Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelesaian Masalah dan Awal yang Baru
Bel masuk berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran terakhir telah dimulai. Suasana di koridor yang tadinya ramai kini menjadi sepi. Semua siswa kembali ke kelas masing-masing, lelah setelah melewati hari yang panjang dan penuh drama.
Jam pelajaran terakhir berlalu dengan cepat, dan bel berbunyi lagi, kali ini menandakan akhir dari hari sekolah. Fara langsung mengemasi tasnya dan keluar dari kelas, berjalan tergesa-gesa tanpa menoleh ke belakang. Ia ingin segera pergi dari tempat yang telah menjadi saksi bisu kehancurannya.
Di sisi lain, Aluna berjalan keluar kelas bersama Revan, Kian, dan Liam. Mereka mengobrol santai sambil berjalan menuju gerbang. Revan mengantar Aluna sampai di mobil.
"Sampai besok ya, Lun," kata Revan. "Semoga lo baik-baik aja."
"Makasih," balas Aluna, tersenyum tulus.
Dari kejauhan, Valeria dan Damian juga terlihat berjalan keluar dari sekolah. Mereka berdua berjalan santai sambil mengobrol, seolah tidak ada masalah yang terjadi di antara mereka.
Aluna masuk ke mobilnya, ia terkejut melihat Fara sudah duduk di kursi depan, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.
Sementara itu, Tante Kiara sudah menunggu di depan gerbang. Ia turun dari mobil, dan Valeria segera menghampirinya, diikuti oleh Damian.
"Tante!" sapa Valeria, memeluk Tante Kiara erat.
"Bagaimana harimu, sayang?" tanya Tante Kiara, suaranya dipenuhi kelegaan. Ia tersenyum pada Damian.
"Terima kasih sudah menjaganya, Damian."
"Sama-sama, Tante," jawab Damian sopan.
Tepat saat itu, Revan, Kian, dan Liam melihat mereka. Mereka berjalan mendekat dengan senyum. Revan yang berada di depan.
"Tante Kiara! Revan, Tante," sapa Revan dengan ramah.
"Sudah lama ya kita enggak ketemu."
Tante Kiara menoleh, senyumnya mengembang saat mengenali Revan. "Revan! Ya ampun, Tante sudah lama tidak melihat kamu. Kamu semakin dewasa saja," katanya, terlihat senang. "Bagaimana kabar kamu? Dan teman-temanmu ini?"
"Baik, Tante. Kenalkan, ini Kian. Dia anaknya Om Rex
Adrian," kata Revan, menunjuk Kian. Kian tersenyum dan mengangguk sopan. "Dan ini Liam," Revan menunjuk Liam yang hanya tersenyum dan sedikit menunduk.
Mata Tante Kiara membulat. "Rex Adrian? Iya, Tante tahu papanya Kian ini rekan bisnis Tante dan sahabat papamu, Valeria. Dan papamu juga sering cerita tentang kamu, Kian. Oh ya, Kian, Tante juga mau ucapkan terima kasih karena kalian mau membantu Valeria dan menyelesaikan masalah ini," katanya, melirik Kian dan Liam.
"Sama-sama, Tante. Kita kan teman, sesama teman harus saling membantu," jawab Kian.
"Iya, Tante, benar kata kian," tambah Liam.
"Oh ya, Tante, ada yang mau Revan sampaikan soal Aluna dan Fara," kata Revan.
"Ada apalagi dengan mereka?" tanya Tante Kiara, nadanya terdengar lelah.
"Mereka sudah meminta maaf di depan semua murid di aula, Tante. Dan mereka juga sudah kena hukuman dari sekolah," kata Revan.
Tante Kiara menghela napas, terlihat lega sekaligus terkejut. "Syukurlah. Jadi, masalahnya sudah selesai?"
"Iya, Tante," jawab Revan.
"Tapi masalahnya aku disuruh bantuin mereka mengembalikan nama baik mereka juga," potong Valeria, suaranya terdengar pasrah.
Tante Kiara menoleh ke arah Valeria, ekspresinya dipenuhi keheranan. "Bantu mereka? Apa maksudnya, sayang?"
"Jadi, tadi pagi itu aku, Aluna, dan Fara dipanggil ke ruang kepala sekolah," kata Valeria, suaranya pelan sambil mencoba mengingat apa yang terjadi.
...🍃 Flashback Valeria 🍃...
Di Ruangan Kepala Sekolah, Fara, Aluna, dan Valeria duduk di hadapan kepala sekolah, Bapak Adi. Suasana di dalam ruangan itu terasa sangat tegang. Bapak Adi menatap mereka bergantian, ekspresinya tegas dan serius.
"Saya sudah menerima laporan tentang apa yang terjadi," kata Bapak Adi, memecah keheningan. "Grup-grup di media sosial sekolah dipenuhi dengan gosip dan fitnah yang tidak bertanggung jawab. Saya tahu ini adalah perbuatan kalian bertiga."
Ia menghela napas. "Sekolah ini adalah tempat untuk belajar, bukan untuk menyebarkan kebencian. Kalian sudah merusak nama baik sekolah, dan yang lebih penting, kalian sudah menyakiti satu sama lain."
Bapak Adi kemudian menoleh ke arah Fara dan Aluna.
"Fara, Aluna, saya tahu kalianlah yang memulai semua ini. Saya sudah bicara dengan orang tua kalian, dan mereka sudah mengakui semua perbuatan kalian. Tapi saya ingin dengar dari kalian sendiri. Apa yang membuat kalian melakukan ini?"
Fara hanya menunduk, tidak berani berbicara. Aluna mulai menangis. "Saya... saya minta maaf, Pak. Saya salah," bisiknya.
Bapak Adi mengangguk. Ia tahu Aluna adalah korban manipulasi Fara. Ia kemudian menatap Fara, yang masih diam. "Fara, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu. Kalian berdua akan diberi hukuman."
"Hukuman?" tanya Fara, mengangkat kepalanya.
"Ya. Kalian harus meminta maaf di hadapan seluruh siswa di aula sekolah," jawab Bapak Adi. "Dan setelah itu, kalian akan menjalani hukuman sosial selama satu minggu, di mana kalian harus membantu membersihkan area sekolah. Saya harap itu bisa membuat kalian belajar."
Bapak Adi menghela napas. "Seharusnya ada satu orang lagi di sini, Risa. Tapi sayangnya, hari ini dia tidak masuk. Bapak dengar dia akan dipindahkan dari sekolah ini."
Fara terkejut, sementara Aluna terlihat sedih. Mereka saling pandang, menyadari bahwa Risa telah meninggalkan mereka untuk menghadapi konsekuensi sendirian.
Bapak Adi kemudian menoleh ke arah Valeria. "Valeria, saya tahu kamu adalah korban. Tapi kamu juga harus ikut bertanggung jawab. Saya ingin kamu membantu Fara dan Aluna untuk mengembalikan nama baik mereka."
Valeria terkejut. "Tapi, Pak..."
"Saya tahu kamu tidak bersalah," potong Bapak Adi. "Tapi ini adalah pelajaran bagi kalian semua. Ini tentang bagaimana kita menyelesaikan masalah, bukan bagaimana kita menghindarinya. Kalian setuju?"
Fara dan Aluna hanya mengangguk pelan. Valeria juga mengangguk, meskipun ia tidak mengerti mengapa ia harus membantu orang yang telah menyakitinya.
...🍃 Flashback End 🍃...
"Jadi gitu, Tante?" kata Valeria.
"Berarti mulai hari ini Risa pindah sekolah? Dia pindah ke mana?" tanya Damian.
"Gue enggak tahu, Damian. Pak kepala sekolah enggak bilang," jawab Valeria.
Tante Kiara menatap Valeria dengan ekspresi campur aduk antara bangga dan khawatir. Ia menarik napas panjang, mencoba memproses semua informasi yang baru saja ia dengar.
"Jadi, kepala sekolah meminta kamu untuk membantu mereka?" tanya Tante Kiara, suaranya lembut. "Sayang, itu adalah tugas yang sangat berat."
Valeria hanya mengangguk, matanya terlihat lelah.
Tante Kiara kemudian tersenyum kecil. "Tante bangga sama kamu. Kamu sudah bersikap sangat dewasa dan bijaksana. Tapi, kamu tidak harus melakukannya sendirian, kamu mengerti?"
Damian mengangguk setuju. "Aku akan bantu Valeria, Tante."
"Valeria, keputusan kepala sekolahmu ini memang berat, tapi Tante rasa ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk kalian semua," kata Tante Kiara, menatap Valeria.
"Ini bukan lagi tentang siapa yang salah atau benar. Ini tentang bagaimana kalian belajar memaafkan dan membangun kembali apa yang sudah rusak."
"Ayo kita pulang dulu. Di mobil nanti kita bicarakan lagi, bagaimana kamu dan Damian akan melakukannya," ajak Tante Kiara, sambil mengusap pundak Valeria.
" Maaf Tante, kalau gitu saya, Kian, dan Liam juga pamit duluan. Mau pulang," kata Revan.
"Oh iya, kalian hati-hati ya pulangnya. Jangan kebut-kebutan," pesan Tante Kiara.
"Iya, Tante, kami permisi, Valeria, Damian," kata Kian.
"Iya, hati-hati kalian," balas Valeria.
"Iya, bro, nanti gue nyusul," kata Damian kepada Revan.
Revan, Kian, dan Liam pun berbalik pergi meninggalkan mereka. Suara deru motor mereka terdengar menjauh.
Setelah mereka pergi, Damian berpamitan. "Tante, saya juga pamit pulang," katanya.
"Eh, kita belum selesai ngobrolnya," kata Tante Kiara, sedikit terkejut.
"Maaf, Tante, saya bawa motor soalnya, jadi nggak bisa bareng. Kapan-kapan kita bahas, Tante," jelas Damian.
"Oh, yaudah. Kamu juga hati-hati ya, Damian," kata Tante Kiara, pengertian.
"Iya, Tante, saya permisi pulang duluan," pamit Damian.
"Silakan, Damian," balas Tante Kiara.
Damian pun pergi, meninggalkan Tante Kiara dan Valeria. Setelah Damian pergi, Tante Kiara mengajak Valeria masuk ke dalam mobil. Mobil Tante Kiara melaju meninggalkan area sekolah, membawa Valeria dalam keheningan yang canggung. Setelah beberapa saat, Tante Kiara memecah keheningan.
"Valeria, hari ini kamu ada les, ya?" tanyanya sambil melirik Valeria. "Kemarin kan kamu enggak les, jadi hari ini kamu harus tetap les. Tante enggak enak sama mama kamu. Kamu tahu sendiri mama kamu seperti apa, Val."
Valeria menoleh ke jendela, menghela napas. "Iya, Tante, aku ngerti," jawabnya pelan.
Sementara itu, di sebuah mobil lain, Fara dan Aluna juga sedang dalam perjalanan pulang. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah. Fara lebih dulu turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu depan.
"Kuncinya sini," kata Fara, tanpa menoleh, tangannya terulur.
Aluna mengambil kunci dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Fara. Fara merebutnya dengan kasar lalu membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Sopir pun melajukan mobilnya pergi.
Aluna hanya bisa menatap punggung Fara yang menghilang di balik pintu. Aluna masuk ke dalam rumah. Ia merasa haus dan lelah. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Ia kemudian duduk di meja makan, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Tiba-tiba, terdengar suara notifikasi. Aluna melihat ponselnya. Ada sebuah pesan teks dan notifikasi transfer uang masuk dari omnya, Bram.
Aluna melihat notifikasi di ponselnya. Ada pesan teks dari Bram, omnya. Ia membuka pesan itu, dan matanya membaca setiap kata dengan cermat.
Pesan dari Om Bram:
Lun, Om sudah transfer uang untuk biaya jajan dan makan sehari-hari kamu dan Fara. Jika kurang, atau jika ada apa pun yang kamu butuhkan, segera hubungi Om ya. Jaga diri baik-baik.
Aluna tersenyum tipis. Ia merasa lega dan terharu. Meskipun ia merasa sendirian, ia tahu ada orang yang peduli dengannya. Ia menyimpan ponselnya, lalu menatap ke arah pintu depan. Ia tahu, Fara sudah berada di dalam kamarnya, menyendiri.
Tiba-tiba, suara dering ponsel Aluna berbunyi nyaring, memecah kesunyian rumah. Ia melihat nama "Mama" di layar. Aluna menghela napas, lalu menekan tombol jawab.
"Halo, Ma?" sapa Aluna.
"Halo, sayang. Bagaimana harimu?" tanya mamanya, Sinta, suaranya terdengar normal seperti biasa. "Kamu baik-baik saja, kan? Bagaimana Fara?"
"Aku baik, Ma. Fara juga baik," jawab Aluna, mencoba menutupi kegugupannya. Ia tidak mungkin menceritakan semua kejadian di sekolah. Ia tahu mamanya akan sangat khawatir.
"Syukurlah, sayang. Maaf mama enggak bisa pulang ke Indonesia, ya," kata Sinta.
"Enggak apa-apa kok, Ma. Aluna mengerti," jawab Aluna.
"Terus Fara masih sama kamu?" tanya Sinta.
"Iya, Ma. Sebenarnya, Om Bram mau ajak Fara pulang kalau Aluna takut tinggal sama Fara, tapi Aluna bilang Aluna enggak takut. Jadi Fara tetap tinggal di sini," cerita Aluna.
"Tapi kenapa kamu bilang seperti itu, Aluna?" tanya Sinta.
"Karena Aluna yakin, Ma. Fara akan berubah," jawab Aluna, suaranya pelan.
"Aluna, kamu memang anak mama yang baik. Mama sayang kamu, Aluna," kata Sinta.
"Aku juga sayang mama," jawab Aluna.
"Oh ya, uang jajan kamu masih ada, sayang?" tanya Sinta.
"Masih ada, Ma. Malahan tadi Om Bram kirim uang ke rekening aku," kata Aluna.
"Oh ya? Jangan lupa kamu bilang terima kasih sama Om ya," pesan Sinta.
"Iya, Ma," jawab Aluna.
"Yaudah, kamu baik-baik ya di sana. Jaga diri. Kalau ada apa-apa, hubungi mama ya," kata Sinta.
"Iya, Ma. Pasti," jawab Aluna.
"Dah, Aluna," tutup Sinta.
"Dah, Ma," balas Aluna.
Panggilan pun berakhir.
Di rumah Valeria, Tante Kiara sedang menyiapkan makan siang bersama Bi Sri, asisten rumah tangganya. Tante Kiara kemudian memanggil Valeria.
"Valeria, ayo kita makan siang bareng," ajak Tante Kiara.
"Iya, Tante, tunggu sebentar," jawab Valeria.
Setelah memanggil Valeria, Tante Kiara menoleh ke arah Bi Sri. "Bi, ayo gabung makan siang bersama kami," ajaknya.
Bi Sri tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak usah, Nyonya. Biar saya siapkan saja. Saya makan nanti di dapur," tolaknya halus, sudah terbiasa dengan posisinya.
Namun, Tante Kiara menolak. "Ayolah, Bi. Jangan begitu. Di sini kita semua sama. Ayo, makan bersama. Kamu sudah lelah seharian, kan?"
Karena desakan Tante Kiara yang tulus, Bi Sri akhirnya mengalah dan duduk di meja makan. Valeria tersenyum melihatnya. Di meja makan itu, mereka bertiga menyantap makan siang dalam suasana kekeluargaan yang hangat.
...Hanya ilustrasi gambar....
Makan siang selesai. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh kelegaan. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi.
Bi Sri hendak melangkah ke pintu, tetapi Tante Kiara mencegahnya. "Bi, biar saya saja yang buka," katanya lembut. "Bibi rapikan meja makan saja. Valeria, siap-siap. Ambil buku lesmu. Sekarang jadwal les matematika dengan Bu Jasmine."
Setelah mengatakan itu, Tante Kiara berjalan menuju pintu depan. Sementara itu, Bi Sri mulai membersihkan meja makan, dan Valeria bergegas menuju kamarnya untuk mengambil buku.
Tante Kiara membuka pintu dan terlihat Bu Jasmine, guru les matematika Valeria, berdiri di depan.
Tante Kiara membuka pintu dengan senyum ramah. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan kacamata, membawa sebuah tas besar berisi buku. Itu adalah Bu Jasmine, guru les matematika Valeria.
"Bu Jasmine, silakan masuk," sapa Tante Kiara hangat.
"Terima kasih, Bu," jawab Bu Jasmine, juga dengan senyum. "Bagaimana kabar Valeria hari ini? Saya lihat dia tidak masuk les kemarin."
Tante Kiara menghela napas pelan. "Dia baik, Bu. Hanya... sedikit lelah. Ada sedikit masalah di sekolah. Tolong, Bu, tolong bersikap lebih sabar hari ini, ya."
Bu Jasmine mengangguk, mengerti. Sebagai guru les, ia sering berhadapan dengan masalah remaja. "Tentu saja, Bu. Saya akan berusaha membuat pelajaran terasa menyenangkan untuknya. Di mana Valeria?"
"Valeria sudah saya minta bersiap. Sebentar lagi dia turun," kata Tante Kiara. "Mari, silakan duduk di ruang tamu dulu."
Valeria berjalan menuruni tangga dengan langkah lesu. Ia melihat Bu Jasmine sudah duduk di sofa ruang tamu, tersenyum hangat ke arahnya.
"Sore, Bu Jasmine," sapa Valeria, mencoba tersenyum, meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya.
"Sore, Valeria," balas Bu Jasmine. Ia melihat wajah Valeria yang tampak lelah. "Bagaimana harimu?" tanyanya lembut, tidak menuntut jawaban, hanya menawarkan ruang untuk bicara.
Valeria hanya mengangguk pelan. "Baik, Bu. Maaf saya tidak bisa les kemarin," katanya sopan.
"Tidak apa-apa," jawab Bu Jasmine, mengerti. "Ayo kita mulai saja."
Mereka berdua berjalan menuju meja belajar. Valeria mengeluarkan buku-bukunya, tetapi pikirannya masih dipenuhi bayangan Fara yang marah dan Aluna yang sedih.
Bu Jasmine membuka buku di hadapannya. "Kita mulai dari Bab 3 ya, Valeria. Tentang fungsi kuadrat. Kamu masih ingat kan rumusnya?" tanyanya sambil menunjuk rumus di buku.
Valeria mengangguk. Ia mencoba fokus, tetapi pikirannya melayang. Kata-kata Fara, wajah Aluna, dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya masih berputar-putar di kepalanya. Ia menatap deretan angka dan huruf di buku, tetapi tidak ada yang masuk ke dalam otaknya. Ia hanya bisa mengangguk, pura-pura mengerti.
"Coba kamu kerjakan soal ini," kata Bu Jasmine, menunjuk sebuah soal di halaman.
Valeria mengambil pensil, tetapi tangannya membeku di atas kertas. Ia menatap soal itu, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan wajah Fara yang marah dan menangis.
Bu Jasmine menghela napas. Ia menaruh pensilnya dan menatap Valeria. "Valeria," katanya lembut. "Kamu tidak bisa fokus, kan?"
Valeria terkejut. Ia menoleh ke arah Bu Jasmine, matanya berkaca-kaca. "Maaf, Bu..." bisiknya.
"Tidak apa-apa," potong Bu Jasmine. "Ayo, letakkan pensilmu dulu. Ceritakan pada Ibu. Ada apa?"
Air mata yang sudah ditahan Valeria akhirnya jatuh. Ia menunduk dan mulai bercerita, suaranya bergetar. Ia menceritakan segalanya, dari awal mula gosip dan fitnah yang disebarkan, perbuatan Fara dan Risa, hingga kejadian memalukan di depan seluruh murid dan hukuman yang diberikan. Ia menceritakan bagaimana kepala sekolah memintanya untuk membantu Fara dan Aluna mengembalikan nama baik mereka.
"Aku tidak mengerti, Bu," kata Valeria, suaranya terisak.
"Kenapa aku yang harus membantu mereka? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi kenapa rasanya aku juga dihukum?"
Bu Jasmine mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menyela, hanya membiarkan Valeria mengeluarkan semua unek-uneknya. Ketika Valeria selesai, Bu Jasmine menggeser duduknya, mendekat. Ia mengusap punggung Valeria dengan lembut.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Valeria," katanya dengan suara tenang. "Apa yang kamu rasakan itu wajar. Rasanya tidak adil, dan itu menyakitkan. Tapi coba kamu pikirkan ini: Bapak Kepala Sekolah tidak meminta kamu untuk menghukum mereka. Beliau meminta kamu untuk membantu mereka."
Valeria menatapnya, bingung.
"Ini bukan hukuman untuk kamu, Valeria. Ini adalah sebuah kepercayaan," lanjut Bu Jasmine. "Bapak Kepala Sekolah melihat sesuatu di dalam diri kamu. Beliau melihat kamu sebagai orang yang kuat, yang bisa memimpin. Beliau tahu kamu tidak hanya bisa menyelesaikan masalah untuk diri sendiri, tapi juga bisa membantu orang lain keluar dari masalah. Ini adalah kesempatan kamu untuk menunjukkan kepada semua orang, bahwa kebaikan itu lebih kuat daripada kejahatan."
Valeria mendengarkan, dan perlahan-lahan, air matanya berhenti. Ia memikirkan kata-kata Bu Jasmine. Perasaan tidak adil yang ia rasakan perlahan mulai berganti.
Bu Jasmine menatap Valeria dengan penuh pengertian. Ia tidak mendesak, hanya memberikan pilihan.
"Jadi, bagaimana?" tanya Bu Jasmine, suaranya lembut. "Mau kita lanjutkan pelajaran kita, atau kita akhiri saja untuk hari ini?"
Valeria menatap Bu Jasmine, lalu menghela napas panjang. Perasaan berat di hatinya perlahan tergantikan oleh tekad baru. Ia mengangguk, mengambil pensilnya kembali.
"Kita lanjutkan, Bu," jawabnya, suaranya kini terdengar lebih mantap.
Bu Jasmine tersenyum, mengerti bahwa Valeria telah membuat pilihan yang tepat. Mereka pun kembali memulai pelajaran, dan kali ini, Valeria bisa fokus sepenuhnya. Ia sudah siap untuk menghadapi tantangan di depannya.
"Baik, kita mulai dari soal pertama," kata Bu Jasmine. Ia mengambil spidol dan menulis di papan tulis mini yang ada di hadapannya. "Ibu akan berikan contoh soal dan cara pengerjaannya."
Bu Jasmine menuliskan sebuah persamaan.
"Soalnya: Tentukan akar-akar dari persamaan kuadrat x^2 - 5x + 6 \= 0," katanya.
"Ada beberapa cara untuk menyelesaikan soal ini, tapi kita coba pakai metode pemfaktoran dulu ya. Caranya adalah mencari dua bilangan yang jika dikalikan hasilnya 6 dan jika dijumlahkan hasilnya -5."
"Dua bilangan itu adalah -2 dan -3, karena (-2) \times (-3) \= 6 dan (-2) + (-3) \= -5," lanjut Bu Jasmine, menjelaskan dengan sabar. "Maka, kita bisa faktorkan persamaannya menjadi (x-2)(x-3) \= 0."
"Jadi, akar-akarnya adalah x-2 \= 0, yang berarti x\=2, dan x-3 \= 0, yang berarti x\=3," jelasnya, menatap Valeria.
Valeria mengangguk. Ia mengikuti setiap langkah Bu Jasmine dengan cermat. Semua yang ada di kepalanya, mulai dari drama sekolah hingga perasaannya, kini terasa jauh dan samar. Untuk saat ini, hanya ada dia dan matematika.
"Nah, coba Valeria kamu kerjakan soal ini," kata Bu Jasmine. Ia menuliskan soal baru di papan tulis: "Tentukan akar-akar dari persamaan kuadrat x^2 - 7x + 12 \= 0."
Valeria mengambil pensil. Ia membaca soal itu, lalu mulai memikirkan dua bilangan yang jika dikalikan hasilnya 12 dan jika dijumlahkan hasilnya -7. Dengan cepat, ia menemukan jawabannya: -3 dan -4.
Ia mulai menuliskan langkah-langkahnya. Tanpa ragu, ia memfaktorkan persamaan itu menjadi (x-3)(x-4) \= 0. Lalu, ia menemukan akarnya, x\=3 dan x\=4.
"Selesai, Bu," katanya, suaranya dipenuhi kepercayaan diri.
Bu Jasmine tersenyum, bangga. "Hebat, Valeria. Kamu bisa melakukannya."
Pelajaran matematika berlanjut dengan lancar. Valeria berhasil mengerjakan semua soal yang diberikan. Pikirannya kini benar-benar jernih. Ia tahu, setelah ini, tantangan sesungguhnya menunggunya.
"Jadi, Valeria, untuk masalahmu... kamu sudah tahu bagaimana cara melakukannya?" tanya Bu Jasmine lembut. Ia tidak merujuk pada soal matematika, melainkan pada tugas dari kepala sekolah.
"Belum, Bu," jawab Valeria, suaranya pelan.
"Mau Ibu bantu?" tawar Bu Jasmine.
Valeria mengangguk. "Ya, Bu," jawabnya, matanya menatap Bu Jasmine penuh harap.
"Baiklah, begini," kata Bu Jasmine, menatap Valeria dengan penuh keyakinan. "Mengembalikan nama baik mereka bukan hanya tentang membuat pengumuman di depan umum. Itu adalah tentang membuat mereka berubah dari dalam. Dan itu adalah tugas yang jauh lebih sulit."
Bu Jasmine mengambil napas dalam. "Masalah ini bukan dimulai dari media sosial. Masalah ini dimulai dari hati yang terluka, kan? Kamu harus mendekati mereka dengan hati, bukan dengan aturan sekolah."
"Ibu punya satu saran," lanjutnya. "Jangan langsung berusaha mengumpulkan mereka berdua. Mulailah dengan Aluna dulu. Kamu dan Aluna adalah korban yang sama, dan kamu berdua bisa mengerti satu sama lain. Dengarkan dia. Biarkan dia tahu kamu ada di sisinya. Setelah itu, kamu berdua bisa bersama-sama menghadapi Fara."
"Kamu harus membuat Fara merasa bahwa ada orang yang benar-benar peduli padanya, bukan hanya karena tugas. Mungkin saja, dia melakukan semua ini karena dia kesepian dan tidak bahagia," kata Bu Jasmine, suaranya meyakinkan. "Ketika dia merasakan kasih sayang yang tulus, dia mungkin akan terbuka dan masalahnya bisa diselesaikan."
Baik, Bu. Besok di sekolah, saya akan coba mendekatinya dan mengajak mengobrol," kata Valeria penuh tekad.
"Bagus," jawab Bu Jasmine, tersenyum bangga. "Ibu yakin kamu bisa."
Pelajaran matematika pun selesai. Bu Jasmine membereskan bukunya dan berpamitan kepada Valeria dan Tante Kiara. Malam itu, Valeria tidur dengan pikiran yang jauh lebih tenang.
Keesokan harinya, di sekolah, Valeria melihat Aluna berjalan sendirian di koridor. Hatinya berdebar kencang. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia sudah bertekad. Ia berjalan mendekati Aluna.
Valeria berjalan mendekati Aluna, hatinya berdebar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menyapa.
"Hai, Aluna," sapanya, suaranya pelan dan ramah.
Aluna terkejut. Ia menoleh dan melihat Valeria. Ia tidak menyangka Valeria akan menyapanya. Aluna menunduk, merasa malu. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Valeria, maafkan aku," bisik Aluna, suaranya bergetar.
Valeria menggeleng, senyumnya tulus. "Tidak apa-apa," katanya. "Aku sudah memaafkanmu. Aku hanya... ingin bicara."
Aluna mendongak, menatap Valeria. Matanya dipenuhi pertanyaan. "Bicara tentang apa?" tanyanya.
"Tentang pertemanan," kata Valeria, suaranya lembut namun tegas.
Aluna terkejut. "Pertemanan?" tanyanya, tidak mengerti.
"Ya, gue tahu kita memang teman," lanjut Valeria. "Tapi kita nggak terlalu akrab. Gue mau mencoba untuk lebih dekat dengan lo."
Aluna terdiam, menatap Valeria dengan bingung. Ia tidak mengerti mengapa Valeria ingin berteman dengannya, setelah semua yang terjadi. Ia tahu Valeria telah menjadi korban dari ulahnya sendiri dan Fara.
Aluna masih terdiam, menatap Valeria dengan tatapan kosong. Ia tidak bisa mencerna mengapa Valeria ingin berteman dengannya setelah semua yang terjadi. Keheningan yang panjang membuat Valeria merasa tidak nyaman.
"Aluna," panggil Valeria lembut. Ia menghela napas, ekspresinya dipenuhi keraguan. "Lo... nggak mau, ya?" tanyanya, suaranya terdengar ragu.
Aluna terkejut mendengar nada rapuh dalam suara Valeria. Ia tidak menyangka Valeria, yang ia pikir sempurna, bisa juga menunjukkan sisi rentan. Aluna menatap mata Valeria, dan di sana ia hanya menemukan ketulusan. Tidak ada kebencian, tidak ada paksaan. Hanya ada tawaran pertemanan yang tulus.
"Gue... gue mau, Valeria," jawab Aluna, suaranya bergetar. Hatinya dipenuhi rasa lega dan haru.
"Yaudah, nanti kita istirahat bareng ya. Nanti gue susul ke kelas lo. Dah, Aluna," kata Valeria sambil berjalan mundur. Ia melambaikan tangan, tersenyum lebar, lalu berbalik badan.
Tiba-tiba, ia menabrak seseorang kepalanya terbentur.
"Aw, sakit," keluh Valeria.
"Val? Kamu enggak apa-apa?" tanya Revan, suaranya terdengar khawatir. Ia menangkap lengan Valeria agar gadis itu tidak jatuh.
"Revan!" teriak Valeria, sedikit kesal. "Sakit!"
Revan melepaskan pegangannya, merasa bersalah. Ia melihat ke arah Aluna, yang masih berdiri di sana menatap mereka, lalu kembali menatap Valeria. "Maaf, aku enggak sengaja. Ngomong-ngomong, kalian berdua habis ngapain?"
Valeria melirik Aluna, lalu kembali menatap Revan. "Bukan apa-apa, kok. Bye, Revan," katanya cepat. Ia kemudian memberikan kode pada Aluna agar tidak menceritakan apa pun.
Valeria pun berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan Aluna dan Revan. Revan menatap punggungnya yang menjauh dengan ekspresi bingung. Ia lalu menoleh ke arah Aluna, yang masih berdiri mematung.
"Kok aneh, sih?" gumam Revan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kalian berdua ngapain?"
Aluna menunduk, tidak berani menatap Revan. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tahu Valeria telah memberinya kode untuk tidak bicara, tetapi ia juga tidak ingin berbohong kepada Revan.
"Aluna?" tanya Revan, menatap gadis itu dengan bingung.
"Ah, Van, gue duluan ke kelas ya. Bye!" kata Aluna, suaranya terdengar panik. Ia berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan Revan sendirian di koridor.
Revan masih berdiri di sana, otaknya berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, Kian dan Liam datang. Kian memegang pundak Revan, menyadarkannya dari lamunan.
"Lo kenapa, Van? Diam seperti patung," kata Kian.
"Iya, ada apa sih?" tanya Liam.
"Tadi... gue lihat Valeria sama Aluna," kata Revan, suaranya pelan dan penuh kebingungan.
Kian dan Liam saling pandang. "Terus kenapa?" tanya Kian, tidak mengerti.
"Mereka ngobrol. Pas gue samperin, Valeria kayak kaget. Dia langsung bilang enggak ada apa-apa, terus pergi buru-buru," jelas Revan. "Aluna juga, dia langsung kabur pas gue tanya."
"Loh, kok aneh?" tanya Liam. "Mereka kan musuhan."
"Itu dia," jawab Revan. "Gue enggak tahu kenapa, tapi kayaknya mereka lagi ngomongin sesuatu yang enggak boleh orang lain tahu."
Kian menghela napas. "Pasti ada sesuatu yang aneh. Fara enggak ada di sana, kan?"
"Enggak ada," jawab Revan. "Cuma mereka berdua. Dan Valeria ngasih kode ke Aluna biar dia enggak ngomong apa-apa."
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Ketiganya terdiam, mencoba mencerna situasi. Ini adalah misteri baru yang lebih rumit dari masalah mereka sebelumnya.
Bersambung.....