Semua wanita pasti menginginkan suami yang bisa menjadi imam dalam rumah tangganya, dan sebaik-baiknya imam, adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab, namun apa jadinya? Jika lelaki yang menjadi takdir kita bukanlah imam yang kita harapkan.
Seperti Syahla adzkia, yang terpaksa menikah dengan Aditya gala askara, karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di Mesjid.
Akankah syahla bisa menerima gala sebagai imamnya? ataukah ia memilih berpisah, setelah tahu siapa sebenarnya gala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syahga 3.
Mereka berdua terkejut dan menengadah ke arah pintu, dimana para pemuda itu menatap tajam pada mereka, marah sudah pasti karena melihat posisi mereka yang berhimpitan.
Syahla melirik kearah pria asing dibelakangnya, rasa takut itu perlahan menghilang, karena sosok yang dia takutkan ternyata manusia biasa hanya saja dia berantakan dan rambutnya gondrong. Ia mengira dirinya diculik genderuwo.
Sasa menghembuskan nafasnya yang terasa lega. Ia melepaskan tangan pria itu dari mulutnya lalu segera berdiri menjauhi pria asing itu.
"Kalian sudah mengotori mesjid ini, kalian harus menikah sekarang juga," ujar seorang pemuda lagi dengan suara yang menekan.
Syahla terkejut. Menikah? Dengan orang asing mana bisa seperti itu?
Ia melihat pria asing itu, tak bisa ia lihat sepenuhnya yang ia lihat adalah wajah yang berkeringat dan rambutnya yang panjang lurus mirip model rambut aktris zaman dahulu, mungkin kekasihnya sancai.
Pikiran sasa mulai berkecamuk, antara malu dan juga ngeri jika ia dinikahkan dengan pria asing dan berantakan itu. Bagaimana jika ia seorang mafia? karena dari keseluruhannya lelaki itu memang mirip, pikir sasa.
"Dasar, sok bikin malu!" timpal lainnya.
Mereka menatap sasa dan pria asing itu bergantian, kesal sudah pasti dan itu entah keberapa kalinya mereka melabrak orang berzinah di mesjid.
"Aa ayu, sasa teh gak kenal dia," sahut gadis itu mencoba membela diri meski dengan bibir bergetar.
Jari tunjuknya bahkan menunjuk pada lelaki asing yang hanya diam membisu sedari tadi.
"Lamun teu kenal, kalian ngapain disini? Duaan deui. Tingal buku-na berantakan," ujar pemuda bernama wahyu dengan mata yang melirik buku yang berserakan dilantai.
("kalau tak kenal, kalian ngapain disini? Berduaan lagi, lihat bukunya berantakan,")
Syahla terdiam tak bisa lagi membela diri ditambah lelaki asing itu hanya diam dan menunduk, seberapa banyak ia membela diri secara logika keberadaan mereka berdua memang akan membuat orang salah paham.
"Sudahlah, urang kawin ken. Bae kita bawa ke kang mus," ajak kang wahyu dengan logat sundanya yang kental.
("Sudahlah, kita kawinkan saja. Biar kita bawa ke kang mus,")
Mereka langsung menarik tangan syahla untuk dibawa, namun gadis itu segera meronta.
"Astagfirullah, aa ayu percaya sama sasa. Kami gak ngelakuin apapun," sambil menarik tangannya sasa berujar, namun mereka tetap tak percaya.
Sedangkan pria asing itu terkejut, meski tak sepenuhnya paham bahasa sunda tapi mendengar nama kang mus matanya membulat dan tubuhnya terasa merinding.
"Tunggu!" sela pria itu, menghentikan tindakan mereka.
"Apa yang kalian maksud kang mus itu? Kang muslihat, tangan kananya kang bahar, pengusaha ki-ci-m-pring," tanya pria itu dengan wajah serius.
Mereka seketika terdiam lalu saling menatap pada rekan masing-masing, kemudian mereka bersamaan menatap pria itu dengan aneh, baru berbicara sudah buat mereka kebingungan.
Melihat kebingungan mereka sasa segera menjawab. "Eh, kamu itu terlalu banyak nonton preman pensiun, apa? Bapak saya teh pak mustofa bukan kang muslihat," bentaknya.
Pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan bibir tersenyum tak enak. "Sorry, tadi mereka panggil elo neng sih. Jadi gue pikir elo anaknya kang mus," ujar pria tersebut.
"Emang, namanya bapak aku kang mus-tofa," sahut syahla dengan menekan kalimat mus ditambah tofa.
"Sudah, sudah. ngomongnya teu kenal tapi kalian ngobrol," sergah kang ayu.
"Hayu kita bawa mereka!" ajak pemuda lainnya menimpali.
Seorang pemuda memberikan sarungnya pada pria itu. "Pake ini, kang. Masa telanjang terus," ujarnya menyerahkan sarungnya.
Pria itu menerimanya. "Terima kasih," ucapnya.
"Sami-sami, kang," sahut pemuda itu yang usianya masih muda diantara para pemuda itu.
Segera pria tersebut memakainya, sementara yang lain sudah membawa syahla keluar dari mesjid.
Mereka dibawa beriringan ke rumah kang mus, dimana itu adalah rumah ayahnya syahla. Saat berjalan gadis itu melihat cara berjalan lelaki asing itu, sesekali ia meringis kesakitan, dan kadang berdesis ngilu.
Pikiran sasa melayang pada saat pertama kali melihatnya, ia tak memakai bajunya dan malah mengikatkan bajunya pada pinggangnya. Juga ada noda merah yang menempel dibaju putihnya, noda amis yang biasa ia temui di rumah sakit dan itu adalah noda darah.
"Apa ia terluka? Ya," batin sasa.
Setelah sampai didepan rumahnya, mereka mengucapkan salam. Berkali-kali mereka mengucapkannya tapi seolah rumah itu tak ada penghuninya, sama sekali tak ada seorang pun yang menjawab salam.
Ini masih jam sahar dimana para penghuni masih terlelap dalam arus mimpi. Mereka pun saling tatap dan mengulang kembali kata salam dengan suara yang lebih keras.
"ASSALAMMU'ALAIKUM ..." teriak mereka bersamaan saking kesalnya.
Ada juga yang memukul kentongan agar penghuninya bisa bangun, dan benar saja hal tersebut berhasil.
"Wa'alaikumsalam" jawab seorang pria dari dalam rumah.
Klek
Suara pintu terdengar dibuka, menampakkan ilham yang keluar dari rumah itu dengan sarung yang melekat dipinggangnya. Wajah lelaki itu terkejut melihat para pemuda dan juga kakak iparnya yang datang kerumah mereka.
"Ada apa ini?" tanya Ilham dengan wajah bingung.
"Kang mus na aya?" tanya kang wahyu.
("Kang mus nya ada?")
Ilham mengangguk, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam rumahnya.
pertanyaan demi pertanyaan bergelayut dalam pikiran ilham, namun satu hal yang paling menonjol adalah siapa pria yang ada disamping sasa?
Rambutnya panjang, postur jangkung, dan wajahnya tampan dengan warna kulit bersih. Sedangkan sasa, gadis itu terlihat masih mengenakan mukenahnya, tampak baru selesai sholat.
Setelah mereka masuk, ilham segera membangunkan ayah mertuanya dengan mengetuk pintu kamarnya. Mereka-pun bangun dan suasana ruang tamu mulai tegang, disaat kang mus melihat beberapa pemuda yang duduk dikursi ruang tamunya dengan sasa yang duduk dihimpit kang ayu dan pria asing, gadis itu hanya diam menundukkan kepalanya.
Sementara sasa, ia tak ingin menatap wajah sang ayah. Luka tadi sore masih terngiang ditelinganya, dan sekarang dengan kejadian seperti ini sudah pasti akan membuatnya di usir.
Gadis itu hanya menundukkan kepalanya dengan jemari yang saling meremas, jantungnya sudah tegang bahkan saat ayahnya keluar dengan wajah sangarnya.
Hal tersebut tak jauh dari penglihatan pria asing itu, ia menatap sasa dengan wajah bingung dan bergantian melirik pria paruh baya, bertubuh bongsor dan berambut kriting yang baru keluar dari kamarnya.
"Ada apa ini?" tanya kang mus sembari mengikat sarungnya dipinggang dengan kuat.
"Ini kang, neng sasa dan pria ini sudah melakukan hal tak senonoh. Mereka melakukannya di mesjid, jadi kami harap mereka dinikahkan sekarang juga," cerita kang wahyu masih dengan logat sundanya menjelaskan dengan bahasa indonesia.
Kening kang mus langsung bertaut, selama ini anak sulungnya tak pernah melakukan hal yang memalukan, tapi sekarang ia justru membuat keluarganya malu.
Syahla semakin meradang, rasa takut memenuhi hatinya tapi ia hanya bisa berdo'a didalam hatinya semoga Allah memberikannya jalan yang terbaik.
"Apa kubilang, yah. Sasa itu pake hijab doang buat nutupin rasa gak tahu dirinya, buktinya sekarang apa?" seloroh ibu tirinya yang tiba-tiba saja keluar dari kamarnya.
"Enggak, yah. Ini hanya kesalahpahaman," ujar Sasa segera berdiri dan secepatnya membela diri, meski dengan suara bergetar.
"Terus kenapa kamu gak pulang?" tanya ibu tirinya dengan nada yang membentak.
"Sa-sasa cuma ..." ucapan Syahla menggantung, rasanya tak kuat lagi menaha nyeri dan terlalu sesak hingga ia hanya bisa menangis.
Air matanya menetes begitu saja, seakan menjadi tanda seberapa sakit yang ia rasakan. Sasa kembali duduk bibirnya tak kuat lagi bahkan untuk membela diri-pun ia merasakan semuanya sia-sia, yang ada hanya bentakan yang berakhir dengan kata-kata yang menyakitkan hatinya.
"Tuh kan, yah. Sudahlah, biar dia menikah saja, biar tak lagi menggoda ilham," ujar ibu tirinya sasa bernama luna itu, dengan kalimat yang memfitnahnya.
Syahla segera beristigfar dengan pelan dan hanya pria asing itu yang mendengarnya, hingga menoleh pada sasa dengan wajah yang kembali bingung.
Ya, bingung. Bukankah aneh, kedua orang tua yang seharusnya menjadi orang pertama yang membela justru malah semakin menuduhnya. Tangan pria asing itu terkepal ia merasakan ketidakadilan pada wanita tersebut, yang sekarang menangis dengan tertahan, tertunduk oleh dunia yang merendahkannya.
Entah apa yang mendorong pria asing itu hingga ia memberanikan dirinya, ia berdiri menatap semua orang dan dengan sekali tarikan nafas ia mengucapkan sebuah kata lamaran.
"Saya ingin menikahinya segera, jadi saya minta restu pada keluarganya neng sasa," dengan tegas pria asing itu berujar.
Semua orang setuju dan merasakan kelegaan kecuali syahla, gadis itu menengadah menatap pada lelaki asing itu. Bingung karena bukankah seharusnya dia membela diri dari kesalahpahaman tersebut, dan mereka juga tak saling mengenal satu sama lain, lalu bagaimana bisa menikah? Jika kenal saja tidak?
Sementara dibalik dinding yang menghalangi ruang tamu dan ruang keluarga, ilham mengepalkan tangannya mendengar suara lelaki itu. Masih ada rasa dihatinya yang seakan tak rela cinta pertamanya dinikahi oleh pria lain, ia merasa marah dan tak bisa membayangkan jika sasa akhirnya berbagi selimut dengan pria yang tak dia kenal sama sekali.
"Perkenalkan, nama saya ... Aditya gala askara dengan ijin Allah, saya melamar neng sasa untuk menjadi istri saya," ucap Gala dengan tegas kembali mengucapkan lamarannya.
rambut panjang trus laki.