Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu tampan pagi hari
Malam itu cukup tenang. Angin hanya berhembus pelan, menyentuh lembut tirai tipis yang menutupi sebagian pintu balkon kamar Camelia. Di sana, gadis itu duduk seorang diri, bersandar pada kursi kayu berlapis bantal, ditemani cahaya lampu temaram dan sebatang rokok kretek yang menyala pelan di sela jarinya.
Asap mengepul, mengambang bersama pikirannya yang masih sibuk dengan kejadian hari ini, terutama pertemuannya dengan Sena. Sementara itu, ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuat sudut bibirnya tertarik kecil.
Gray.
Camelia mengangkat telepon itu ke telinga. “Halo?”
“Malika, kamu lagi apa?” suara Gray terdengar renyah di seberang,
“Duduk di balkon, sambil merokok,” jawab Camelia.
“Wah, kebiasaan buruk,” canda Gray.
Camelia terkekeh pelan. “Ya... semacam pelarian. Kamu gimana? Nggak sibuk?”
“Baru selesai aktivitas. Sialnya, ini sinyal lemot. Mau nonton padahal,” keluh Gray, membuat Camelia tertawa kecil.
Sesaat, percakapan mereka dipenuhi dengan basa-basi ringan, tentang cuaca, aktivitas dan kebiasaan tidur larut. Namun seperti biasa, ujung-ujungnya tetap berlabuh pada topik yang lebih dalam.
“Malika, boleh aku cerita sesuatu?” suara Gray berubah sedikit pelan, seperti ragu.
Camelia mengangguk, walau Gray jelas tak bisa melihatnya. “Boleh. Aku juga sebenarnya pengin cerita.”
“Kamu dulu deh,” kata Gray cepat.
Camelia terdiam sejenak, menahan hisapan rokok di bibirnya sebelum akhirnya menghembuskan asap perlahan. “Ada seorang pria,” katanya pelan.
“Hm?” sahut Gray, berusaha terdengar netral.
“Dia bilang kalau dia jatuh cinta. Tapi, bukan cinta biasa. Cinta yang mungkin, buat dia berani melangkah sejauh ini.”
“Wow! Siapa? Dia temanmu?” Gray tertawa kecil.
Camelia tak langsung menjawab. “Entahlah. Dia itu... orang yang sebenarnya nggak seharusnya bicara seperti itu padaku.”
“Oh...” Gray menggantungkan suaranya. “Apa kamu suka juga sama dia?”
Camelia menggeleng, lagi-lagi lupa kalau lawan bicaranya tidak bisa melihat. “Aku bingung. Aku pikir aku kagum, tapi perasaanku nggak semudah itu dan... cara dia mengungkapkan perasaannya bikin aku jengah.”
Giliran Gray yang diam sesaat. Lalu dengan suara serak menahan sesuatu, ia berkata, “Menarik. Soalnya aku juga lagi suka sama seseorang, kan?”
“Oh, iya?” sahut Camelia cepat.
“Hm… Tapi dia juga... nggak tahu atau mungkin pura-pura nggak tahu. Dia cuek, tapi manis. Diam, tapi peka dan setiap kali aku dengar suaranya atau lihat caranya memperhatikan hal-hal kecil, aku tahu aku... makin dalam.”
Camelia terdiam, dadanya terasa sesak sesaat. Mereka sama-sama diam untuk beberapa saat. Hanya suara rokok yang dibakar kembali terdengar samar. Lalu Camelia berkata, “Kalau kamu yakin, mungkin kamu harus perjuangin dia.”
“Kalau dia juga lagi bingung gimana?” tanya Gray.
“Kalau kamu sabar, dia pasti sadar.” balas Camelia singkat, seolah menasehati dirinya sendiri.
“Kalau kamu yang ada di posisiku, kamu bakal terus berusaha atau berhenti, Malika?” Gray terdengar kembali setelah keheningan yang cukup panjang.
Camelia mengerjapkan mata, menatap puntung rokok di asbaknya. Sisa-sisa bara masih menyala samar. “Aku nggak tahu, Gray. Tapi kalau kamu benar-benar yakin sama perasaanmu… jangan buru-buru pergi. Kadang orang yang kita suka itu cuma butuh waktu buat ngerti.”
Gray terkekeh, tapi bukan tawa bahagia. Lebih terdengar seperti seseorang yang sedang menelan kecewa. “Kamu tahu, Malika… kayaknya dia itu mirip kamu, sifatnya.”
Camelia membeku, angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menyusup lewat celah-celah pakaian longgar yang ia kenakan.
“Aku nggak tahu sih... dia kayaknya terlalu tinggi buat aku. Pintar, cantik, dan... kayaknya dia nggak pernah ngeliat aku lebih dari teman,” lanjut Gray..
“Siapa?” tanya Camelia, berusaha menyembunyikan gejolak kecil yang mulai muncul dalam dadanya.
“Nggak penting, kamu nggak kenal juga,” jawab Gray cepat, seolah tidak ingin Camelia menduga terlalu jauh. “Aku cuma ingin cerita aja. Kadang, kalau kita suka sama orang tapi nggak bisa bilang, rasanya sesak, ya.”
Camelia hanya menanggapi dengan gumaman pelan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Rasa asing itu muncul pelan-pelan, bukan marah, bukan kecewa, tapi semacam sesak. Ia tahu Gray tidak salah. Tapi tetap saja, perasaannya tidak bisa dikendalikan secepat itu.
“Kamu yakin nggak bisa bilang?” tanyanya, mencoba tetap terlihat tenang.
Gray tertawa lirih. “Nggak tahu, mungkin nanti. Sekarang belum. Aku cuma takut dia malah menjauh.”
“Kalau memang seberharga itu, kenapa harus takut?” balas Camelia, kalimat itu nyaris seperti menguji dirinya sendiri.
“Hm, karena nggak semua hal harus dimiliki, Mal. Kadang, kita cuma cukup tahu perasaan itu ada, dan biarin tetap tumbuh diam-diam. Kayak sekarang.”
Camelia terdiam.
“Kalau kamu sendiri, Mal,” tanya Gray, tiba-tiba membalik arah pembicaraan. “Lagi suka sama seseorang?”
Camelia menunduk. “Aku... juga lagi bingung,” jawabnya akhirnya. “Ada banyak hal yang belum selesai di kepala aku. Banyak luka yang belum benar-benar kering.”
Gray tak menyela. Ia mendengar, seperti biasanya.
“Aku takut kalau terlalu terbuka, aku malah menyakiti orang lain. Jadi untuk sekarang, aku cuma pengen pelan-pelan.”
“Pelan-pelan nggak apa-apa,” sahut Gray lembut. “Asal kamu tetap jalan.”
Camelia mengangguk kecil meski tak terlihat. “Thanks, Gray.”
“Always.” balas Gray singkat, hangat.
Malam pun kembali hening. Tapi bagi Camelia, suara Gray masih menggema dan rasa yang ia pendam, semakin terasa berat untuk diredam. Mungkin ini cemburu, mungkin juga hanya takut kehilangan. Ia sendiri belum tahu pasti.
......................
Pagi mulai menyapa, dan seperti biasa, Camelia bersiap menjalani rutinitasnya—berangkat ke kampus. Udara masih terasa sejuk, matahari baru menyembul malu-malu dari balik tirai langit.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarnya diketuk. Tidak ada panggilan nama seperti biasanya, dan itu membuat kening Camelia mengernyit. Biasanya, jika itu sang maid, suara riuh sudah lebih dulu terdengar.
"Non Camelia, Anda ditunggu sarapan oleh Tuan dan Nyonya!"
Tapi kali ini, hening. Bukan suara ibu dan bukan juga suara ayah. Dengan perasaan was-was, Camelia membalikkan tubuh. Ia merapikan cardigan merah muda yang sudah menempel di tubuhnya sejak tadi, lalu melangkah pelan ke arah pintu.
Krek!
Begitu daun pintu dibuka, matanya langsung membulat. Bahkan nyaris lepas dari tempatnya.
“Pak Sena?!” serunya refleks, hampir seperti teriakan. Seketika itu juga, ia berlari menuju pagar pembatas tangga, menengok ke bawah sambil menatap ke sekitar rumah.
“Mama! Mama!” panggilnya panik, berharap ibunya muncul entah dari mana.
Sementara itu, Sena, yang berdiri tenang di balik pintu kamar dengan kedua tangan membawa paper bag hitam hanya tersenyum kecil, menahan geli melihat reaksi Camelia yang begitu dramatis.
“Mel, Mama kamu tadi udah berangkat. Pasti kamu kaget aku bisa ada di sini. Maaf... aku lancang.” ujarnya dengan nada tenang.
Camelia membalikkan tubuh cepat, menatap pria itu dengan kesal. “Kalau udah tahu lancang, kenapa masih datang?!” sungutnya ketus.
Alih-alih merasa bersalah, Sena justru menyodorkan paperbag ke arahnya.
“Ini... aku mau balikin jaketmu,” katanya singkat.
Camelia menyipitkan mata. “Jaket apa?” tanyanya heran.
Sena tidak langsung menjawab. Ia hanya menggoyangkan paperbag itu pelan di depan wajah Camelia, seolah memancing ingatannya. Sementara itu, matanya tak lepas menatap gadis yang kini berdiri di ambang pintu, wajah kesalnya malah semakin membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
Andai saja kamu milikku, Mel... pipimu itu pasti udah aku cium sejak tadi, batin Sena sembarangan, senyum kecilnya mengembang tanpa sadar.
Camelia menyipitkan mata, mencoba mengingat momen yang dimaksud Sena. Lalu, dalam sekejap, memori itu muncul. Saat ia buru-buru meminta maid mengambilkan jaket Sena yang sempat ia bawa, karena ia pikir itu jaket Sena yang tertinggal.
Astaga. Ini bukan jaket dia, ini jaketku sendiri! Wajah Camelia langsung memanas. Kali ini bukan karena terkejut, melainkan karena malu luar biasa manakala ia membuka paperbag tersebut.
“A-aku... waktu itu... aku kira itu jaket mu, Pak. Makanya aku langsung kasih ke kamu,” ucapnya terbata, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya.
Sena tersenyum kecil, matanya penuh binar—entah kenapa, wajah malu Camelia terasa begitu menyenangkan dilihat. “Iya, aku sadar kok waktu nerima. Tapi tetap aku bawa, soalnya... ya, kamu yang kasih.”
“Bukan kasih, salah kasih,” ralat Camelia cepat, makin jengkel karena pria itu justru tampak menikmati kekacauan ini.
“Aku anggap hadiah aja, boleh?”
“Pak Sena!” seru Camelia setengah berteriak.
“Mas Sena, Mel,” balas Sena.
Camelia tidak menghiraukannya, kemudian tangannya terangkat, menunjuk ke arah tangga. “Turun, sekarang. Aku nggak mau ada orang lihat ada dosen berdiri di depan kamarku pagi-pagi begini,”
Sena tertawa, tidak terburu-buru menuruti permintaan itu.
“Turun! Atau saya lempar sandal!”
Sena mengangkat kedua tangan, akhirnya mengalah. “Baiklah, baiklah. Aku turun.” ia pun melangkah turun dengan langkah ringan. Sementara Camelia, ia masih berdiri di ambang pintu dengan napas naik-turun.
Brengsek! Kenapa orang itu bisa seimut dan semenyebalkan itu di saat bersamaan?! umpatnya dalam hati.
Ia menutup pintu cepat-cepat, bersandar di baliknya dengan wajah memerah. Detik itu juga ia bersumpah, besok-besok kalau mau balikin barang, akan dia cek dulu sampai tiga kali. Sumpah ini bikin malu, sialan!