Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Suara gong kembali menggema, kali ini lebih berat, seakan menggetarkan seluruh pilar batu giok yang menopang aula utama. Para menteri berkumpul dengan wajah was-was. Udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Kaisar duduk dengan tubuh tegak, matanya tajam menatap satu per satu pejabat yang hadir. Di sisinya, Permaisuri memegang kipas, tapi tangan halusnya gemetar pelan. Kabar penurunan Menteri Liang sudah menyebar, namun Kaisar belum puas. Hari ini ia ingin kebenaran penuh.
Pangeran Wang Ji melangkah masuk, mengenakan jubah biru muda. Wajahnya masih seperti biasa, polos, seakan masih bocah yang menyukai kue manis. Beberapa menteri saling melirik, berpikir bahwa mungkin hari ini mereka kembali akan menyaksikan kelucuannya.
Namun, berbeda dari biasanya, langkah Wang Ji tidak kikuk. Gerakannya mantap, setiap tapak seakan menekan jantung mereka yang melihat.
Ia berhenti di tengah aula, lalu berlutut dalam. “Ayahanda Kaisar, Ibunda Permaisuri, izinkan putra bicara.”
Semua terdiam. Kata-kata itu terdengar jernih, tanpa nada bodoh. Kaisar menyipitkan mata, begitu pula Permaisuri.
“Wang Ji…” suara Kaisar berat. “Sejak kapan kau bicara dengan jelas seperti itu?”
Pangeran itu mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, penuh wibawa, berbeda dari topeng kebodohan yang selama ini ia pakai. “Sejak lama, Ayahanda. Sejak hari kecelakaan itu. Semua mengira kepalaku cedera parah dan membuatku kehilangan akal. Aku… membiarkan dunia percaya.”
Permaisuri menutup mulutnya, air mata mulai berkaca. “Anakku… jadi selama ini… semua kepolosanmu… hanya pura-pura?”
Wang Ji menunduk hormat. “Benar. Karena dengan berpura-pura bodoh, aku bisa melihat wajah asli orang-orang di sekitarku. Mereka yang haus kuasa tidak pernah curiga pada anak tolol. Mereka bicara bebas, menunjukkan warna sebenarnya. Itulah satu-satunya cara agar aku tahu siapa musuh kita.”
Riuh terdengar di antara para menteri. Sebagian kaget, sebagian menunduk, takut bila rahasia mereka sudah lama terbongkar.
Kaisar terdiam lama, lalu suaranya bergetar. “Jadi… anakku tidak sakit? Tidak idiot?”
Wang Ji tersenyum tipis. “Hamba mohon maaf karena telah menyakiti hati Ayahanda dan Ibunda. Tapi semua ini kulakukan demi kerajaan.”
Air mata jatuh dari mata Permaisuri. Ia berbisik lirih, “Syukurlah… syukurlah…”
Namun Kaisar menepuk sandarannya dengan keras. “Kalau begitu, katakan padaku! Apa yang sudah kau lihat selama berpura-pura?!”
Wang Ji berdiri perlahan, lalu memberi isyarat. Luo dan Jian maju, membawa peti kayu penuh gulungan dokumen. Mereka meletakkannya di hadapan Kaisar.
“Ini semua bukti pengkhianatan.” Wang Ji membuka satu gulungan. “Menteri Liang bukan hanya menimbun gandum, tapi juga menyuap pengawas gudang, mengalihkan jalur perdagangan, dan merampas hak rakyat miskin.”
Ia mengangkat gulungan lain. “Selir Ma, dengan dalih bakti pada dewa, membangun kuil megah dari dana rakyat. Ia mengirim emas dan perhiasan ke keluarganya di luar ibu kota, sementara rakyat di desa kelaparan.”
Beberapa menteri menunduk lebih rendah. Beberapa bahkan gemetar karena nama mereka tercatat dalam dokumen.
Wang Ji melanjutkan, suaranya tegas. “Ada juga pelayan istana, penjaga gerbang, bahkan pejabat kecil yang membantu mereka menyelundupkan barang. Semua nama ada di sini.”
Kaisar meraih dokumen, matanya semakin merah membaca setiap catatan. “Berani sekali mereka!”
Lalu Wang Ji berhenti sejenak, menatap lurus ke arah Siu Rong yang berdiri pucat di samping barisan. “Dan yang terpenting… Siu Rong.”
Semua mata menoleh.
“Siu Rong selalu disebut putra kedua Kaisar. Tapi kenyataannya, darahnya bukan darah istana.”
Kaisar terhenyak. “Apa maksudmu?!”
Permaisuri menegang, wajahnya berubah pucat.
Wang Ji mengeluarkan gulungan terakhir. “Ini catatan kelahiran rahasia, surat bidan, dan kesaksian pelayan lama yang disembunyikan. Siu Rong bukan putra Baginda. Ia adalah anak Selir Ma dengan Menteri Liang. Demi ambisi mereka, ia dimasukkan ke istana, menyamar sebagai darah kerajaan. Inilah mengapa Selir Ma begitu melindunginya, dan mengapa Menteri Liang berani melawan hukum demi mendukungnya.”
“Bohong!” teriak Siu Rong, suaranya pecah. “Itu fitnah keji! Aku putra Kaisar! Aku darah kerajaan!”
Namun dari sisi aula, seorang pelayan tua maju dengan tertatih. Ia berlutut, suaranya bergetar. “Yang Mulia… hamba dulu bidan di paviliun selir Ma. Hamba bersumpah demi nyawa, bayi yang lahir malam itu bukan darah Baginda. Bayi itu milik Menteri Liang. Selir Ma memaksa kami menukar catatan agar tidak ada yang tahu.”
Kaisar terdiam, wajahnya pias. Permaisuri menjerit pelan, hampir pingsan.
“Tidak!” Siu Rong meraung, matanya merah darah. “Ayah! Jangan percaya mereka! Aku putramu! Aku—”
“Diam!” bentak Kaisar, suaranya menggelegar. “Aku tidak punya anak sepertimu! Darah pengkhianat berani mencemari istana?!”
Siu Rong terjatuh berlutut, tubuhnya gemetar, sementara para pengawal sudah mengepungnya.
Kaisar berdiri, lalu menunjuk. “Menteri Liang, Selir Ma, Siu Rong, dan semua pengkhianat yang terlibat! Hukumannya hanya satu: mati!”
Aula bergemuruh. Beberapa menteri ketakutan, tapi tidak ada yang berani membantah.
Wang Ji menunduk dalam, suaranya tenang. “Ayahanda, semua bukti sudah ada. Tidak ada alasan untuk memberi ampun. Demi rakyat, demi negeri, semua pengkhianat harus disingkirkan.”
Kaisar menatap anaknya lama, lalu mengangguk. “Kau benar, anakku. Kau telah menyelamatkan negeri ini. Mulai hari ini, semua orang akan tahu siapa putra mahkota yang sejati.”
Para pengawal menyeret Siu Rong yang masih meraung, juga Menteri Liang yang sudah lemas tak berdaya. Selir Ma dipanggil pulang dari kuil dengan status tawanan. Satu per satu, nama-nama pelayan dan pejabat kecil diumumkan untuk diadili.
Istana Siu berguncang oleh teriakan, tangisan, dan suara rantai.
Namun di tengah semua itu, Wang Ji berdiri tegak. Topeng kebodohannya telah runtuh. Kini semua orang melihat ketajaman matanya, wibawa tubuhnya, dan kecerdasan yang ia sembunyikan selama ini.
Kaisar menatapnya dengan bangga, sementara Permaisuri menitikkan air mata haru. “Anakku… maafkan kami. Kami menyangka kau hancur karena kecelakaan itu. Kami bahkan merasa bersalah melahirkanmu ke dunia penuh intrik. Tapi kau… kau lebih kuat dari siapa pun.”
Wang Ji tersenyum lembut. “Ibunda, Ayahanda, jangan bersedih. Kini semua sudah berakhir. Istana akan bersih dari ular-ular. Aku berjanji akan menjaganya. Dan…”
Ia menoleh ke arah jendela, seakan menatap jauh melintasi gunung dan lembah. “…aku punya seseorang yang harus kutemui. Dia telah menunggu. Saat semuanya tenang, aku akan menjemput Bai Xue Yi.”
Kaisar mengangguk pelan. “Kalau begitu pergilah. Bawa kembali kebahagiaanmu. Negeri ini akan berdiri lebih kokoh bersamamu.”
Aula kembali hening, hanya tersisa suara langkah pengawal yang menyeret para pengkhianat menuju akhir mereka.
Di luar, matahari menembus awan, menyinari istana dengan cahaya baru. Seolah langit sendiri menyambut lahirnya Pangeran Sejati, Wang Ji — putra mahkota yang tidak lagi menyembunyikan jati dirinya.
Dan jauh di negeri Bai, putri Bai Xue Yi sudah mendengar kabar keberhasilan Wang ji dan ia tinggal menunggu janji Wang ji untuk datang kembali ke kaisaran Bai. Xue Yi menatap langit yang sama, lalu melihat murid murid nya yang semakin kuat
Bersambung…