Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Rani berdiri terpaku di tengah ruangan. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal, dan sorot matanya jelas menyimpan amarah yang bergejolak. Senyum sinis yang tadi ia pamerkan kini hilang sama sekali, digantikan oleh wajah dingin dan penuh kebencian.
Aruna bisa merasakan hawa asing yang menusuk kulitnya ketika tatapan Rani menancap tajam ke arahnya. Jantungnya kembali berdebar tak beraturan, seakan tubuhnya ingin mengecil agar tidak terlalu terlihat. Ia mencoba menunduk lagi, tapi rasa tertekan itu tetap terasa.
“Baiklah, Tante,” ujar Rani akhirnya dengan suara bergetar menahan emosi. “Saya akan pergi. Tapi jangan kira semua ini sudah selesai.”
Kata-kata itu membuat suasana semakin dingin. Arkan melangkah maju, berdiri setengah melindungi Aruna dengan tubuhnya. “Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, Rani. Sekali saja kau mencoba mengganggu Aruna, aku tidak akan segan melakukan sesuatu yang akan kau sesali.”
Tatapan Rani semakin menusuk, kini benar-benar terfokus hanya pada Aruna. Mata itu penuh dengan kebencian, seolah menorehkan ancaman yang tidak terucap. Senyum tipis kembali muncul di bibirnya—senyum yang tidak lagi manis, melainkan penuh arti tersembunyi.
Aruna menelan ludahnya dengan susah payah. Hatinya seakan terhimpit, tapi ia tidak bisa mengalihkan pandangan meski hanya sekilas.
“Selamat menikmati kebahagiaanmu… selagi masih bisa,” ucap Rani lirih, nyaris seperti bisikan beracun.
Setelah itu, ia berbalik dengan angkuh, melangkah menuju pintu depan. Suara hak sepatunya memantul di lantai marmer, setiap dentumannya seakan meninggalkan jejak kemarahan.
Pintu rumah terbuka dan tertutup dengan keras. Suara itu menggema di seluruh ruangan, menandai keluarnya Rani dari rumah keluarga Dirgantara. Namun hawa tegang yang ia tinggalkan masih terasa kental, menyelimuti udara dan membuat semua orang terdiam.
Aruna duduk kaku, napasnya pendek-pendek. Jemarinya yang masih saling meremas terasa dingin, dan matanya basah meski ia berusaha keras menahannya. Tatapan tajam Rani barusan masih terbayang jelas di benaknya, membuat tubuhnya sedikit bergetar.
Ibu Arkan mendekat, lalu duduk di samping Aruna. Wanita itu menepuk pelan punggung tangannya, berusaha menenangkan. “Jangan takut, Nak. Kamu tidak sendirian. Ada kami di sini. Biarkan dia dengan kebenciannya, dia tidak akan bisa menyentuhmu.”
Aruna menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba tersenyum, tapi bibirnya bergetar. “M-maaf, Bu… aku cuma bisa diam. Aku… nggak tahu harus ngomong apa.”
“Diammu bukan kelemahan,” sahut Ibu Arkan tegas namun hangat. “Justru itu menunjukkan kalau kamu tahu cara menjaga diri. Jangan pernah merasa bersalah.”
Arkan yang sejak tadi berdiri dengan rahang mengeras, akhirnya menghela napas panjang. Ia menatap Aruna lama, seakan ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. “Mulai sekarang, kalau ada apa-apa… jangan pernah menanggungnya sendiri. Aku yang akan menghadapi.”
Aruna menunduk lagi, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena perasaannya bercampur aduk. Ada rasa hangat yang merayap di hatinya, meski bayangan tatapan Rani barusan masih menghantui.
Ruangan masih terasa hening beberapa saat setelah pintu tertutup rapat. Hanya suara napas masing-masing yang terdengar, berat dan tidak beraturan.
Ibu Arkan akhirnya menghela napas panjang, lalu menepuk pelan bahu Aruna. “Sudah, Nak. Jangan dipikirkan lagi. Lebih baik kita lanjutkan sarapan. Tidak baik membiarkan suasana jadi kacau gara-gara orang yang tidak tahu diri.”
Aruna menatap sekilas ke arah beliau, lalu mengangguk pelan. “I-iya, Bu…” suaranya lirih, nyaris tenggelam.
Arkan masih berdiri dengan rahang tegang, tapi ibunya melirik seolah memberi isyarat. “Arkan, duduklah. Jangan biarkan Aruna merasa semakin canggung. Dia butuh rasa aman, bukan amarah yang tidak reda.”
Mau tak mau, Arkan menurut. Ia kembali ke kursinya, meski sorot matanya masih gelap. Sesekali ia melirik Aruna yang menunduk dalam, seakan ingin memastikan gadis itu tetap bisa menenangkan dirinya.
Sarapan pun dilanjutkan, meski tanpa keceriaan yang tadi sempat ada. Sendok dan garpu beradu pelan dengan piring, mengisi kekosongan percakapan. Aruna mencoba menyuapkan makanan ke mulutnya, tapi rasanya hambar. Meski begitu, ia tetap berusaha menghabiskannya agar tidak mengecewakan ibu Arkan.
Setelah beberapa saat, Ibu Arkan meletakkan sendoknya dengan tegas. “Aruna, Nak, habiskan saja secukupnya. Jangan dipaksakan kalau sudah kenyang. Setelah ini, biar Ibu yang mengurus semua persiapan. Kamu tidak perlu khawatir lagi, semua akan berjalan baik-baik saja.”
Aruna terbelalak kecil. “Tapi, Bu… aku takut malah merepotkan—”
“Tidak ada yang namanya merepotkan,” potong Ibu Arkan dengan lembut tapi mantap. “Kamu calon menantu Ibu, sebentar lagi akan jadi bagian keluarga ini. Sudah menjadi tugas Ibu untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu tenang saja.”
Aruna terdiam, matanya kembali memanas. Ada rasa hangat sekaligus lega yang merayap dalam hatinya, membuatnya ingin menangis lagi. Ia hanya mampu menunduk dan mengangguk perlahan.
Arkan menatap ibunya sekilas, lalu bergeser sedikit mendekat ke Aruna. “Dengar kata Ibu. Kamu tidak perlu merasa sendirian.” Suaranya terdengar lebih tenang, meski masih ada sisa amarah yang belum padam.
Tak lama setelah itu, Ibu Arkan berdiri dan merapikan kerudungnya. “Baiklah, sarapan sudah cukup. Sekarang biar Ibu antar kamu pulang, Aruna. Kamu istirahat saja di rumah. Semua urusan persiapan biar Ibu yang atur.”
Aruna spontan menoleh, agak kaget. “Lho, Bu… masa Ibu sendiri yang repot-repot ngantar saya? Saya bisa—”
“Tugas Ibu melindungi kamu, Nak,” jawab Ibu Arkan lembut sambil tersenyum. “Setelah kejadian barusan, Ibu tidak mau kamu merasa takut sendirian. Anggap saja ini bentuk tanggung jawab seorang ibu.”
Aruna benar-benar tak kuasa berkata apa-apa lagi. Air matanya nyaris jatuh, namun ia segera menyekanya diam-diam sebelum terlihat. “Terima kasih, Bu…” bisiknya lirih.
Arkan bangkit, seolah hendak ikut serta, tapi ibunya menoleh padanya. “Kamu di rumah saja, Kan. Ada banyak hal yang harus kamu bicarakan dengan Ayahmu. Biar Ibu yang urus Aruna dulu.”
Arkan sempat ingin membantah, tapi sorot tegas ibunya membuatnya hanya bisa mengangguk. Ia lalu menatap Aruna lama, seakan menitipkan sesuatu dalam tatapan itu, sebelum akhirnya duduk kembali.
Dengan hati-hati, Ibu Arkan menggandeng tangan Aruna keluar dari ruang makan, meninggalkan Arkan dan ayahnya di belakang. Aruna masih gemetar kecil, tapi genggaman hangat ibu Arkan membuat langkahnya terasa lebih ringan.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Aruna merasa benar-benar dianggap keluarga.