NovelToon NovelToon
Dijodohin Dengan Kepala Desa

Dijodohin Dengan Kepala Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cintamanis / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: komurolaa

Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[ BAB 20 ] Kesabaran yang Mengikat

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Maalik masuk ke kamar, tepat saat Olivia mengakhiri video call dengan Maminya.

“Ini... minum dulu susunya,” ucap Maalik lembut sambil menyodorkan segelas susu kedelai hangat.

Olivia bangun dengan malas, mengambil gelas itu, lalu meneguknya tanpa banyak bicara. Begitu habis, ia menyerahkan kembali gelasnya pada Maalik, kemudian kembali merebahkan tubuh ke ranjang. Maalik meletakkan gelas di nakas, lalu duduk di sisi ranjang, menatap istrinya dengan sabar.

“Kamu sudah selesai kan menstruasinya?” tanyanya pelan.

Olivia spontan menyipitkan mata, lalu duduk sambil mendekap dadanya. “Kenapa memangnya? Lo mau macem-macem sama gue?!” serunya ketus.

Maalik hanya terkekeh kecil dan menggeleng. “Bukan, Olivia. Setelah sholat Magrib, kita mengaji,” jelasnya lembut.

Olivia mengernyitkan kening. “Mengaji?”

“Iya. Setelah saya sholat Magrib di masjid, nanti saya ajari kamu mengaji.”

“Nggak mau!” Olivia langsung masuk ke dalam selimut, membungkus dirinya rapat-rapat.

“Kenapa nggak mau?” tanya Maalik, tetap sabar.

“Malessss, ihhh...” sahut Olivia, suaranya teredam dari balik selimut.

Maalik menarik napas panjang. “Mau saya yang ajarin, atau kamu lebih suka ikut di masjid, bareng anak-anak?”

Olivia mengintip dengan tatapan tajam. “Nggak mau dua-duanya.”

Maalik terdiam sejenak, mencoba mencari celah. Lalu ia berkata dengan nada penuh siasat, “Kalau kamu bisa tamat Iqro, nanti kita main ke rumah Mami sama Papi.”

Olivia langsung duduk dengan mata berbinar. “Beneran?!” tanyanya antusias.

Maalik tersenyum hangat. “Iya.”

“Kita tinggal di sana?” tanya Olivia, penuh harap.

“Tidak, Olivia. Kita hanya berkunjung,” jawab Maalik tenang.

Wajah Olivia kembali meredup. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan menyandarkan diri dengan malas. “Yahhh... nanti lo pulang sendiri ke sini, gue tinggal di Jakarta aja.”

Maalik menggeleng sambil menatapnya lembut. “Tidak. Kamu ikut saya pulang, Olivia.”

Olivia mendengus, lalu menarik selimut sampai menutupi kepalanya. “Tapi gue mau tinggal di Jakartaaa...” rengeknya, suaranya samar dari balik selimut.

Maalik perlahan mencoba membuka selimut itu. “Olivia... lihat saya dulu,” pintanya lembut.

“Nggak mau! Nggak mauuu! Nggak mauuuu!” teriak Olivia keras, membuat selimutnya semakin rapat.

“Olivia Yvaine Hadikusuma...” panggil Maalik, kali ini dengan suara tegas tapi tetap penuh kelembutan.

Begitu mendengar nama lengkapnya disebut, Olivia spontan menurunkan selimutnya. Entah kenapa, setiap kali Maalik memanggil dengan nama lengkapnya, ada rasa yang membuatnya tak kuasa melawan. Bukan takut... tapi lebih pada dorongan halus yang membuatnya merasa harus menuruti.

Maalik tersenyum lembut melihat istrinya akhirnya menampakkan wajah. Ia lalu menggenggam tangan Olivia dengan hati-hati.

“Dengarkan saya, Olivia...” ucapnya pelan, matanya menatap dalam. “Saya tahu ini semua terasa berat buat kamu. Saya tahu betapa sulitnya beradaptasi di tempat yang jauh berbeda dengan dunia kamu dulu. Tapi kamu tidak sendirian. Saya ada di sini. Saya tidak akan biarkan kamu menanggung semuanya sendirian. Saya akan menemani, membimbing, dan berusaha semampu saya supaya kamu bisa merasa nyaman.”

Olivia menatapnya dengan mata yang mulai bergetar, namun tetap diam.

Maalik mengusap lembut punggung tangannya. “Kalau nanti kamu bisa tamat Iqro, saya janji akan ajak kamu ke Jakarta, mengunjungi Mami, Papi dan Eyang. Tapi paling lama empat hari saja. Setelah itu, kita pulang lagi ke sini. Karena kamu... sekarang sudah menjadi tanggung jawab saya, Olivia. Saya sudah berjanji pada Papi kamu, sudah mengambil alih tanggung jawabnya. Kamu sekarang prioritas dalam hidup saya.”

Suara Maalik merendah, namun penuh ketegasan. “Saya tahu hati kamu masih berat menerima perjodohan ini. Tapi dari awal, jauh sebelum kita bertemu, saya sudah meniatkan hati untuk mencintai kamu dengan sepenuh jiwa. Sejak ijab qabul di depan Papi kamu, saya sudah menyerahkan seluruh hidup saya untuk kamu. Bukan sebagian, bukan setengah, bukan serpihan... tapi seluruhnya. Apa pun yang saya punya, apa pun yang saya bisa, semuanya sudah saya serahkan untuk kamu, Olivia.”

Tatapan Maalik begitu dalam, seolah menembus dinding hati Olivia yang keras. Ada ketulusan yang tak bisa ia sangkal, meski bibirnya tetap cemberut.

Olivia terdiam. Kata-kata Maalik bergema di telinganya, masuk ke relung hati yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Hatinya yang keras seperti dinding batu, kini terasa retak, meski ia berusaha keras menampakkan wajah tak peduli.

Matanya bergetar, ada sesuatu yang hangat mulai menggenang, tapi buru-buru ia menoleh ke arah lain. “Lo ngomong gitu kayak gue gampang luluh aja...” gumamnya lirih, berusaha menutupi getaran suaranya.

Maalik tidak tersinggung. Ia justru tersenyum tipis, jemarinya masih menggenggam tangan Olivia dengan penuh kesabaran. “Saya nggak ingin kamu luluh sekarang, Olivia. Saya hanya ingin kamu tahu... bahwa kamu nggak sendirian di sini. Ada saya yang akan jagain kamu.”

Hening menyelimuti kamar. Hanya terdengar detak jam dinding dan helaan napas kecil Olivia yang tersengal karena menahan tangis.

Perlahan, Olivia menunduk. Ia tidak berani menatap Maalik, takut jika pandangannya bertemu mata itu, semua topeng keras kepalanya akan runtuh. “Gue... gue masih pengen pulang ke Jakarta...” bisiknya, hampir tak terdengar.

Maalik mengangguk pelan. “Saya tahu. Dan suatu hari nanti, kita pasti ke sana lagi. Tapi untuk sekarang, izinkan saya mendampingi kamu di sini. Percayalah, Olivia, kamu akan baik-baik saja.”

Sebuah isakan kecil lolos dari bibir Olivia. Ia buru-buru menarik selimut, menutupi wajahnya agar Maalik tidak melihat air mata yang mulai jatuh. “Bodo amat... gue tetep nggak mau ngaji...” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha terdengar keras kepala.

Maalik hanya tersenyum, meski hatinya ikut perih melihat istrinya yang masih berusaha menolak, padahal ia tahu air mata itu keluar bukan karena benci, melainkan karena hati yang bingung. Ia mengusap pelan kepala Olivia di balik selimut, lalu berbisik lembut, “Nggak apa-apa... nanti kalau kamu siap, kita mulai pelan-pelan.”

Olivia menggigit bibirnya dari balik selimut. Hatinya berdesir, entah karena kelembutan suara itu, atau karena genggaman tangan Maalik yang seakan menyalurkan kehangatan.

Ia ingin marah, ingin tetap keras kepala. Tapi entah kenapa, justru yang terasa hanyalah detak jantungnya sendiri yang semakin tak karuan.

Maalik tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia duduk tenang di sisi ranjang, memandangi istrinya yang masih bersembunyi di balik selimut. Dalam hati, ia hanya berdoa semoga kesabaran selalu menyertainya.

Perlahan, Maalik bersenandung lirih, melafalkan potongan ayat pendek yang sering ia baca untuk menenangkan hati. Suaranya rendah, lembut, dan penuh ketulusan.

“Bismillahirrahmanirrahim... Alam nashrah laka shadrak...”

Suara itu mengalun pelan, memenuhi ruang kamar yang hening. Olivia yang tadinya masih terisak, tiba-tiba terdiam. Hatinya bergetar, ada rasa teduh yang menyelinap, meski ia berusaha keras menolak untuk menunjukkannya.

Ia menutup matanya rapat-rapat di balik selimut, seakan ingin menghalau rasa damai yang perlahan datang. Tapi ayat demi ayat yang keluar dari bibir Maalik justru terdengar semakin indah, menembus dinding hatinya yang keras.

Maalik berhenti sejenak, lalu mengusap lembut puncak kepala istrinya dari luar selimut. “Ayat ini artinya... Allah akan selalu lapangkan dada hamba-Nya. Saya ingin kamu tahu, Olivia... kamu nggak akan sendirian. Ada saya, ada doa, dan ada Allah yang jaga kita.”

Air mata Olivia kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibirnya, menahan suara agar tidak terdengar. Tapi dada kecilnya naik turun, menandakan betapa ia sedang berperang dengan perasaannya sendiri.

Maalik tersenyum samar melihat gelagat istrinya. Ia tidak ingin memaksa, hanya berbisik lembut, “Istirahatlah. Kalau hari ini kamu belum siap, besok kita mulai lagi. Pelan-pelan... bersama-sama.”

Olivia tidak menjawab. Namun untuk pertama kalinya sejak pindah ke rumah itu, ia tertidur dengan hati yang lebih tenang—meski masih dengan air mata di pipinya.

Dan malam itu, Maalik menyadari satu hal: doa dan kelembutan lebih kuat daripada seribu kata.

1
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
komurolaa: terimakasih kak💗
total 1 replies
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
Hoa xương rồng
Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!
komurolaa: terimalasih kak
total 1 replies
Dani M04 <3
Menggugah emosiku.
komurolaa: terimakasih sudah mampir kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!