Satu malam yang seharusnya hanya menjadi pelarian, justru mengikat mereka dalam takdir yang penuh gairah sekaligus luka.
Sejak malam itu, ia tak bisa lagi melepaskannya tubuh, hati, dan napasnya hanyalah miliknya......
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blumoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal dari lembaran baru
Cahaya keemasan menembus celah tirai, menari lembut di dinding kamar. Udara pagi terasa hangat dan tenang, menyapu sisa malam yang dingin.
Soojin mengerjap pelan. Pandangannya masih buram, pikirannya belum sepenuhnya sadar. Ia berusaha mengingat di mana dirinya berada, sebelum akhirnya menoleh dan mendapati sepasang mata tengah menatapnya dalam diam.
Hyunwoo.
Lelaki itu sudah bangun lebih dulu, duduk santai di sisi ranjang sambil menatap wajah istrinya yang baru saja terbangun. Ada senyum tipis di bibirnya hangat, lembut, dan penuh makna.
“Ahhh!” pekik Soojin spontan sambil memundurkan tubuhnya, matanya membulat. “E-eh, kamu siapa?! Kok bisa ada di kamar aku?!” suaranya panik tapi gemas.
Hyunwoo menahan tawa, sudut bibirnya naik sedikit.
“Suami kamu, ingat?” jawabnya santai dengan nada menggoda.
Soojin terdiam sejenak sebelum menepuk jidatnya sendiri pelan.
“Ya ampun… iya ya. Maaf, otakku masih loading, belum konek sepenuhnya,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Hyunwoo ikut tersenyum, lalu mencondongkan tubuh dan mengecup singkat kening istrinya.
“Pagi, sayang.”
Soojin sontak membeku. Pipinya bersemu merah, matanya membulat kaget tapi bibirnya tersenyum kikuk.
“Ehehe… p-pagi juga, beb,” balasnya canggung sambil menggaruk kepala yang jelas-jelas tak gatal.
Hyunwoo tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Masih belum terbiasa, ya?” ujarnya lembut. “Tidak apa-apa, pelan-pelan saja.”
Soojin hanya mengangguk dengan wajah memerah.
“Yuk, mandi.” Suara Hyunwoo terdengar ringan, tapi Soojin langsung tersentak panik dan buru-buru turun dari tempat tidur.
“H-hehehe… aku mandi sendiri aja!” katanya tergesa sambil berlari kecil menuju kamar mandi.
Hyunwoo hanya menggeleng pelan, menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu. Senyum tipis muncul di wajahnya senyum tulus yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun selain Soojin.
Tok tok.
“Sebentar!” seru Hyunwoo dari atas kasur.
Pintu terbuka perlahan, menampakkan Hanuel yang membawa sebuah paper bag.
“Tuan muda,” sapanya sopan. “Ini pakaian untuk Nona Soojin. Dikirim dari Nona Yura.”
Hyunwoo menerima paper bag itu dengan alis terangkat. “Dari Yura?” tanyanya datar.
Hanuel tersenyum nakal. “Iya, katanya—”
“Sttt…” potong Hyunwoo cepat. “Jangan mulai. Sana, kerja.”
Hanuel hanya terkekeh, tapi sebelum sempat pergi jauh, Hyunwoo menambahkan,
“Hanuel, tolong siapkan sarapan. Sepuluh menit lagi saya turun.”
“Baik, Tuan muda.” Hanuel menunduk dan beranjak pergi.
Saat Hyunwoo kembali ke kamar, Soojin sudah keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih lembap, meneteskan butiran air yang memantulkan cahaya pagi. Ia berdiri kikuk, menatap sekeliling.
“Hyunwoo…” panggilnya lembut. “Bajuku nggak ada.”
Hyunwoo tersenyum kecil, mendekat, dan mengusap lembut rambut basah Soojin.
“Aku tahu,” ujarnya. Ia menyerahkan paper bag dari Yura. “Ini untukmu. Pakai yang ini, ya. Aku mau mandi dulu, setelah itu kita turun sarapan.”
Soojin baru saja hendak berterima kasih ketika Hyunwoo dengan santai melepaskan handuk yang melingkar di tubuhnya. Refleks, Soojin menutup wajah dan berseru,
“Hyunwoo!”
Lelaki itu hanya tertawa kecil.
“Aku cuma mau ambil handuknya, Sayang. Cepat pakai bajumu, nanti aku tergoda,” ujarnya sambil berkedip nakal sebelum berjalan menuju kamar mandi dengan tawa ringan.
Soojin berdiri terpaku beberapa detik sebelum akhirnya menepuk pipinya sendiri yang sudah memerah.
“Ya Tuhan… pagi-pagi udah begini aja,” gumamnya sambil tersenyum malu.
Beberapa menit kemudian
Kriettt—
Pintu kamar mandi terbuka, dan Soojin yang sedang berdiri di depan cermin terlonjak kaget. Ia buru-buru bersembunyi di balik tirai jendela, hanya menyisakan ujung rambut basahnya yang mencuat sedikit dari sisi kain.
Hyunwoo menatap ke arah tirai dengan alis terangkat, menahan tawa.
“Sayang, kenapa ngumpet di balik situ? Ada yang salah dengan aku, ya?” suaranya lembut, disertai senyum samar di sudut bibirnya.
Suara mesin pengering rambut terdengar lembut. Hyunwoo berdiri di depan meja rias, meniup rambutnya sambil sesekali melirik ke arah tirai tempat istrinya bersembunyi.
“Tidak ada yang salah sama kamu…” suara Soojin lirih dari balik tirai, “tapi…”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat Hyunwoo semakin penasaran. Ia melangkah perlahan mendekat.
“Jangan ke sini!” seru Soojin cepat, nadanya nyaris seperti anak kecil yang takut ketahuan melakukan kesalahan.
Hyunwoo terkekeh pelan. “Jadi sebenarnya kenapa, hmm?” tanyanya lembut, suaranya menggoda tapi tetap penuh perhatian.
Soojin menghela napas panjang. “Baju ini…” ia ragu-ragu melanjutkan, “aku kelihatan seperti… wanita dewasa banget jadinya.”
Hyunwoo tersenyum tipis, matanya lembut. “Dan apa salahnya terlihat dewasa, sayang? Coba keluar dulu, biar aku lihat.”
Perlahan, tirai itu bergerak. Soojin menampakkan diri dengan wajah merona. Pakaian yang diberikan Yura ternyata memang membuat nya tampak terlihat berbeda dari biasa nya pakaian itu membuat tubuh Soojin tampak ramping dan berkelas. Tapi di matanya sendiri, ia terlihat terlalu “serius”.
Hyunwoo berjalan mendekat tanpa berkata apa pun. Ia lalu menunduk sedikit, mengangkat tubuh Soojin ke dalam gendongan lembutnya dan menurunkannya di tepi ranjang.
“Cantik,” ucapnya tenang. “Kamu cantik sekali dengan pakaian ini. Kenapa kamu merasa tidak cocok?”
Soojin menunduk, memainkan ujung rok. “Aku kelihatan… terlalu dewasa. Aku nggak mau terlihat tua,” gumamnya pelan, bibirnya mengerucut manja.
Hyunwoo menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia mengelus rambut basah Soojin dan membenarkan helai yang menutupi pipinya.
“Sayang, kamu tidak terlihat tua sedikit pun. Kamu hanya terlihat… mempesona,” ujarnya penuh ketulusan.
“Serius?” Soojin mendongak, matanya berkilat ragu.
“Serius,” jawab Hyunwoo mantap. “Kalau kamu masih nggak percaya, nanti kita tanya Mama dan yang lain, ya?”
Soojin tersenyum kecil, pipinya memanas. “Hmm… baiklah.”
“Kalau begitu, ayo turun sarapan,” ucap Hyunwoo sambil berdiri dan mengulurkan tangannya. “Setelah itu kita harus berangkat ke Gyeonhwa, menemui Papa di sana.”
Soojin menatap tangan itu sejenak sebelum tersenyum dan menggenggamnya.
“Baik, Tuan Hyunwoo.”
---
Restoran Hotel The Grand Iseon
Restoran hotel tempat mereka menginap tampak elegan dengan aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Di sana sudah ada Nyonya Kang, Yura, dan Eunhee yang tampak sibuk berbincang.
Begitu melihat Soojin dan Hyunwoo datang, Yura langsung berdiri dan melambai heboh.
“Kak Soojin!” serunya, berlari kecil menghampiri. Dengan santai, ia menyingkirkan Hyunwoo ke samping. “Minggir dulu, Oppa, aku mau lihat baju kakak!”
Hyunwoo hanya mendengus, sementara Yura berputar di sekitar Soojin sambil memerhatikan setiap detail pakaian itu.
“Waaah, kan bagus banget! Pas banget di tubuh Kak Soojin! Lucu, elegan, wahhh perfect!” ujar Yura antusias.
Hyunwoo menatap adiknya dengan pandangan dingin yang cukup membuat Yura buru-buru mengembalikan Soojin ke sisinya.
“Hehehe, Kak Soojin duduk di sini aja ya, di sebelah Kak Hyunwoo,” katanya sambil cengengesan dan cepat-cepat kembali ke tempat duduknya.
Soojin tersenyum kecil. Dalam hati, ia mengakui—ternyata pakaian itu memang tidak buruk sama sekali. Bahkan terasa nyaman dan anggun.
Yura yang duduk di seberang, tiba-tiba menyenggol Soojin dengan senyum menggoda.
“Hmmm~” gumam Soojin curiga. “Kenapa?” tanyanya sambil memainkan matanya.
Eunhee menimpali sambil menyuap salad buah. “Sepuluh menit lagi aku duluan ya. Supirku udah nunggu di depan. Papa mama udah kayak cacing kepanasan karena aku nggak pulang semalam.”
Soojin langsung menatapnya tajam. “Kok bisa?”
“Hehehe, aku lupa ngabarin,” jawab Eunhee ringan.
“Ya ampun, Eunhee…” Soojin menepuk jidatnya sambil tertawa geli, lalu menyentil jidat sahabatnya. “Pantesan Om sama Tante panik.”
“Iya, tapi abis acara semalam aku langsung tidur di kamar Yura,” jawab Eunhee santai.
Yura ikut menyahut sambil tersenyum. “Iya, bahkan dia nggak sempat mandi. Baru pagi ini loh mandinya.”
Semua tertawa mendengar itu, termasuk Hyunwoo yang hanya menggeleng pelan sambil meneguk kopi.
---
Sepuluh menit kemudian.
Eunhee bersiap pergi.
“Soojin! Jangan lupa kabarin aku kalau udah sampai di Gyeonhwa!” teriak Eunhee sambil melambaikan tangan dari pintu.
“Iyaaa!” balas Soojin, tersenyum hangat melihat sahabatnya pergi.
Tak lama setelah itu, Jaewon datang. “Kok kurang satu orang, Tan?” tanyanya.
“Oh, Eunhee sudah berangkat duluan. Orangtuanya telepon tadi,” jawab Yura cepat.
Jaewon mengangguk, meski ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekecewaan kecil karena tak sempat bertemu Eunhee pagi ini.
“Oh iya, Tante, tiket pesawat sudah saya pesan. Satu jam lagi penerbangan kita,” ujarnya sopan sebelum duduk dan ikut menyantap sarapan.
Setelah semuanya selesai makan, rombongan mereka berangkat menuju Bandara Incheon.
Perjalanan berlangsung mulus. Dari balik jendela mobil, Soojin menatap langit yang mulai membiru cerah. Di dadanya, ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan—seolah babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai.
Setibanya di bandara, mereka masih punya waktu tiga puluh menit sebelum keberangkatan. Yura sempat mampir ke toko kecil untuk membeli beberapa barang keperluan.
Tak lama, suara lembut dari pengeras suara terdengar,
> “Penumpang dengan tujuan Gyeonhwa, penerbangan nomor 321, harap segera menuju gerbang keberangkatan.”
Hyunwoo menggenggam tangan Soojin erat.
“Sudah siap, Sayang?”
Soojin mengangguk pelan, matanya menatap lembut ke arah suaminya.
“Selalu.”
Dan bersama cahaya pagi yang mulai meninggi, mereka melangkah menuju awal dari perjalanan baru—menuju Gyeonhwa, menuju pertemuan yang akan mengubah segalanya.
---
Bersambung.......
belum juga sedih karena penghianatan udah jadi istri orang aja🤣