Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
“Astaga, siapa yang pasang ini?” tanya Aluna sambil turun dari motornya menggendong Kiya, berjalan menuju ke rumah peninggalan yang sudah kosong beberapa tahun ini. Kondisinya memang semakin mengkhawatirkan, tapi masih bisa di renovasi.
Aluna tidak tahu sampai kapan dia bertahan menjadi istri Adam, kalau seandainya nanti dia menyerah atau Adam menceraikannya, dia masih ada tempat pulang.
Apalagi, sekarang dia bukanlah istri satu-satunya bagi Adam, ada orang lain yang juga berhak atas tanggung jawab Adam. Dan orang itu adalah wanita yang dicintai Adam dari hatinya, bukan seperti dirinya yang hanya seorang istri wasiat saja.
“Aku yang pasang, ini kebetulan sudah ada yang mau beli.”
Aluna terkejut saat mendengar ada suara lain di belakangnya, dan ternyata itu adalah uwaknya, kakak dari ayahnya, Pak Narto. Beliau datang bersama dengan seorang lelaki muda.
“Uwak, aku tidak pernah mau menjual rumah ini!” ucap Aluna terbawa emosi. Bahkan dia lupa untuk menyalami sang uwak.
Pak Narto tertawa. “Aku yang menjualnya, dan tidak perlu kau mau atau tidak. Kau tidak punya hak.”
“Ini rumah orang tuaku! Aku anak mereka satu-satunya, dan aku tidak pernah mau menjualnya!” jawab Aluna.
“Aku kakaknya, di dalam hartanya itu ada warisan untukku. Apalagi anaknya hanya seorang perempuan. Dan juga, kau sudah menikah dengan keluarga kaya raya, untuk apa lagi rumah ini,” balas Pak Narto tajam.
“Tidak cukupkah uwak mengambil semua asuransi ayah dan ibuku?” tanya Aluna dengan suara bergetar.
Iya, ketika kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Keluarga korban di berikan asuransi yang tidak sedikit, dan semua uang itu diambil oleh uwaknya. Alasannya, ingin dikelola agar Aluna tidak kesulitan. Aluna hanya diberikan seperlunya saja. Dan akhirnya Aluna tidak diberikan sama sekali, alasan yang diberikan uwaknya, uang itu sudah habis.
Saat Aluna memaksa meminta uang itu, uwaknya mengatakan uangnya di investasikan dan mereka mengalami kerugian. Sejak saat itu, Aluna memutus hubungan dengan uwaknya, dia tidak pernah ikhlas atas perlakuan uwaknya.
“Kau ini jadi wanita gak ada sopan santunnya. Siapa yang mengambil asuransi orang tuamu? Kamu yang gagal berbisnis, aku yang disalahkan.”
Alune menghalangi mereka masuk. “Sampai kapanpun aku tidak memberikan izin kepada uwak untuk menjual rumah ini!”
“Aku punya sertifikatnya,” jawab Pak Narto menunjuk sertifikat rumah itu kepada Aluna.
Aluna tersentak, seingatnya sertifikat itu ada padanya, bagaimana bisa ada di tangan uwaknya. Dan ternyata, uwaknya mengambilnya ketika Arman meninggal. Saat itu, rumah dalam keadaan ramai dan Aluna yang berkali-kali pingsan, istri uwaknya berhasil menemukan harta satu-satunya milik Aluna.
“Aku tidak akan menjualnya!” teriak Aluna.
“Silakan kau hentikan, sertifikat ada padaku. Siapa yang orang percaya? kau atau aku? Jelas aku, karena aku memegang sertifikatnya,” jawab Pak Narto.
“Aku akan menuntut Uwak!”
“Silakan saja.”
Lelaki yang bersama Pak Narto itu akhirnya membatalkan niatnya membeli rumah itu saat melihat adanya keributan. Dia tidak mau membeli rumah yang dalam keadaan sengketa.
“Gara-gara kau, aku rugi!” tunjuk Pak Narto kepada Aluna.
“Ini rumahku!” jawab Aluna.
Setelah kepergian Pak Narto sambil marah-marah, Aluna duduk luruh di lantai yang kotor. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia gagal menjaga sertifikat itu.
Plak!
Beberapa kemudian sebuah tamparan mendarat di wajah Aluna, dia tersentak. Bahkan Kiya menangis sangat keras melihat ibunya mendapat tindakan kekerasan.
“Wak Murni?” tanya Aluna tidak percaya melihat siapa yang di depannya, yaitu istri dari Pak Narto.
“Kau itu memang tidak tau berterima kasih dan tidak tahu diri. Sebelum kau menikah dengan Arman, kamilah yang membiayai hidupmu!”
Wanita yang dipanggil Wak Murni itu langsung marah kepada Aluna. Sepertinya, beliau kesal karena hari ini gagal menjual rumah itu.
“Yang kalian berikan padaku itu adalah asuransi kedua orang tuaku, bahkan jika diakumulasi semuanya tidak ada lima persen dari jumlah semuanya!” jawab Aluna.
“Kau perhitungan?”
“Aku tidak pernah ikhlas dunia dan akhirat atas apa yang kalian ambil milik orang tuaku!”
Wak Murni ingin kembali menampar Aluna, tapi ada banyak orang yang mendekat. Para tetangga heran mendengar adanya keributan.
Hari itu, Aluna bolak balik sibuk mengurus rumah peninggalan orang tuanya, ke rumah kades membuat laporan, kalau dia tidak pernah memberikan sertifikat kepada Mamanya. Aluna melaporkan uwaknya melakukan pencurian.
Hingga sore dia baru kembali ke rumah, tubuhnya sangat lemah. Dia sampai lupa makan siang, bukan hanya dia yang kelelahan, tapi Kiya juga.
Kiya mulai rewel dan betapa paniknya Aluna saat meraba dahi Kiya, suhu tubuhnya sangat panas.
“Nak, kamu demam. Maafkan Mama,” lirih Aluna yang langsung memeluk Kiya dengan erat.
Dia segera menyiapkan air hangat untuk mengompres tubuh Kiya dan juga obat penurun panas yang selalu tersedia di rumahnya.
Kiya mulai menangis dan merengek.
Kring! Kring!
Disaat itu, ponsel Aluna berdering. Terlihat di layar, Adam melakukan panggilan video. Aluna sempat ragu, tapi akhirnya dia menjawabnya juga.
“Kalian gapapa?” tanya Adam.
“Iya, kami gapapa, Mas.”
“Mana Kiya?”
Disaat itu, Kiya kembali menangis merengek. Dengan terpaksa Aluna mengarahkan kamera kepada Adam, karena suaminya itu memaksa untuk melihat Kiya, katanya kangen.
“Kiya kenapa, Aluna?” tanya Adam panik melihat anaknya yang sedang di kompres dan menangis lirih.
“Kiya baik-baik saja, Mas.”
“Itu kenapa? Kiya sakit?” desak Adam.
“Hanya demam sedikit, Mas.”
Aluna sebenarnya tidak mau Adam tahu kalau Kiya sakit. Dia takut disangka sengaja agar Adam tidak tenang disana. Biasanya juga Adam tidak pernah menelponnya saat berada di kota XXX. Entah mengapa hari ini Adam menelponnya. Adam benar-benar berubah.
Di kota, Adam yang merasa sangat khawatir mendengar Kiya demam, bersiap untuk pulang. Dia tidak bisa tenang.
“Kamu mau pulang? Kamu baru datang, Adam!” tanya Laras dengan wajah cemberut.
“Iya, Kiya sakit. Aku harus berada disana,” jawab Adam.
“Tapi, kamu baru datang kesini pagi ini. Apakah sekarang aku memang tidak berarti lagi bagimu?” tanya Laras mulai emosi.
Bagaimana tidak emosi? Adam baru saja datang pagi ini setelah dia mengancam ingin bunuh diri. tapi, rupanya lelaki itu tidak bisa menginap. Adam ingin langsung pulang, dengan alasan Kiya sakit.
“Bukan begitu, Laras. Minggu depan aku akan datang dan menginap, kita menginap di hotel. Tapi, sekarang Kiya sedang demam. Kasihan dia rewel,” jawab Adam.
“Pasti wanita jalang itu yang menelpon, kan?”
“Jaga mulutmu, Laras! Bukan Aluna yang menelpon, tapi aku yang menelpon mereka,” jawab Adam.
“Anak itu bukan anakmu!” teriak Laras lagi.
“Dia anakku meskipun bukan anak kandungku, tapi dia anak kakakku dan sama saja, dia adalah anakku,” jawab Adam sembari meraih handle pintu kamar.
“Tapi, aku juga sedang hamil anakmu!” ucap Laras.
“Apa yang kau katakan, Laras?”
“Aku sedang hamil! Ini anakmu!”