NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Makan siang bersama

Pagi itu, Audy benar-benar merasa dunia tidak berpihak padanya. Baru saja ia sampai di kantor, wajahnya sudah kusut. Ia berjalan agak pelan, menahan rasa tidak nyaman di perutnya. Hari pertama menstruasi memang selalu jadi musuh bebuyutannya.

“Duh, kenapa harus sekarang…,” gumam Audy lirih sambil menepuk-nepuk perutnya dengan ekspresi merana.

Nadine yang kebetulan lewat langsung mengernyit. “Kenapa wajahmu seperti habis ditabrak truk? Ini masih pagi.”

Clara yang ikut nimbrung menambahkan, “Atau… Pak Aldrich buat ulah lagi?”

Audy hanya menghela napas panjang. “Belum! Tapi aku sudah merasakan firasat buruk.”

Dan firasat itu terbukti benar. Baru saja ia menaruh tas di meja, ponselnya berbunyi. Notifikasi dari email kantor—undangan meeting pribadi di ruang CEO.

“Meeting pribadi?” Audy mengerutkan kening. “Bukannya biasanya jika meeting itu bersama para divisi?”

Nadine langsung memelototi layar ponselnya. “Oh tidak. Itu kode.”

Audy menatapnya dengan alis terangkat. “Kode apa lagi maksudmu?”

“Kode bahwa kau mau dipermainkan lagi oleh bos Casanova itu,” jawab Clara setengah berbisik, ekspresinya seperti baru menonton film horor.

.....

Dengan langkah berat dan perut yang semakin tidak karuan, Audy akhirnya menuju ruang CEO. Begitu masuk, ia mendapati Aldrich berdiri di balik meja kerjanya, tangan terlipat, wajahnya seperti biasa—dingin dan penuh wibawa.

“Kau terlambat tiga menit,” ujar Aldrich tanpa basa-basi.

Audy langsung manyun. “Astaga, Pak, bisa tidak sekali saja tidak memperhatikan detik jam? Saya bahkan belum sempat minum teh hangat, tahu?”

Aldrich mengabaikan protes itu. Ia berjalan pelan mengitari meja, mendekat pada Audy. “Aku sudah memutuskan sesuatu. Mulai hari ini, kau bukan lagi staf divisi strategis.”

Audy langsung mendengus. “Hah? Apa maksud Bapak? Jangan bilang saya dipecat?!”

“Tidak.” Senyum tipis tersungging di bibir Aldrich, senyum yang membuat Audy justru makin panik. “Kau kuangkat menjadi asisten pribadiku.”

“APA?!” Suara Audy menggema hampir seluruh lantai. Ia menatap Aldrich dengan ekspresi campuran antara kaget, marah, dan nyaris ingin pingsan. “Pak Aldrich, saya ini baru beberapa hari kerja, seminggu pun belum cukup! Saya baru mulai paham sistem divisi strategis. Dan sekarang… diseret jadi asisten pribadi? Ini bukan film drama!”

Aldrich memasukkan tangan ke saku celana, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Audy. “Aku tidak butuh drama. Aku butuh kau. Titik. Keputusan ini final.”

Audy ternganga, lalu buru-buru menyahut. “Pak! Bapak tahu tidak… hari ini saya sedang tidak sehat. Ini hari pertama saya menstruasi, oke? Saya sudah cukup pusing dengan perut saya sendiri, dan sekarang ditambah keputusan gila ini? Bapak ini manusia atau monster?!”

Aldrich malah mengangkat alis, wajahnya tanpa ekspresi tapi matanya berkilat geli. “Menstruasi bukan alasan untuk menolak jabatan. Kau masih bisa berjalan, masih bisa bicara dengan lantang, berarti kau baik-baik saja.”

“Bisa-bisanya Bapak bicara seperti itu!” Audy memelototinya, pipinya memerah karena kesal. “Bapak tahu tidak? Pak Aldrich Dario Jourell ini… pria paling menyebalkan yang pernah saya temui! Bahkan ayah saya saja lebih manusiawi dibandingkan Bapak!”

Aldrich hanya menahan senyum smirk-nya. “Aku akan anggap itu pujian. Sekarang, ambil barang-barangmu dari divisi strategis. Mulai hari ini, kau bekerja di ruangan ini. Sebagai asisten Aldrich Dario Jourell. Dan tidak ada banding.”

Audy mendengus keras, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ya Tuhan, kenapa harus hari ini? batinnya. Dengan langkah kesal, ia meninggalkan ruangan, bergumam sendiri seperti kaset rusak.

.....

Begitu sampai di divisi strategis, Nadine dan Clara langsung menatapnya dengan wajah penuh tanya.

“Bagaimana?” bisik Clara.

Audy menepuk dahinya. “Doakan aku. Aku baru saja ‘naik pangkat’ jadi asisten pribadi Pak Aldrich. Mulai hari ini aku resmi jadi korban pertama di barisan eksekusi.”

Nadine langsung menjerit kecil, “APA?! Kau asisten pribadi bos besar?!”

Clara ikut menutup mulut, shock tapi geli. “Wah, wah, Audy… siap-siap saja hidupmu berubah jadi roller coaster.”

Audy hanya bisa menjawab dengan raut meringis, memeluk perutnya yang kram sambil berteriak dalam hati: Aku menyesali hari ini!

......

Audy menatap meja kerjanya yang baru. Meja asisten pribadi, tepat di depan pintu ruang CEO. Dari posisi itu, ia bisa melihat jelas pintu besar dengan papan nama "Aldrich Dario Jourell" terpampang gagah.

Audy menjatuhkan diri di kursi putar barunya, menghela napas panjang. Kenapa hidupku jadi begini? Dari yang seharusnya sibuk di divisi strategis, sekarang malah jadi jongos pribadi si bos besar… pikirnya, sambil meremas pulpen.

Tak lama, interkom di meja Audy berbunyi. Suara berat Aldrich terdengar, begitu santai.

"Audy, masuk sebentar. Bawa aku kopi hitam. Dua sendok gula. Jangan terlalu panas."

Audy mendengus. “Aku karyawan kantor tau barista, sih?” gumamnya pelan. Tapi tetap saja ia bangkit, menuju pantry, lalu menyiapkan kopi persis sesuai permintaan.

Begitu masuk ke ruangan Aldrich, pria itu sudah duduk santai, jasnya tergantung di kursi, dasinya sedikit longgar. Audy meletakkan kopi di meja.

“Ini, Pak. Semoga sesuai ekspektasi lidah sultan Bapak.”

Aldrich melirik sekilas, menahan senyum, “kau tidak ikhlas melakukannya?”

Audy menatapnya sengit, “Tugas absurd pertama, noted.”

Belum sempat ia kembali ke meja, Aldrich menambahkan, santai seolah benar-benar menikmati situasi ini.

“Oh ya, aku ada meeting jam 11. Tolong cek semua file presentasi di laptopku. Pastikan font-nya sama, jangan ada yang pakai Comic Sans.”

Audy menoleh cepat. “Serius, Pak? Saya bukan desainer grafis.”

“Kau asisten pribadi. Itu artinya… segala hal pribadi pun bisa aku serahkan padamu.”

Astaga… ini benar-benar jebakan Batman, batin Audy.

.....

Audy akhirnya duduk kembali di meja barunya. Baru lima menit, interkom berbunyi lagi.

“Audy, tolong belikan aku vitamin C merek yang biasa aku pakai. Jangan salah merek, aku hafal rasa tiap butirnya.”

Audy mendengus sambil menutup wajah. Clara dan Nadine pasti ngakak jika mendengar kabar ini.

Tak berhenti di situ, setengah jam kemudian…

“Audy, aku lupa pasang reminder. Tolong catatkan ulang semua jadwalku hari ini di kalender pribadiku, plus tambahkan alarm agar aku tidak telat.”

Audy berdiri, menatap pintu ruang CEO, “Kenapa rasanya lebih mirip jadi baby sitter?”

Namun di balik kekesalan itu, Audy tidak bisa menolak kenyataan lain: setiap kali Aldrich keluar ruangan dan melewati mejanya, pria itu selalu sempat melirik singkat, seolah memastikan Audy benar-benar ada di sana. Ada sesuatu di tatapan itu—entah kepastian, entah rasa puas—yang membuat jantung Audy justru semakin tak karuan.

Dan hari pertamanya sebagai asisten pribadi baru saja dimulai.

_____

Jam makan siang tiba, Audy sudah berlari kecil ke ruangan administrasi. Nadine dan Clara langsung melambai ketika melihatnya masuk.

“Nah, calon menantu bos besar datang juga!”

Audy mendengus, “Clara, plis, jangan mulai lagi. Aku sudah pusing dari pagi.”

Nadine cekikikan, “Ya sudah, pusingnya nanti diceritakan sambil makan siang saja. Let's go, sebelum kantin ramai.”

Ketiganya sudah siap hendak beranjak keluar. Namun tepat di depan pintu, langkah mereka tertahan. Sosok tinggi dengan jas rapi berdiri menyandar santai di kusen pintu, tangan terlipat di dada—Aldrich Dario Jourell.

Tatapan semua orang di ruangan langsung terarah. Clara dan Nadine nyaris menelan ludah bersamaan.

Tatapan Aldrich datar, tapi tajam “Audy. Kau makan siang bersamaku.”

Audy membeku, lalu cepat berusaha menolak, “Tapi, Pak… saya sudah janji makan dengan mereka.”

Aldrich mengerling sekilas ke arah Clara dan Nadine, lalu kembali menatap Audy, “Batal. Aku butuh kau sekarang.”

Clara dan Nadine otomatis menunduk, menahan geli sekaligus deg-degan melihat interaksi itu. Audy berdecak kecil, menatap bosnya dengan wajah penuh protes.

“Bapak ini ya… masa sampai urusan makan siang juga diatur?”

Aldrich sedikit menunduk, suaranya rendah, “Aku tidak minta. Aku memutuskan. Ikut aku.”

Dengan ekspresi penuh drama, Audy akhirnya melirik sahabat-sahabatnya.

“Doakan aku kuat. Jika aku tidak kembali, tolong laporkan pada HRD, ya.”

Clara dan Nadine serempak menahan tawa, “Siap, Bu Asisten!”

Audy menghela napas panjang, lalu akhirnya mengikuti Aldrich. Ia pikir, paling-paling hanya ke kantin eksekutif di lantai atas. Namun tatapannya membulat begitu mereka melewati lift, lalu terus berjalan ke arah basement.

“Pak, kita mau ke mana? Kantin eksekutif di atas, kan?”

Aldrich sekilas melirik, senyum tengil muncul, “Kantin? Aku pemilik perusahaan ini, Audy. Mana mungkin aku makan di kantin ramai-ramai.”

Audy berdiri terpaku, terbelalak, “WHAT? Jadi kita—”

.....

Benar saja, Aldrich menekan remote mobil hitam mewahnya yang berkilat di parkiran. Pintu mobil otomatis terbuka.

“Masuk.”

Audy masih shock, “Pak! Ini keterlaluan. Saya kan hanya mau makan siang bersama sahabat-sahabat saya!”

Aldrich begitu santai, menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Audy, “Tenang, lupakan sejenak sahabatmu, kau tetap makan siang. Bedanya, kau makan bersamaku. Itu jauh lebih beruntung, kan?”

Audy hanya bisa melongo, lalu mendengus keras.

Audy berbisik sendiri sambil masuk ke mobil, “Bos tengil… membuat hidupku ribet saja.”

Mobil melaju mulus keluar basement, meninggalkan gedung. Audy bersedekap di kursi penumpang, wajahnya jelas masih jengkel. Sementara Aldrich, dari samping, tampak tersenyum samar, puas karena rencananya berhasil—lagi-lagi membuat Audy tak bisa menghindar.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!