Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?
Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.
Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!
Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IILA 19
Cahaya putih menyusup perlahan ke kelopak matanya. Seolah dipanggil dari dunia yang gelap, Gustro mengerjapkan mata pelan-pelan. Pandangannya masih buram. Tubuhnya terasa berat, seperti diikat oleh beban tak kasat mata. Aroma antiseptik menusuk hidungnya.
Beberapa detik kemudian, siluet seseorang muncul dalam fokus pandangnya.
“Tuan muda… Anda sadar?” Suara Andrew terdengar serak, namun penuh kelegaan.
Gustro memalingkan kepala pelan. Ia melihat Andrew berdiri di sisinya, mata pria itu tampak sembab, seolah dua malam tanpa tidur telah menggerogoti tenaganya.
“Saya sangat khawatir…”
“Sudah dua hari ini… Anda tidak sadarkan diri.”
Dua hari? Kata-kata itu bergema samar di kepala Gustro.
“Selama itu?” Suara Gustro lemah. Tenggorokannya terasa kering seperti padang gurun yang tak tersentuh hujan.
Andrew mengangguk. Senyum lega terlukis di wajahnya.
“Benar. Dokter bilang Anda mengalami luka dalam dan kehilangan banyak darah… Untunglah, Tuhan masih mengizinkan Anda membuka mata.”
Gustro terdiam. Ia mengalihkan pandangan, menyapu seisi ruang IGD dengan mata yang masih lesu.
Dinding putih. Mesin pemantau detak jantung. Infus yang mengalirkan cairan kehidupan ke tubuhnya.
Namun ada satu hal yang ia cari… satu sosok yang sejak tadi mengisi pikirannya, bahkan ketika ia berada di ambang kesadaran.
“Di mana… Wislay?” Suaranya serak, tapi jelas.
Andrew tersenyum samar. “Tentu saja dia di tempat kerja saat ini. Tapi selama dua hari Anda tidak sadar, dialah yang terus merawat Anda. Bahkan semalam, dia begadang di kursi itu—”
Andrew menunjuk kursi plastik di samping ranjang.
“Dia menyeka keringat Anda. Mengusap rambut Anda yang lengket oleh darah. Bahkan menangis diam-diam ketika suhu tubuh Anda turun drastis.”
Gustro memejamkan mata sejenak. Bukan karena lelah, tapi karena dadanya sesak.
Ada sesuatu yang menyelinap dalam relung hatinya. Sesuatu yang hangat, namun perih.
Seketika, wajah Wislay melintas di benaknya.
Senyumnya. Suaranya. Dan pelukannya… di malam hujan itu.
Sebuah senyuman tipis terukir di bibir Gustro. Tersenyum dalam keadaan tubuh masih lemah, tetapi hatinya bagaikan menemukan tempat untuk pulang.
“Entah kenapa…” batinnya. “Aku... tiba-tiba sangat merindukannya.”
Ia membuka mata dan menatap langit-langit. Meski tubuhnya remuk, namun hatinya tenang. Karena ia tahu, di dunia yang keras dan gelap ini… Masih ada seseorang yang dengan tulus menjaga dan menangisinya tanpa pamrih.
Dan orang itu adalah Wislay.
...****************...
...****************...
Di sudut toko yang remang-remang diterangi cahaya neon, Wislay duduk di balik meja kasir. Jemarinya yang biasanya lincah menata buku kini hanya menggulir layar ponsel, tanpa tujuan. Sorot matanya kosong, sesekali menatap keluar jendela, ke arah jalanan yang dilalui banyak orang, seolah berharap ada kabar yang datang dari angin.
Hari itu terasa berjalan lambat. Bahkan detak jam dinding pun seolah mengolok-olok waktu yang enggan berlari.
“Bagaimana keadaanmu, Gustro…”
“Sudahkah kau sadar…?” Wislay membatin, menggigit bibir bawahnya pelan.
Ia mencoba mengalihkan fokusnya dengan membereskan tumpukan komik, tetapi pikirannya tetap kembali pada sosok pemuda itu. Seorang pemuda yang dulu begitu kuat dan dingin… kini terbaring lemah tak berdaya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
Tanpa berpikir panjang, Wislay langsung mengangkatnya.
“Halo?”
Suara di seberang terdengar tenang tapi hangat, dikenalnya begitu familiar.
“Nona Wislay, ini saya… Andrew.”
Mata Wislay membesar. Ia seketika berdiri dari kursinya, nyaris menjatuhkan pensil yang sedang ia genggam.
“Andrew?! Ada apa? Gustro… apa dia…?”
Suara Andrew terdengar sedikit lebih lega kali ini.
“Tuan muda sudah siuman. Ia baru saja membuka mata dan keadaannya stabil. Tadi… hal pertama yang ia tanyakan adalah Anda.”
Wislay mematung. Matanya melebar, bibirnya gemetar. Seketika, air mata menggenang di pelupuknya.
“Benarkah…?” gumamnya nyaris tak terdengar. “Syukurlah… syukurlah…”
Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan haru yang menyeruak deras di dada. Bahunya bergetar. Suara napasnya tercekat.
“Aku akan ke sana… selepas bekerja,” ucapnya dengan suara yang serak namun penuh tekad.
“Kami tunggu,” ujar Andrew, lalu menutup sambungan.
Begitu telepon terputus, Wislay menunduk.
Air matanya jatuh, membasahi ponselnya. Namun senyuman merekah di wajahnya.
“Dia sadar… dia masih hidup…”
“Terima kasih, Tuhan…”
Ia menatap ke langit-langit toko. Tak peduli pelanggan mulai berdatangan, ataupun waktu masih panjang hingga shift-nya selesai.
Satu hal yang pasti… hatinya kini tak lagi kosong.
Dan dalam benaknya hanya ada satu suara yang bergema: "Tunggu aku, Gustro… aku akan segera datang padamu."
...****************...
...****************...
Langit sore mulai berubah kelabu. Bayang-bayang senja menari di dinding kamar rumah sakit tempat Gustro dirawat. Ia tengah menyandarkan punggung di kepala ranjang, sebuah buku novel klasik terpegang di tangannya, namun matanya tidak benar-benar membaca. Entah kenapa, hatinya gelisah… seperti ada sesuatu yang akan datang.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dengan satu alis terangkat, ia menoleh ke arah sumber suara.
Andrew muncul di ambang pintu dengan senyum kecil yang tak bisa ditafsirkan.
“Permisi, Tuan Muda… sepertinya ada seseorang yang sangat tak sabar melihat Anda,” ujarnya sambil memberi jalan.
Dan seperti film drama yang paling mendayu sekalipun, seseorang menerobos masuk dengan langkah cepat.
“GUSTRO!!”
Wislay.
Rambutnya sedikit berantakan karena terburu-buru, matanya basah, dan tangan kecilnya langsung memeluk tubuh Gustro erat-erat, hingga buku di tangannya terjatuh ke lantai. Air mata Wislay mengalir begitu saja saat ia menangis di pelukan pemuda itu.
“Dasar… ceroboh…” ucapnya sambil terisak dan memukul pelan punggung Gustro. “Kenapa selalu membuatku khawatir?”
Gustro membalas pelukan itu. Tangannya melingkar di punggung gadis mungil itu dengan lembut dan hati-hati, seperti sedang memeluk sesuatu yang sangat rapuh dan berharga.
“Dia sangat... Kecil… dan kurus,” batinnya sambil mengeratkan pelukan. Aroma tubuh Wisla begitu manis—seperti vanila bercampur lavender, menenangkan namun membuat jantungnya degup tak karuan.
Andrew yang menyaksikan momen mengharukan itu mengangkat kedua tangan seolah berkata, “baiklah, saya pergi,” lalu meninggalkan ruangan dengan senyum tipis penuh pengertian.
Setelah beberapa saat, Wislay melepaskan pelukannya. Matanya sembab, tetapi sorotnya begitu bersinar. Ia memegang kedua bahu Gustro dan menatap lurus ke dalam mata pemuda itu.
“Lain kali…” katanya dengan suara tegas tetapi lembut, “kau tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan nyawamu lagi.”
“Karena itulah, Gustro…”
“Kau tidak boleh lepas dari pandanganku.”
“Kau itu kan… berharga. Makanya— aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Gustro membeku. Jantungnya seperti diledakkan kembang api. Mukanya memerah seperti tomat rebus.
“Apakah dia… melamarku?!”
Gustro meneguk ludah, lalu menjawab terbata dengan mata melirik kanan kiri seperti mencari jalan keluar.
“Ki-kita kan masih muda… untuk apa buru-buru menikah…”
“Hah?” Wislay mengerutkan dahi, “Kau bilang apa?”
“Ah?! Ngg—nggak ada apa-apa!” Gustro panik, lalu langsung menangkup kedua pipi Wislay dan mendekatkan wajah mereka. Membuat ujung hidung keduanya, bersentuhan.
“Kalau benar kau ingin mengenalku lebih jauh…” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, “…baiklah. Aku mengizinkanmu.”
Ia menyorot dalam ke mata Wislay, suaranya semakin serius namun tetap hangat:
“Tapi, kau harus tahu satu hal.”
“Bahwa seekor kelinci yang sudah masuk dan terperangkap ke dalam sarang harimau…”
“Takkan bisa lepas begitu saja.”
Wislay tertegun. Matanya membulat, pikirannya mencoba mencerna—“aku kelincinya?” “dia harimaunya?” “atau ini sindiran karena aku imut?”
Gadis itu berkedip cepat.
“Eh? Aku… kelinci? Jadi aku imut, gitu?” katanya polos.
Gustro terkekeh. “Bukan itu maksudku…” katanya sambil tersenyum, lalu memandangi lagi mata gadis itu yang membuatnya ingin menatap selamanya.
Keduanya lalu diam. Sunyi yang tidak canggung—melainkan hangat. Tatapan mereka saling mengunci.
Hati yang sebelumnya dipenuhi luka, kini mulai terisi sesuatu yang baru. Kehangatan. Rasa nyaman. Dan detak yang saling menyesuaikan irama.
Dan untuk pertama kalinya, di ruang rumah sakit yang putih dan dingin itu… Hati dua insan saling mendekat, perlahan namun pasti.
~