Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — “Jarak yang Justru Membuat Dekat”
Penthouse SCBD yang megah itu kini terasa seperti museum yang sunyi dan berhantu. Sejak konfrontasi di ruang kerja pagi itu, Winter telah menarik garis pemisah yang lebih tegas daripada kontrak mana pun. Ia memerintahkan staf rumah tangga untuk memindahkan semua barang Darren kembali ke kamar tamu di ujung koridor. Pintu penghubung antar kamar mereka tidak hanya dikunci; Winter memerintahkan seorang tukang untuk memasang palang kayu dekoratif yang secara permanen menutup akses tersebut.
Namun, semakin besar usaha Winter untuk menjauh, semakin kuat bayang-bayang Darren menghantuinya.
Winter menghabiskan malam-malamnya dengan menatap dokumen investigasi yang kini ia simpan dalam brankas. Setiap kali ia melihat logo Alzona Group, ia teringat bahwa setiap sen kekayaannya dibangun di atas kehancuran keluarga Darren. Rasa bersalah itu mencekiknya, namun egonya menolak untuk menyerah. Ia marah karena Darren merahasiakannya, marah karena Darren membiarkannya menjadi "penjahat" dalam kisah cinta mereka sendiri.
Darren mematuhi perintahnya dengan ketenangan yang menyiksa. Ia tidak lagi mencoba masuk ke ruang kerja Winter. Ia tidak lagi membawakan apel hijau atau menyeduh teh Earl Grey di malam hari. Ia bergerak seperti hantu di dalam rumah, berangkat lebih pagi ke kantor Reigar dan pulang saat Winter sudah mengunci diri di kamar.
Keheningan ini justru lebih menyakitkan daripada pertengkaran mereka.
Di kantor, suasana tidak kalah tegang. Adrian merasa ada sesuatu yang berubah secara fundamental di antara kliennya. "Nona Winter, Tuan Reigar telah menyetujui semua klausul pelunasan hutang tanpa satu pun keberatan. Dia bahkan menyerahkan sisa saham pribadinya di Reigar Technologies sebagai jaminan tambahan untuk Alzona," lapor Adrian suatu sore.
Winter terdiam. Darren menyerahkan segalanya. Pria itu benar-benar sedang melucuti dirinya sendiri, membiarkan Winter mengambil apa pun yang ia inginkan seolah-olah itu adalah kompensasi atas rasa sakitnya.
"Kenapa dia melakukannya, Adrian?" tanya Winter, suaranya hampir tidak terdengar.
Adrian menghela napas. "Dia hanya bilang, 'Pastikan Winter mendapatkan apa yang dia rasa pantas dia dapatkan'."
Hati Winter berdenyut perih. Itu bukan tindakan seorang pengusaha yang kalah; itu adalah tindakan seorang pria yang sedang memberikan semua yang dia miliki kepada wanita yang dicintainya, bahkan jika wanita itu membencinya.
Malam itu, badai besar melanda Jakarta. Guntur menggelegar, mengguncang jendela kaca raksasa penthouse. Winter, yang memiliki trauma tersembunyi terhadap suara guntur sejak kecil—sesuatu yang hanya diketahui oleh mendiang ayahnya dan Darren—meringkuk di bawah selimutnya.
Biasanya, Darren akan tahu. Dulu di Tokyo, setiap kali badai datang, Darren akan duduk di samping tempat tidurnya, membacakan laporan bisnis dengan suara rendah yang menenangkan sampai Winter tertidur.
Sekarang, ada tembok kayu dan beton di antara mereka.
Winter gemetar saat kilat menyambar, menerangi kamarnya dengan cahaya putih yang mengerikan. Ia ingin berlari ke kamar tamu. Ia ingin mengetuk pintu Darren dan meminta maaf. Ia ingin menangis di pelukan pria itu dan bertanya kenapa dunia begitu kejam pada mereka. Namun, ia hanya diam, memeluk bantalnya erat-erat sampai kuku-kukunya memutih.
Di sisi lain tembok, di kamar tamu yang dingin, Darren berdiri di dekat jendela, menatap hujan yang menghantam kaca. Ia tahu Winter sedang ketakutan. Ia tahu wanita itu sedang meringkuk, mungkin sedang menggigit bibirnya agar tidak berteriak. Tangannya sudah berada di gagang pintu, siap untuk melanggar semua perintah Winter demi memastikan dia baik-baik saja.
Namun, Darren berhenti. Ia teringat tatapan penuh kebencian Winter saat ia mengusirnya. “Jangan sentuh aku. Kau memanipulasi hidupku!”
Darren menyandarkan dahinya di kaca jendela yang dingin. "Maafkan aku, Winter," bisiknya pada kegelapan.
Keesokan harinya, situasi semakin rumit dengan kehadiran Lysandra. Adik Winter itu datang tanpa diundang, membawa aura permusuhan yang kental.
"Aku tidak mengerti kenapa kau masih mempertahankannya di sini, Winter," ujar Lysandra sambil menyesap kopinya di ruang tengah. "Gosip di luar sana sudah mulai mereda. Kau sudah mendapatkan Reigar. Tendang dia sekarang sebelum dia melakukan sesuatu yang lebih buruk."
Winter menatap adiknya dengan lelah. "Ini urusan bisnis, Lysandra. Kau tidak mengerti."
"Bisnis?" Lysandra tertawa sinis. "Aku dengar dari orang-orang Ethan Wray bahwa Darren sebenarnya sedang merencanakan sesuatu di belakangmu. Mereka bilang Darren hanya pura-pura menyerahkan sahamnya untuk memancingmu melakukan kesalahan investasi besar."
Winter mengerutkan dahi. "Ethan Wray tidak bisa dipercaya."
"Mungkin. Tapi Darren lebih tidak bisa dipercaya lagi, kan? Dia sudah membohongimu sembilan tahun. Siapa yang tahu apa lagi yang dia sembunyikan?" Lysandra mencondongkan tubuh, suaranya berubah menjadi bisikan berbisa. "Kudengar dia masih berhubungan dengan beberapa investor gelap di Jepang. Dia ingin mengambil alih Alzona dari dalam, Winter. Dia ingin membalas dendam atas apa yang dilakukan Ayah padanya."
Winter tertegun. Logikanya mengatakan Lysandra mungkin hanya ingin memicu drama, tetapi rasa tidak aman yang ditanamkan oleh dokumen investigasi itu membuatnya ragu. Apakah Darren benar-benar mencintainya, ataukah pengakuannya hanyalah bagian dari rencana balas dendam yang lebih rumit? Apakah Darren sedang memainkan long game untuk menghancurkan Alzona sebagai pembalasan atas perlakuan ayahnya?
Malam itu, Winter tidak tahan lagi. Ia butuh jawaban.
Ia berjalan menuju kamar tamu dengan langkah yang tidak pasti. Ia tidak mengetuk. Ia langsung membuka pintu—yang ternyata tidak dikunci.
Kamar itu gelap, hanya diterangi oleh lampu kota dari luar jendela. Darren sedang duduk di kursi dekat jendela, sebuah botol wiski yang setengah kosong ada di meja di sampingnya. Ia tidak menoleh saat Winter masuk.
"Kau ingin aku pergi sekarang?" tanya Darren, suaranya parau dan dingin.
"Benarkah kau berencana menghancurkan Alzona?" Winter bertanya langsung, suaranya bergetar.
Darren akhirnya menoleh. Matanya terlihat sangat lelah, seolah beban sembilan tahun terakhir akhirnya meremukkannya. Ia berdiri, berjalan mendekati Winter sampai mereka hanya terpisah beberapa inci. Aroma wiski dan kesedihan menguar darinya.
"Setelah semua yang kuberikan padamu... kau masih menanyakan itu?" Darren tertawa pendek, tawa yang penuh dengan kepahitan. "Aku menyerahkan sahamku, aku menyerahkan namaku, aku menyerahkan harga diriku untuk menjadi 'anjing peliharaan' di rumahmu. Dan kau pikir aku melakukannya untuk menghancurkanmu?"
"Lysandra bilang—"
"Lysandra hanya ingin melihat kita hancur, Winter! Sama seperti ayahmu dulu!" Darren memegang bahu Winter, kali ini tidak dengan lembut, melainkan dengan tekanan yang menuntut. "Lihat aku, Winter. Katakan padaku, di bagian mana dari diriku yang terlihat seperti sedang merencanakan kehancuranmu?"
Winter menatap mata Darren, dan di sana ia tidak melihat kebencian atau rencana jahat. Ia hanya melihat seorang pria yang telah kehilangan segalanya dan tetap mencoba menjaga satu-satunya hal yang tersisa: cintanya yang rusak.
Jarak di antara mereka mendadak terasa terlalu lebar, meskipun mereka berdiri bersentuhan. Winter bisa merasakan tarikan magnetis itu lagi, rasa rindu yang meluap-luap yang telah ia tekan selama berhari-hari.
"Aku membencimu karena membuatku merindukanmu," bisik Winter, air mata mulai mengalir.
Darren tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menarik Winter ke dalam pelukannya, sebuah pelukan yang penuh dengan keputusasaan. Winter tidak melawan. Ia membenamkan wajahnya di dada Darren, menghirup aroma yang sangat ia rindukan.
Di dalam kamar tamu yang sunyi itu, di tengah kecurigaan dan rahasia yang masih menggantung, mereka menyadari satu hal yang tak terbantahkan: jarak yang mereka ciptakan justru membuat mereka menyadari betapa mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain. Namun, di luar sana, musuh mereka—Ethan dan bahkan keluarga Winter sendiri—sedang bersiap untuk meluncurkan serangan terakhir yang akan menguji apakah cinta yang retak ini bisa bertahan dari kebenaran yang lebih pahit.