Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
“Kakak, jangan bercanda. Ini barang asli, mana mungkin palsu,” bantah Summy cepat. Suaranya meninggi sedikit, menunjukkan ia merasa tersinggung.
Lucien menatap adik sepupunya tanpa ekspresi. Sementara Storm menunduk perlahan, memperhatikan ukiran jam antik itu dengan saksama. Jarinya menyentuh permukaan kayu, mengetuknya pelan, lalu mengamati lekukan jarum jam.
“Bagian luarnya memang dibuat seperti asli,” ujar Storm datar. “Tapi itu hanya untuk mengelabui pembeli. Dengan begitu, mereka bisa menjualnya dengan harga fantastis.”
Summy mendengus. “Nona Shu, aku ini murid luar negeri. Itu berarti ilmuku jauh lebih tinggi darimu.” Ia memandang Storm dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. “Walaupun kau nona besar keluarga Shu, kau bukan orang yang berpendidikan tinggi. Mana bisa dibandingkan denganku?”
Monica ikut menimpali, suaranya lembut tapi penuh racun. “Benar. Nona Shu hanya dokter pribadi Lucien. Mengenai barang antik… mana mungkin mengerti?”
Storm tersenyum samar—bukan marah, tapi lebih seperti tidak terkesan. “Aku memang tidak mengerti barang antik,” katanya santai. “Tapi jam antik ini palsu. Kalau tidak percaya, silakan panggil ahlinya. Biarkan mereka memeriksa.”
Jason yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Nona Shu,” ujarnya, menatap Storm penuh rasa ingin tahu, “bagaimana kau bisa tahu jam itu palsu?”
Storm menurunkan jam itu ke telapaknya dan menunjuk beberapa bagian dengan ketelitian seorang ahli. Wajahnya berubah serius, suaranya mantap.
“Pertama,” ujarnya, “ukiran angka Romawi di bingkai jam ini terlalu simetris. Buatan tangan pada era jam ini dibuat tidak serapi ini karena masih menggunakan teknik ukiran tradisional.”
“Kedua,” Storm memutar jam itu dan mengetuk bagian belakangnya, menghasilkan bunyi logam yang terlalu ringan. “Bahan punggung jam ini memakai campuran baja murah. Jam antik asli menggunakan perunggu tua, dan suaranya tidak seperti ini.”
“Ketiga,” ia membuka sedikit penutup samping, memperlihatkan roda gigi di dalamnya. “Mesin di dalamnya terlalu baru. Lihat roda gigi ini—warnanya masih cerah, tidak ada oksidasi. Mesin jam antik seharusnya sudah menggelap tertelan usia.”
Ruangan mendadak hening.
Summy kehilangan senyum angkuhnya. Monica memicingkan mata, tidak percaya tapi tidak bisa membantah. Jason menatap Storm lama, terkagum oleh penjelasan yang tak terduga.
Storm meletakkan jam itu kembali dengan elegan.
“Jadi,” ujarnya pelan namun jelas, “jam ini palsu. Dan pembuatnya tidak terlalu pintar.”
Lucien yang sejak tadi diam hanya tersenyum tipis—Bangga, puas, dan sedikit terhibur.
“Sembarangan!” ucap Monica dengan nada tinggi. Wajahnya tampak kesal karena perkataan Storm dianggap melewati batas.
Summy segera ikut menimpali, menatap Jason memohon pembenaran. “Paman, Nona Shu hanya asal bicara. Aku mengenal penjualnya! Mana mungkin aku bisa dibohongi?”
Jason mengalihkan pandang ke Storm, mencoba tetap tenang di tengah ketegangan yang semakin naik. “Nona Shu, apakah Anda pernah belajar tentang barang antik?”
Storm menatap balik Jason tanpa gentar. “Tidak pernah. Tapi saya bisa melihat barang palsu dengan mata saya.”
Summy tertawa keras, gelak mengejek yang memenuhi ruangan. “Ha ha ha! Aku kira kau pernah mempelajarinya… Ternyata hanya bicara sembarangan!”
Ruangan langsung hening.
Lucien yang sejak tadi diam mengamati, mengangkat alis. Sorot matanya berubah dingin dan tajam.
“Kalau aku mengatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh Nona Shu adalah benar,” ujar Lucien perlahan, “apakah kalian percaya?”
Sebelum siapa pun sempat menjawab, ia mengambil jam itu —kemudian melemparkannya ke lantai.
CRAAAK!
Summy menjerit kecil. Monica terbelalak. Jason terkejut sampai berdiri setengah badan.
“K-Kakak! Kenapa dipecahkan?” tanya Summy panik, tidak menduga bahwa Lucien akan melakukan tindakan sekeras itu.
Lucien menunjuk pecahan jam yang kini terlihat jelas bagian dalamnya. “Lihat sendiri bahannya.”
Di antara pecahan itu tampak serbuk pelapis imitasi, logam murah yang berkilau tidak natural, dan baut yang jelas bukan dari era antik mana pun.
Storm bersedekap, menatap Summy dengan datar. “Seperti yang kukatakan… bagian luarnya saja yang dibuat untuk mengelabui.”
Summy hanya bisa memandang pecahan jam itu, wajahnya memucat—antara malu dan tidak percaya.
“Tidak kusangka, Nona Shu sangat hebat. Pengalamanmu sangat luas,” kata Jason sambil mengangguk takjub setelah melihat pecahan jam itu di lantai.
Storm hanya tersenyum tipis. “Terima kasih atas pujian Anda, Tuan.”
Jason kemudian menoleh pada Summy, wajahnya tampak kecewa. “Summy, bukankah kamu sudah belajar mengenai barang antik? Bagaimana bisa membeli barang palsu seperti ini?”
Monica langsung menyela, nadanya tergesa dan membela, “Itu bukan salah Summy! Pasti penjualnya sangat ahli. Gadis sepolos Summy tentu saja mudah dibohongi.”
Lucien, yang sejak tadi memperhatikan dengan ekspresi dingin, akhirnya membuka suara. “Hanya orang bodohlah yang mudah dibohongi. Bahkan seorang tabib saja bisa menilainya.” Nada sindirannya tajam, seolah menusuk langsung ke arah Monica dan Summy.
Storm menyandarkan tangan di pinggang sambil menatap Summy dengan senyum santai. “Nona Summy, bukankah Anda murid dari luar negeri? Kenapa malah tidak bisa membedakan yang asli dan palsu?"
Wajah Summy memerah menahan malu. “Di sini kau tidak layak bersuara,” balasnya ketus, mencoba mempertahankan harga diri.
Namun sebelum Storm sempat membalas, Lucien sudah lebih dulu menatap Summy dengan sorot mata dingin. “Nona Shu adalah dokter pribadiku. Justru kau yang tidak layak bersuara di sini.”
Ruangan langsung sunyi seketika.
Summy mengepal tangannya di sisi rok, Monica menatap Lucien tak percaya, dan Jason hanya menghela napas panjang.
Sementara Storm, diam-diam menikmati kemenangan kecilnya dengan senyum halus.
Jason, Monica, dan Summy akhirnya meninggalkan kediaman itu dengan wajah tidak puas. Suasana ruangan kembali tenang setelah pintu utama tertutup.
Lucien memutar kursi rodanya sedikit, menatap Storm dengan sorot penuh rasa ingin tahu.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang barang antik itu?” tanyanya.
Storm mengangkat kedua bahu. “Tidak tahu juga. Aku hanya… menilai dengan cara melihat begitu saja.” Nada Storm terdengar jujur, tapi tetap membingungkan.
"Aneh sekali," batin Lucien. "Gadis ini sama sepertiku. Dia bisa melihat detail yang tak terlihat oleh orang biasa. Bahkan tulang retakku pun dia bisa lihat tanpa alat medis… berbeda dengan tabib atau dokter lain."
Sementara Storm kembali membereskan obat, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu. Seorang prajurit memasuki ruangan dengan hormat dan bersuara lantang,
“Jenderal, saya sudah kembali dari medan perang!”
Storm terkejut. Matanya langsung membulat besar seolah melihat hantu. Ia berdiri dari duduknya dan menatap prajurit itu tanpa percaya.
“Nic…?” bisiknya. “Bagaimana dia bisa ada di era ini…?”
Storm memandang pria itu seolah dunia berhenti berputar. Sosok itu adalah seseorang yang seharusnya tidak ada di masa lalu.
Sementara Lucien melirik tajam ke arah Storm yang menatap anak buahnya tanpa berkedip.