Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guna-guna
Seminggu kemudian, Rohani pulang ke rumah. Begitu melewati rumah Tari, dia berdecak kesal. Sekarang, beberapa mobil pengangkut tanah mulai berdatangan.
Karena mobil itu, membawa tanah untuk menambak rumah tersebut.
Karena di daerah mereka, rumah-rumah harus dibuat sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. Disebabkan disana rawan banjir. Paling tidak, setahun sekali pasti ada banjir.
"Kamu lihat, begitu ibu masuk rumah sakit, mereka langsung punya uang untuk beli tanah," cibir Rohani memberitahu Amar.
"Mak, gak baik curigaan terus. Kita gak tahu, seberapa lama mereka udah menabung uangnya," keukeh Amar memperingati Emaknya.
"Ya, emang berapa sih penghasilan tukang?" cibir Rohani.
"Bukan tukang, tapi kepala tukang ..." ralat Amar.
"Eh, masak? Sejak kapan?" Rohani terkejut, sekaligus tak percaya.
"Sudah lama bu, bahkan mungkin sebelum menikah dengan Tari," ungkap Amar.
Jika berbicara tentang Tari. Tari merupakan gadis yang dulu sempat di puja oleh almarhum abangnya Amar.
Bahkan abangnya pernah meminta pada emaknya untuk melamar Tari, agar menjadi istrinya.
Akan tetapi, emaknya menolak mentah-mentah. Bahkan, dia tidak mengizinkan abang Amar menikah, jika belum bisa membahagiakan dirinya.
Dan mungkin, karena efek patah hati dan terlilit hutang, makanya anak pertama Rohani memilih untuk bunuh diri.
Dan sejak itulah, kebencian pada Tari di pupuk oleh Rohani. Karena dia beranggapan jika Tari sengaja menerima pinangan Azhar, dan melukai hati anak pertamanya.
Padahal, jika di telaah. Tari bahkan tidak tahu, jika almarhum sempat menyukainya. Karena jujur, keduanya jarang terlibat obrolan semenjak Tari dewasa.
"Bukannya dia mengatakan jika ia hanya tukang biasa? Kenapa sekarang menjadi kepala tukang?" Rohani masih heran.
Amar mengangkat bahunya, "bisa saja bang Azhar merendah," sahutnya santai.
"Tapi, walaupun begitu, penghasilan mu masih lebih jauh darinya kan?" tanya Rohani penasaran.
"Iya, tapi sampai sekarang aku tak punya sedikitpun tabungan," ungkap Amar menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Memangnya untuk apa sih tabungan? Sebaiknya semua uangmu ibu yang simpankan,"
Amar memilih tak melanjutkan pembicaraan. Dia meninggalkan ibunya dan pergi ke dapur, untuk memasak bubur.
"Tolong buatkan emak kopi," pinta Rohani dari pintu dapur.
"Tak ada lagi kopi, semuanya udah aku buang, dan kedepannya jangan pernah lagi, emak membeli kopi sachet jenis apapun itu," peringat Amar menatap lekat ke arah Rohani.
"Tapi?"
"Udah lah, mak ... Saat endoskopi kemarin, kenapa emak ngomong mau pantang semuanya?" tanya Amar menghentikan aktifitasnya yang sedang mencuci beras.
"Ya, karena sakit," sahut Rohani lirih, meninggalkan Amar seorang diri.
Azhar kembali mendapatkan tawaran dari orang kampung sebelah untuk membuat sebuah bangunan toko.
Orang itu datang langsung ke rumah, guna membicarakan harga dan juga waktu yang dibutuhkan Azhar agar tokonya segera bisa di tempati.
Dan Azhar langsung bertanya berapa luas dan juga berapa tinggi serta lebar bangunan yang diinginkan. Dia juga menghitung semuanya dengan detail.
"Untuk tukangnya, aku harus mencari sendiri, atau nak Azhar ada anak buah sendiri?" tanya orang itu meletakkan cangkir kopi yang sudah di minumnya.
"Jika diizinkan, maka aku akan membawa rekanku aja. Kebetulan, mereka memang lagi gak punya kerjaan," sahut Azhar lembut.
"Untuk biayanya bagaimana? Apakah, aku harus memberi dp dulu, atau gimana?" tanya lelaki itu lagi.
"Untuk itu, bagaimana enaknya aja. Tapi, jangan beri semuanya juga, takut kami bawa uangnya lari," kekeh Azhar bergurau.
Lelaki itu tergelak, menanggapi ucapan Azhar.
Besoknya, Azhar mulai bertanya sama lima tukang, yang biasa ikut bekerja dengannya. Dan salah satunya, ialah suami dari keponakan Rohani.
Dan beruntungnya, mereka semua langsung setuju dengan ajakan Azhar. Apalagi, semenjak Azhar membangun rumah sendiri, mereka semua seperti tak berarti. Karena tidak punya penghasilan setiap harinya.
Kabar tentang Azhar mendapatkan tawaran kerja lagi, sampai juga di telinga Rohani.
Karena di hari yang sama, keponakan Rohani datang berkunjung seraya membawakan pisang yang baru saja di panen dari kebunnya.
"Bilang sama suamimu, untuk hati-hati menerima ajakan Azhar, barang kali dia mendapatkan kerjaan itu dengan cara gak biasa," peringat Rohani pada keponakannya.
Dan keponakannya hanya menanggapi dengan senyuman. Karena dia tahu, jika bibinya kurang menyukai orang-orang yang dianggap saingan.
"Jadi, bibi kapan beli mobil?" tanya Juli, sengaja.
Sengaja mengalihkan pembicaraan dan juga ingin kompor ataupun menggali informasi.
"Nah itu, kamu lihat sendiri kan, gara-gara Azhar bikin rumah, jalanan depan tanahnya gak bisa di luaskan lagi, dan sepertinya dia sengaja. Kan, dia susah lihat orang senang," cibir Rohani dengan suara setengah berbisik.
Juli hanya mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Dia tidak menanggapi lebih lanjut, selain malas, dan takut berkepanjangan. Apalagi jika mengingat nasehat suaminya, agar jangan terlalu mencampuri urusan bibinya itu.
Melihat keadaan emaknya yang sudah membaik, Amar kembali pamit pada emaknya untuk kembali kerja.
Padahal, bengkel las dengan rumahnya hanya berjarak sekitar lima belas menit jika menggunakan sepeda motor dengan kecepatan sedang. Dan Amar malah betah tinggal di bengkel. Karena disana, dia tidak melulu mendapatkan tekanan dari emaknya.
Begitu Amar tiada, Rohani langsung ke warung. Apalagi, sekarang keadaan baik-baik saja.
Rohani kembali membeli beberapa sachet kopi. Tak hanya itu, dia juga membeli mie instan, agar ada yang di makan saat bosan, ataupun lapar mendadak.
Tak lupa, minuman berenergi sebagai pelengkap belanjaannya hari ini.
Begitu tiba di rumah, hal pertama yang di lakukan Rohani ialah membuat minuman energi yang memang sangat di rindukannya. Tak lupa, dia menambahkan susu serta es batu, untuk menambah kenikmatannya.
Bahkan hari ini, Rohani melekatkan makan siangnya.
Malam harinya, Rohani mulai merasa begah di perutnya.
Sendawa beberapa kali terdengar dari mulutnya.
Dan sampai akhirnya, Rohani muntah. Muntah darah.
"Sepertinya, aku harus ke orang pintar. Aku gak mungkin terkena lambung, seperti kata dokter. Aku pasti di guna-guna, ya, aku pasti di guna-guna ..." gumam Rohani dengan tubuh yang lemah.