi tidak ditemukan juga. Calista mengira Elvara akan ada di ruangan dekat sana bersembunyi karena takut ketahuan dosen yang sudah keluar. Tapi seingat Calista, Elvara yang dilihatnya kemarin begitu ceria. Bahkan dimarahi dosen pun sepertinya dia akan tetap tersenyum.
"Sejak kapan aku begitu memperhatikan dan hah? Mengkhawatirkan seseorang yang bahkan tidak mengenal ... Bahkan tidak tahu namaku!" Calista tidak mempercayai apa yang sedang dilakukannya dan menghentikan langkahnya melakukan hal yang terus didorong oleh hatinya.
Di perjalanan pulang, Calista merasa sedang diperhatikan oleh seseorang. Dia mencoba tetap tenang dan menggunakan sudut matanya untuk mencari, "Itu laki-laki aneh yang kemarin. Kalan siapa lagi namanya ... Apa dia orang gila ya?" Calista mempercepat langkah kakinya karena takut diikuti.
Sampai di depan kos-kosan, Calista punya perasaan yang berbeda kali ini. Meski masih terlihat indah tapi Calista merasakan ada yang aneh dari kos-kosan itu. Tapi dia sendiri tidak tahu apa yang dimaksudnya. Calista memasuki kos dan langsung mengucek matanya, terlalu singkat sehingga Calista tidak mengingat apa yang dilihatnya tadi. Tapi jelas hal yang berbeda dari apa yang dilihatnya sekarang.
"Kak Nayla, apa yang dikamar 2013 sakit?" itu mungkin menjadi kenangan pertamanya mengkhawatirkan orang asing.
"Sakit dalam artian apa yang kau maksud, aku tidak bisa memberimu jawaban dengan pertanyaan yang tidak spesifik." Nayla menghentikan tangannya menulis.
"Maksudnya, sakit ... Ya sakit ... Demam atau apalah, maksudku dia tidak masuk kuliah tadi. Aku hanya memberi tahu, siapa tau dia sakit ... Bukankah Kak Nayla bertugas untuk itu? Menjaga penghuni kos disini ...." Calista belum pernah tergagap seperti itu dalam berbicara. Dia juga tidak mengerti dengan pertanyaan Nayla yang aneh.
"Itu bukan tugasku." Nayla melanjutkan menulis tapi masih menatap Calista tanpa berkedip.
"Tapi kalau dia sakit, bukankah akan berakibat buruk pada kos kalau terjadi sesuatu tapi tidak ditindak lanjuti ...." Calista tidak percaya dengan jawaban Nayla yang sama sekali tidak dibayangkannya itu.
"Menurutmu aku ini apa disini?" Nayla dengan wajah tersenyum tapi sangat tidak terlihat ramah.
"Penjaga kos?" Calista tidak yakin dengan jawabannya tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Nayla yang dari tadi tidak berkedip.
Nayla tertawa dengan mata melotot, "Mana mungkin aku penjaga disini?" Kemudian wajahnya berubah serius, "Aku hanyalah perantara disini."
Calista tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dia hanya memaksakan tersenyum agar bisa pergi dari sana secepatnya dengan sopan, "Dia sangat aneh, seperti orang baru tiap detiknya ...." Calista sudah sampai di depan pintu kamarnya tapi dia menengok ke kanan dan memutuskan untuk ke kamar Elvara yang berada paling ujung.
"Aneh, dia kan yang duluan masuk kesini ... Kenapa dia dapat kamar yang paling jauh atau dia sengaja memilih disana?!" Calista berjalan perlahan menuju kamar Elvara.
Entah hanya perasaan Calista atau memang dia sudah berjalan begitu lama tapi tidak sampai-sampai juga padahal tidaklah sejauh itu. Kali ini Calista memutuskan berlari tapi semuanya menjadi sangat terang. Bukan karena lampu di lorong yang tiba-tiba bertambah terang tapi karena pagi telah tiba. Calista telah berjalan semalaman di lorong yang tidak berujung itu.
"Apa-apaan ... Apa aku sedang bermimpi, aaakkk!" luka baru di tangannya terlihat tepat disamping luka kemarin yang belum sembuh.
...-BERSAMBUNG-...
Ini kyk smacam misi yg harus di ungkap
" di setiap ada kesulitan , pasti ada kemudahan"