#Yang mau promosi di lapak saya silahkan#
Seri kedua dari novel.
"Istri simpanan Presdir"
Anggia Seorang Dokter cantik terpaksa menikah dengan anak majikan Ibunya karena balas budi.
"Beri aku satu kesempatan Mas. Aku ingin menikah hanya satu kali dalam hidup ku. Dan aku tidak ingin mempermainkan pernikahan"
Anggia Tiffani~
"Tapi kau bukan selera ku. Aku tidak sudi beristri anak pembantu. Dan pernikahan ini hanya karena kau balas budi pada Ayah ku. Itu saja dan kau tidak perlu mencampuri urusan ku"
Brian Wiratwan~
Tidak ada cinta di atara keduanya. Anggia yang terpaksa menikah dengan Brian hanya karena balas budi dan sekaligus syarat untuk Pasha mau membiayai pengobatan Ayahnya.
Dan hal yang paling membuat Anggia menderita adalah. Dirinya setiap hari menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan wanita yang ia bawa ke tempat tinggal mereka.
Sakit bukan?.
Anggia seorang istri tapi masih suci!.
Namun karena suatu insiden yang membuat nya tidak bisa menolak hasrat yang di tawarkan kenikmatan dunia sesaat. Sehingga membuatnya melupakan tabiatnya sebagai seorang wanita bersuami. Dan hubungan terlarang itu terjadi hingga ia mengandung anak dari pria lain. Di saat ia masih berstatus istri Brian Wiratwan.
Lalu apakah yang akan terjadi setelah Suaminya tau dengan kehamilan Anggia?
Sementara ia tidak pernah menyentuh istrinya selama hampir dua tahun menikah.
---
21+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IPAK MUNTHE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
"Veli aku berangkat ke cafe ya," Anggia berpamitan pada Veli yang masih tidur, Veli baru saja pulang dinas malam dan sepertinya Veli sudah tertidur lelap tidak mendengar Anggia yang berpamitan padanya. Anggia melangkah pergi tanpa mengganggu Veli yang tertidur lelap.
Saat Anggia akan membuka pintu terdengar suara bell berbunyi, Anggia bingung dan bertanya-tanya siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Anggia dengan tas kecil kesayangannya yang masih melekat pada lengannya mulai melangkah membuka pintu.
CLEEK!
Anggia memutar gagang pintu dan terlihat ada seorang pria di sana. Pria tersebut tersenyum pada Anggia namun Anggia tidak memberikan respon apa-apa.
"Apa kabar?" tanya orang tersebut dengan ramah, ini adalah pertama kalinya orang tersebut bersikap semanis itu, Anggia juga baru tau ternya Brian bisa seramah itu.
"baik," jawab Anggia tanpa tersenyum ataupun mempersilahkan Brian masuk.
"Anggia ayah sakit keadaannya sangat lemah dan ayah ingin sekali bertemu dengan mu," Brian menyampaikan apa tujuannya menemui Anggia.
Mendengar Brian menyebut sang ayah, tentu saja Anggia mulai panik. Pasha sangat menyayanginya begitu pun dirinya.
"Ayah, di rawat di rumah sakit mana?" Anggia sungguh tidak bisa menutupi kepanikannya.
"Ayah belom mau di bawa kerumah sakit kalau kamu belum menjenguknya," Brian berusaha agar Anggia mau menemui ayahnya, yang sedang sakit.
"Kalau begitu ayo, jangan sampai ayah terlambat di tangani."
"Ya,"Brian dan Anggia mulai masuk kedalam lift dan tidak lama kemudian keduanya sampai di lobi. Dengan tergesa-gesa Anggia mengikuti Brian masuk kedalam mobil.
Brian mulai menyalakan mesin mobilnya dengan kecepatan sedang. Anggia merasa Brian sangat lambat dalam menyetir membuatnya tak sabar.
"Mas bisakah lebih cepat," Anggia merasa panik sebelum melihat keadaan Pasha. Brian mulai menambah kecepatan mobilnya dengan kecepatan penuh.
"Mas ini bukan jalan ke rumah ayah kan?" Anggia tau betul di mana letak rumah mertuanya dan jalan yang mana saja yang bisa sampai kesana. Dan Anggia yakin saat ini mereka bukan menuju rumah Pasha.
"Ayah sudah beberapa malam menginap di vila dia ingin mencari ketenangan di sana katanya, dan ternyata tadi malam ia kembali terkena serangan jantung," Brian menjelaskan mengapa ia membawa Anggia kesana dan kemana tujuan mereka karena Anggia belum pernah kesana sebelumnya. Itu adalah vila yang baru di beli oleh Brian.
Anggia mengangguk dengan cemas, namun setelah menempuh perjalanan selama satu jam mereka belum juga sampai. Anggia mulai cemas dan sedikit panik apa Brian membawanya ke mana ayah berada atau mungkin kemana Anggia di buat bingung, dengan sedikit keberanian Anggia mulai bertanya kemana Brian sebenarnya ingin membawanya.
"Mas apa vila ayah masih jauh," tanya Anggia dengan suara yang pelan.
"Tidak sabar ya. Ayah sangat ingin bertemu dengan mu dan keadaannya sangat parah," jawan Brian tanpa melihat Anggia yang mulai merasa panik.
"Em," Anggia hanya bisa pasrah dan mengangguk. Yang jelas saat ini ia sangat menghawatirkan ayah Pasha.
Tiga jam berlalu Anggia terbangun dari tidurnya dan melihat Brian sudah markirkan mobilnya di sebuah vila yang sangat megah dan terlihat mewah. Anggia mulai turun mengikuti Brian namun saat ia menatap sekelilingnya ia merasa aneh melihat banyak pengawal di sana dan ia mulai menyadari tadi ia membawa tas. Anggia kembali membuka pintu mobil dan tidak menemukan tasnya di dalam sana.
"Mas," Anggia setengah berlari menyusul Brian yang terlebih dahulu masuk.
"Ya," Brian berhenti dan berbalik saat mendengar Anggia memanggilnya.
"Mas, tadi aku bawa tas dan ponsel ku ada di dalamnya apa kamu melihatnya. Aku sudah mencari di mobil tapi tidak ada."
"Tas? aku tidak melihat," jawab Brian kembali melanjutkan langkahnya.
Anggia bingung dan mulai panik. Ia hanya berdiri mematung di depan pintu tanpa berniat masuk.
"Anggi," Brian memanggil Anggia karena Anggia larut dalam pulikirannya.
"Ya mas, kamar ayah dimana?" tanya Anggia dengan tubuh setengah berlari, entah mengapa Anggia merasa moodnya berubah-ubah kadang ia berhati lembut kadang ia ingin marah-marah.
"Di sana," Brian menunjuk daun pintu yang berada tepat di depan tangga.
"Aku ke atas ya mas," Anggia berpamitan bahkan setengah berlari, ia merasa sakit di bagian perutnya setelah ia berlari menaiki tangga.
"Au," ringis Anggia memegang lerutnya, dengan tubuh setengah berjongkok.
"Kenapa?" tanya Brian yang merasa sedikit panik, melihat wajah pucat Anggia.
"Tidak mas," Anggia yakin itu nyeri datang bulan dan ia biasa mengalaminya sebelum datang bulan.
"Em," Brian melanjutkan langkahnya menuju kamar yang sama di tuju oleh Anggia.
"Ayah," Anggia membuka puntu tapi ia tidak melihat Pasha di sana, bahkan kamar itu kosong. Brian mendorong sedikit tubuh Anggia yang berdiri di depan pintu dan ia dengan cepat memutar kunci pintu.
"Mas ayah di mana?" Anggia mulai merasa hawa yang berbeda dan ia melihat Brian membuka jas dan dasinya, lalu melonggarkan kemejanya.
"Tidak ada," jawab Brian yang terus menatap Anggia.
"Ti-tidak ada lalu maksud kamu apa?" tanya Anggia yang mulai emosi. Ia mengerti kalau dari tadi Brian mengelabuinya dengan menggunakan ayah Pasha sebagai alat.
"Aku masih suami sah mu dan kau istri ku. Mulai saat ini kau tinggal bersama ku," tutur Brian dengan suara yang lembut dan mulai mendekati Anggia.
"Aku sudah menggugat mu di pengadilan mas!" seru Anggia.
"Tapi belum ketuk palu, dan kau masih istri sah ku, aku pun akan membatalkan perceraian kita," Brian mencoba menarik Anggia kedalam pelukannya, namun Anggia menepis tangan Brian.
"Aku tidak mau lagi menjadi istri mu, aku benci pada mu apa kau tidak mengerti," Anggia berteriak di wajah Brian, sungguh Anggia sangat kesal dengan perlakuan Brian yang egois dan hanya bisa memaksa.
"Aku mencintai mu dan tidak akan pernah melepas mu!" tidak ada nada emosi yang di tunjukan Brian yang ada hanya kelembutan saat berhadapan dengan Anggia.
"Cinta!" teriak Anggia tersenyum miring.
"Iya dan aku tidak sanggup bila kau pergi dari ku, cukup Anggia, hampir satu bulan kau berjauhan dengan ku dan aku tidak sanggup lagi," tutur Brian masih mencoba memegang Anggia.
"Setelah penderitaan yang kau berikan pada ku. Sekarang dengan mudah nya kau bilang cinta? Aku tidak percaya kau mencintai ku dan aku pun tidak percaya dengan adanya cinta!" Anggia sudah berkabut emosi yang tak bisa ia bendung, air matanya mengalir seiring emosi yang menguasai tubuhnya.
"Aku mohon Anggia, kita mulai dari awal lagi," Brian mulai menghiba pada Anggia.
"Walau kau memohon atau pun menghiba aku tidak akan luluh!"