NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:620
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 20 Bara di Tengah Gelap

Gua itu sunyi, hanya diisi suara napas mereka dan tetesan air yang jatuh dari dinding basah.

Mauryn duduk memeluk lutut, matanya menerawang ke bara api kecil yang Revan buat dari ranting kering. Api itu kecil, hampir hanya secercah cahaya, tapi cukup memberi rasa hangat dan tenang.

Ardan mendesah panjang, lalu berkata dengan nada getir.

“Kamu sadar kan, kita tidak bisa terus begini. Bersembunyi, lari, lalu sembunyi lagi. Pada akhirnya mereka akan tetap menemukan kita.”

Revan tidak menoleh. Matanya fokus ke api, tapi suaranya tegas.

“Aku tahu.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan?” Mauryn menatapnya.

Revan akhirnya menoleh, menatap dua pasang mata yang menunggu jawaban.

“Kita tidak bisa hanya kabur. Mereka terlalu banyak, terlalu terlatih untuk dikecoh selamanya. Satu-satunya cara adalah membuat mereka takut mengejar kita lagi.”

Ardan langsung memekik pelan.

“Apa maksudmu? Membuat mereka takut? Kamu mau bilang… kita melawan balik?”

“Ya.” Revan mengangguk tanpa ragu.

Ardan menatapnya lama, lalu tertawa singkat penuh kegetiran.

“Kamu benar-benar gila. Mereka punya senjata, jumlah mereka… entah berapa. Dan kita? Satu pisau, dua tangan kosong, dan… maaf, Mauryn, tapi kau bukan petarung.”

Mauryn menggigit bibir, tapi ia tidak tersinggung.

“Aku memang bukan petarung. Tapi aku bisa mendengar isi hati mereka. Itu senjata juga, Ardan.”

Ardan menoleh padanya, bingung.

“Mendengar isi hati? Oke, aku tahu kau bisa lakukan itu, tapi apa gunanya? Kamu tidak bisa membuat mereka jatuh hanya dengan tahu mereka takut kegelapan atau ketinggian.”

Mauryn menatapnya balik, matanya tenang.

“Kamu salah. Mengetahui apa yang ada di hati seseorang bisa jadi lebih berbahaya daripada senjata. Aku bisa tahu siapa yang ragu, siapa yang bimbang, siapa yang hanya ikut-ikutan. Itu celah kita.”

Revan menyunggingkan senyum tipis.

“Itu sebabnya aku bilang kamu bukan kutukan, Mauryn. Kamu adalah senjata kita.”

Mauryn menunduk, dadanya bergetar mendengar kata-kata itu. Senjata… atau mungkin kunci.

Ardan menghela napas berat, lalu menjatuhkan diri ke dinding gua.

“Baiklah. Katakanlah aku setuju dengan rencana gila ini. Lalu apa rencana besarmu, Revan?”

Revan menyandarkan punggungnya, tatapannya dingin namun tajam.

“Kita tidak bisa menyerang mereka di lapangan terbuka. Kita gunakan hutan. Kita jadikan tempat ini perangkap besar. Satu orang bisa menumbangkan sepuluh, asal tahu caranya.”

“Aku rasa aku tidak suka arah pembicaraan ini.” Ardan mendengus.

“Apa maksudmu? Perangkap seperti jebakan sebelumnya?” Mauryn mengerutkan dahi.

“Bukan sekadar lubang atau batang pohon jatuh. Kita perlu buat mereka panik. Panik akan membuat mereka berbuat kesalahan. Dan kesalahan itu akan kita manfaatkan.” Revan menggeleng pelan.

“Kamu terdengar seperti… seseorang yang sudah sering melakukan hal ini.” Ardan menatapnya curiga.

Revan menoleh, matanya dingin.

“Aku sudah cukup lama hidup di dunia di mana hanya ada dua pilihan: membunuh atau dibunuh. Percayalah, aku tahu apa yang kulakukan.”

Suasana gua mendadak berat. Mauryn menelan ludah, lalu berbisik.

“Aku percaya padamu.”

Revan menoleh padanya, dan dalam tatapannya ada sedikit kelembutan yang jarang terlihat.

“Itu cukup. Satu orang percaya sudah lebih berharga daripada seribu yang ragu.”

Malam terus bergulir. Mereka bertiga akhirnya duduk lebih dekat ke api, meski bara hampir habis.

Ardan berusaha mengalihkan ketegangan dengan nada sarkastis.

“Kalau besok aku mati, kuharap setidaknya aku mati dengan cepat. Aku benci rasa sakit.”

Revan mendengus kecil.

“Kamu bicara seolah kamusudah pasti mati.”

“Ya, karena peluang kita bertahan tipis.” Mauryn menatap Ardan lembut.

“Peluang tipis bukan berarti tidak ada. Kamu tadi sudah buktikan bisa melumpuhkan satu orang. Itu artinya kamu bisa lebih dari yang kamu kira.”

Ardan menatapnya lama, lalu tersenyum kecut.

“Kamu pintar bicara, Mauryn. Baiklah… aku akan coba percaya. Tapi kalau aku jadi mayat, jangan salahkan aku di alam baka nanti.”

Revan memutar bola mata, tapi diam-diam ia tahu Ardan mulai berubah.

Setelah lama hening, Mauryn berbisik pelan.

“Revan… aku ingin tahu sesuatu.”

“Apa?”

“Kenapa kamu peduli padaku? Kamu bahkan baru mengenalku. Kamu bisa saja meninggalkanku sejak awal, tapi kamu tidak.”

Revan terdiam. Api kecil memantulkan cahaya samar di wajahnya, membuat sorot matanya tampak lebih dalam.

“Aku tidak tahu bagaimana menjawab itu. Mungkin karena aku melihat diriku di dalam dirimu.”

“Apa maksudmu?” Mauryn terkejut.

Revan menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi.

“Aku tahu rasanya jadi orang yang dianggap aneh. Orang yang tidak pernah benar-benar diterima. Hidupku penuh pertempuran, dan aku pikir aku sendirian. Tapi saat melihatmu… aku sadar, ada orang lain yang juga berjuang dengan caranya sendiri. Dan aku tidak ingin kamu berakhir sendirian, seperti aku dulu.”

Mauryn terdiam lama, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan ketulusan dalam kata-kata itu, tidak ada dusta sedikit pun.

“Revan…” suaranya pelan, hampir bergetar.

“Aku… terima kasih.”

Ardan menghela napas keras, pura-pura kesal.

“Astaga, kalian berdua ini kalau mau bermesraan bisa tunggu sampai kita tidak dikejar pembunuh? Aku hampir muntah.”

Mauryn menunduk buru-buru, wajahnya panas. Revan hanya mengangkat alis, menahan senyum tipis.

“Tenang, Ardan. Tak ada yang akan mengganggu tiduranmu nanti.”

“Tidur? Dengan para pemburu itu masih berkeliaran? Kamu bercanda?”

“Ya,” jawab Revan datar

“aku bercanda.” Lanjutnya

Malam itu, mereka bergiliran berjaga. Saat giliran Mauryn, Revan tetap terjaga, duduk di dekat pintu gua.

Mauryn mendekat pelan, berbisik.

“Kamu tidak tidur sama sekali?”

“Tidak terbiasa tidur nyenyak saat bahaya ada di luar.” Revan menggeleng.

Mauryn duduk di sampingnya. Sunyi melingkupi mereka, hanya ada suara hutan di kejauhan.

“Aku takut,” kata Mauryn jujur, suaranya lirih.

“Takut kalau besok kita gagal. Takut kalau kita tidak pernah bisa bebas.”

Revan menoleh, menatapnya lama.

“Rasa takut itu baik. Itu artinya kau masih hidup. Yang harus kita lakukan hanyalah tidak membiarkan rasa takut itu mengendalikan kita.”

Mauryn menunduk.

“Dan bagaimana caranya?”

Revan meraih tangannya, menggenggam erat.

“Dengan percaya pada dirimu. Dan percaya padaku.”

Mauryn terdiam, jantungnya berdetak cepat. Dalam genggaman hangat itu, ia menemukan keberanian kecil.

Untuk pertama kalinya, ketakutannya terasa sedikit lebih ringan. Di luar, angin malam berembus, membawa aroma tanah basah. Buruan masih jauh, tapi mereka tahu waktu semakin menipis.

Besok, hutan tidak lagi jadi tempat pelarian. Besok, hutan akan jadi medan perang.

Dan untuk pertama kalinya, Mauryn tidak hanya siap untuk lari. Ia siap untuk berdiri.

Bersambung…

Terus support othor yah 🥰

Jangan lupa like, komen dan Votenya 🫰🏻

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!