Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Nona Shu, apa maksud Anda lima puluh persen pria dan wanita?" tanya Max, keningnya berkerut. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja Storm ucapkan.
Storm menghela napas, lalu menggaruk kepalanya sambil menggumam, "Aku lupa… ini era delapan puluhan. Mana mungkin mereka paham maksudku."
Lucien yang sejak tadi mendengar percakapan itu langsung memotong dingin, "Aku tidak peduli. Yang jelas, kau tidak boleh mengobati pasien pria."
Storm menoleh cepat. Nada suaranya terdengar jengkel. "Kalau pasien pria itu sekarat di depan mataku, apa yang harus aku lakukan? Menyiapkan peti mati untuknya?"
"Bila perlu," jawab Lucien tanpa ragu.
Storm menunduk sambil menggerutu, "Jenderal tidak masuk akal…"
Lucien mendongak tajam. Ia menarik lengan Storm hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. Tatapan Lucien menusuk, membuat Storm menelan ludah gugup.
"A-ada apa?" tanyanya terpatah, tubuhnya kaku.
"Selama kau menjadi dokter pribadiku," ujar Lucien pelan namun tegas, "kau hanya boleh menangani pasien wanita. Jika kau berani melanggar aturanku, keluargamu akan tinggal di jalanan."
Suasana seketika menegang. Namun Storm, bukannya gentar, justru memiringkan kepala sambil menatap Lucien kesal.
"Jenderal hebat sekali. Bisa perang, bisa juga mengancam rakyatnya dengan mulut sendiri," balasnya, nada sinis jelas terdengar.
Beberapa hari kemudian.
Lucien duduk di kursi roda, Max mendorongnya dengan langkah stabil. Storm berjalan di sebelah mereka, membawa tas obatnya. Ketiganya melintasi halaman kediaman Jenderal yang luas namun terasa dingin, seolah penuh mata yang mengintai.
"Nona Shu, kamar Anda sudah disiapkan," kata Max sopan.
Storm mengangguk, lalu menatap bangunan besar itu dengan raut canggung. "Iya… tempatnya luas, tapi suasananya agak menyeramkan," gumamnya sambil melirik ke setiap sudut.
"Nona Shu, jangan asal bicara…" tegur Max pelan.
"Tidak apa. Nona Shu berhak memberi pendapat," sela Lucien tenang.
Storm melipat tangan dan menghela napas. "Pemiliknya saja menyeramkan. Mana mungkin auranya bagus."
Langkah Lucien berhenti. Ia menoleh perlahan, matanya menatap Storm tanpa ekspresi.
"Aku bisa mendengar kata-katamu," ujarnya.
"Aku akan meracik obat. Jangan biarkan siapa pun menggangguku," kata Storm sambil menggulung lengan bajunya. Nada suaranya tegas, menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin diganggu siapa pun.
Lucien mengangguk kecil. "Max, antar Nona Shu ke kamar peracikan obat. Semua bahan yang diperlukan sudah disiapkan."
"Baik, Jenderal!" Max memberi hormat singkat sebelum berbalik.
Ia melirik Storm. "Nona Shu, silakan ikut saya," katanya sedikit terburu-buru.
Storm mengikuti langkah Max, sepatu kecilnya mengetuk lantai batu dengan ritme teratur.
Lucien memperhatikan punggung Storm yang semakin menjauh. Mata dinginnya melembut untuk sesaat—sebuah perubahan yang tidak pernah ia izinkan siapa pun lihat.
"Kita akhirnya bertemu kembali…" batinnya.
"Dan aku akan memastikan kau tetap berada di sisiku."
Tatapan itu tetap mengikuti Storm sampai gadis itu menghilang di balik lorong.
Malam hari.
Kediaman Lucien didatangi rombongan tamu malam itu membuat atmosfer rumah semakin berat.
Jason, ayah Lucien, berdiri di ambang ruangan luas bersama istrinya, Monica, serta adik sepupu Lucien, Summy. Ketiganya melangkah masuk, suara langkah mereka memecah keheningan.
Lucien duduk di kursi roda di tengah ruangan. Sementara Storm, yang baru selesai meracik obat, duduk di sofa dekat meja obat dan tampak serius mengaduk mangkok porselen kecil.
Jason memandang putranya lama sebelum akhirnya bertanya, “Lucien, kenapa tidak pulang ke rumah makan bersama kami? Kenapa memilih tinggal di sini?”
Lucien menggeser pandangannya sebentar pada Storm sebelum menjawab, “Pa, aku baik-baik saja. Ada dokter pribadi yang mengobati-ku.”
Storm bangkit, meluruskan punggungnya, lalu menatap Jason dengan sopan. Namun hatinya justru bergejolak.
"Dia… ayah Lucien? Pensiunan Panglima Besar… Sejarah mencatat dia meninggal tak lama setelah Lucien wafat. Tidak kuat menerima kabar itu…" batin Storm.
“Kakak, siapa dia?” tanya Summy dengan tatapan sinis, seperti menilai Storm dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Ah Zhu,” jawab Lucien tenang, “dokter pribadiku.”
Monica melangkah mendekat dengan senyum tipis, senyum manis yang tidak pernah benar-benar hangat. “Oh, jadi dari keluarga Shu. Nona besar keluarga Shu, ternyata. Nona Shu, apakah kau yakin bisa menyembuhkan kaki Lucien?” Nada suaranya berubah menusuk. “Jangan hanya karena kau mencintai Lucien, lalu menyamar menjadi dokter.”
Storm menarik napas, menahan diri untuk tidak merespons secara berlebihan. “Nyonya, tenang saja. Aku akan berusaha menyembuhkan kaki Jenderal.” Senyumnya tampak ramah, meski jelas dipaksakan.
Jason duduk, pandangannya lembut namun penuh kekhawatiran. “Nona Shu, kalau kau bisa… tolong perhatikan Lucien. Anak ini keras kepala. Dia tidak pernah mau mendengar nasihat siapa pun.”
Storm sedikit menunduk. “Tuan, aku akan berusaha.”
Di sisi lain, Summy yang sejak tadi tak sabar meletakkan sebuah kotak kayu berukuran standar di atas meja. Kotaknya terlihat baru, dengan ukiran halus di bagian tepinya.
“Kakak, aku membeli jam antik untukmu,” katanya sambil tersenyum manis. “Barang baru datang. Modelnya sangat unik, kau pasti suka.”
Ia membuka penutup kotak itu.
Seketika itu pula, mata Lucien dan Storm serentak memandang ke arah jam tersebut. Hanya mereka berdua yang menyadari sesuatu; bola mata mereka memantulkan cahaya yang sama—cahaya pengamatan yang tajam, teliti, dan penuh kecurigaan.
“Barang palsu!” ucap Lucien dan Storm bersamaan.
Suara mereka menggema di ruangan, membuat Summy membeku, Monica memicingkan mata, dan Jason mengangkat alis heran.
Lucien dan Storm yang sama-sama heran saling memandang.