NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel, menebarkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan.

Helena masih memeluk tubuh Karan, wajahnya menempel di dada bidang suaminya.

Nafas mereka teratur, tenang, seolah dunia di luar kamar berhenti berputar demi memberi mereka waktu lebih lama untuk menikmati pagi itu.

Karan membuka mata pelan, lalu menatap sosok istrinya yang masih terlelap dengan senyum manis di bibirnya.

Rambut Helena yang sedikit berantakan justru membuatnya terlihat semakin memesona.

Dengan hati-hati, Karan menyibak helai rambut yang menutupi pipi Helena, lalu mengecup keningnya lembut.

Helena menggeliat kecil, membuka matanya.

“Pagi, Mas…” ucapnya lirih, suara serak khas orang baru bangun.

“Pagi, Ratu-ku.Semalam… kamu luar biasa.”

Helena tertawa kecil sambil menyembunyikan wajahnya di dada Karan, malu mengingat bagaimana mereka saling mencurahkan cinta dengan begitu hangat semalam.

“Mas, Aku bahagia banget.”

“Aku juga, sayang. Dan aku janji, setiap pagi kita akan mulai seperti ini dengan senyum, pelukan, dan rasa syukur.”

Helena tersenyum, lalu menatap wajah suaminya yang sangat tampan.

“Kalau gitu ayo kita mulai pagi ini dengan sarapan paling romantis di balkon. Aku mau makan croissant sambil lihat Menara Eiffel.”

“Baik, Ratu. Tapi sebelum itu…” Ia langsung menggendong Helena tiba-tiba dari atas kasur.

“Mas! Turunin! Aku belum mandi!” teriak Helena sambil tertawa.

“Kalau gitu, kita mandi bareng,” ucap Karan sambil mengedip nakal.

“Hanya mandi saja, nggak ada yang lain." ujar Helena.

Karan menaruh tubuh istrinya di dalam bathtub dan mereka mulai mandi bersama.

"Enak sekali, mas." ucap Helena saat suaminya memijat punggungnya.

Kemudian Karan memeluk tubuh istrinya dari belakang.

"M-mas....,"

Karan membalikan tubuh Helena dan setelah itu ia memberiku ciuman khasnya.

Mereka berdua kembali melakukan apa yang semalam telah mereka lakukan.

Satu jam kemudian mereka keluar dari kamar mandi.

"Mas, nakal sekali." ucap Helena sambil mengerucutkan bibirnya.

Karan tertawa pelan melihat wajah istrinya yang cemberut manja. Ia lalu mendekat, mencubit hidung Helena gemas.

“Duh, Ratu satu ini kalau manyun begini malah makin lucu,” godanya.

Helena memukul pelan dada Karan. “Jangan cubit-cubit! Hidungku bisa pesek nanti.”

“Kalau pun jadi pesek, aku tetap cinta,” balas Karan cepat.

Helena mendengus, tapi senyumnya tak bisa ia tahan.

“Sudah, ayo sarapan sebelum aku tambah marah,” katanya sambil melipat tangan pura-pura kesal.

“Baik, Ratu. Sarapan romantis menunggu,” jawab Karan sambil membungkuk memberi salam ala pelayan istana, membuat Helena terkekeh.

Mereka melangkah ke balkon. Sarapan sudah disajikan oleh room service seperti croissant hangat, buah segar, madu, dan teh herbal.

Helena duduk dengan senyum lebar, menikmati hembusan angin Paris.

“Mas, ini sempurna,” ucapnya sambil menatap Eiffel yang menjulang.

Namun baru saja mereka menyentuh croissant pertama, terdengar suara ketukan pintu.

Ceklek!

Karan bangkit membuka pintu kamar hotelnya dan ia melihat seorang wanita muda bergaun elegan berdiri di depan pintu, membawa map dokumen.

Rambutnya pirang kecokelatan, wanginya samar bahkan tercium hingga balkon.

“Bonjour, Monsieur Karan,” sapanya dengan senyum manis.

“I’m Amelie. We have an appointment to review the contract today. Do you have time now?”

Karan sempat melirik Helena yang masih duduk di balkon sebelum menjawab,

“Ah, yes, Amelie. Give me a minute.”

Perlahan ia mengambil croissant dan menggigitnya pelan tapi kini rasanya tak semanis tadi.

“Sayang, sebentar ya. Ini klien penting. Aku cuma bahas sebentar.”

“Tentu, aku tunggu. Mon sieur,” ucapnya dengan nada datar sengaja menirukan aksen wanita itu.

Karan mengangguk cepat, lalu masuk dengan Amelie ke ruang duduk kamar hotel.

Dari balkon, Helena bisa mendengar samar-samar tawa renyah Amelie.

“Ha-ha-ha… You have such an interesting vision, Monsieur Karan!”

Helena mencubit croissant di tangannya yang gemas mendengar suara mereka berdua.

“Interesting vision apaan? Orang cuma ngomong kontrak aja kok bisa ketawa seperti itu” gumamnya.

Ia berdiri, menyilangkan tangan, mencoba mengintip lewat pintu kaca.

Melihat Amelie duduk terlalu dekat dengan suaminya, Helena menghela napas panjang.

“Paris romantis? Iya. Tapi kalau sampai ada yang macem-macem, bisa jadi Paris berantakan."

Helena yang sedikit cemburu bangkit dari duduknya.

Dengan napas berat, ia mengambil jaket tipisnya, menyambar tas kecil, lalu melangkah keluar dari kamar hotel tanpa sepatah kata pun.

“Aku sarapan di luar aja. Biar para pebisnis itu ngobrol puas-puas,” gumamnya kesal.

Ia menekan tombol lift, melipat tangan di dada sambil mengetukkan kaki masih kesal sekaligus mencoba menenangkan diri.

Begitu sampai di lobi, Helena disambut aroma kopi dan roti panggang dari cafe hotel di sudut ruangan.

Ia memilih duduk di dekat jendela, menghadap jalanan Paris yang mulai ramai.

Pelayan menghampiri Helena yang baru datang ke cafe.

“Bonjour, Madame. Voulez-vous commander?”

Helena mengambil napas pelan, mencoba tetap elegan meski hatinya mendidih.

“One croissant, orange juice, and… no coffee,” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian pesanannya datang. Helena menggigit croissant pelan-pelan, tapi rasanya tak seenak tadi pagi saat dimakan bersama Karan.

“Croissantnya sama, tapi yang makan beda suasananya,” gumamnya lirih sambil memandangi Menara Eiffel di kejauhan.

Sementara itu, di kamar hotel dimana Karan baru selesai menjelaskan bagian akhir dari kontrak yang dibahas Amélie. Ia melirik ke balkon yang kosong.

“Helena?”

Karan menoleh ke arah Amélie yang masih duduk sambil tersenyum manis.

“Amélie, I’m sorry. That’s enough for now,” ucap Karan tegas.

“Oh? But we haven’t reviewed—”

“We will continue later. Not here. Please leave.”

Nada Karan terdengar halus tapi jelas tak bisa dibantah.

Amelie sempat membuka mulut seolah ingin protes, tapi melihat tatapan Karan yang berubah dingin, ia hanya menghela napas lalu berdiri anggun.

“Très bien. I’ll contact you later, Monsieur Karan.”

Karan hanya mengangguk singkat, tak membalas senyum Amélie.

Ia segera menutup pintu setelah wanita itu keluar.

Dan tanpa menunggu sedetik pun, ia langsung meraih ponsel dan berjalan cepat ke luar kamar.

“Helena, kamu di mana…?”

Karan keluar dari hotel dan melihat istrinya yang sedang mengobrol dengan satu pelayan disana.

Ia pun langsung menghampiri istrinya yang sedang mengobrol.

Helena melihat Karan yang datang menghampirinya.

Ia bangkit dari duduknya dan segera membayar makanannya.

"Hel, ada apa? Kenapa kamu disini?" tanya Karan.

Helena berjalan cepat keluar dari café, menahan sesak di dadanya. Ia tak ingin menangis di depan orang banyak — tapi air matanya tetap jatuh satu per satu.

Karan mengejarnya.

“Helena… Hel, tunggu aku.”

Helena tidak berhenti. Ia justru melangkah lebih cepat menyusuri trotoar Paris, melewati deretan toko bunga dan kios surat kabar.

“Helena!”

Suara Karan makin tegas, tapi tetap lembut. Ia akhirnya mempercepat langkah, lalu meraih pergelangan tangan istrinya.

Helena refleks melepaskannya.

“Jangan sentuh aku.”

Suara itu pelan, tapi dingin. Dan itu jauh lebih menusuk hati Karan daripada kemarahan.

Karan menarik napas panjang, menahan emosi yang ikut teraduk.

“Hel, aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa tidak dihargai. Tapi tolong jangan pergi seperti ini. Bicaralah sama aku.”

Helena menatapnya dengan mata berkaca, bibirnya bergetar.

“Aku cuma nggak suka, Mas. Aku nggak suka lihat kamu tertawa-tawa sama wanita lain. Aku tahu itu urusan kerja. Aku tahu kamu nggak berniat apa-apa. Tapi tetap saja rasanya nggak enak.”

Karan mendekat pelan, seolah takut Helena mundur lagi.

“Hel, aku mengerti. Dan kamu berhak merasa seperti itu.”

“Aku nggak mau jadi istri yang cemburu buta. Tapi aku juga nggak mau berpura-pura nggak peduli.”

Karan mengangguk pelan. Lalu ia menarik napas dalam, dan tiba-tiba berlutut.

Di tengah jalan batu Paris, di antara orang-orang yang lewat, Karan bertekuk lutut di hadapan istrinya.

“Helena, dengarkan aku. Aku tidak butuh kontrak. Aku tidak butuh Amélie. Aku tidak butuh siapa pun.”

“Aku hanya butuh kamu. Bahkan kalau seluruh Paris memintaku memilih antara kesuksesan besar atau satu pagi bersamamu, aku akan pilih kamu.”

Helena menahan nafas hatinya seperti diremas dan dilepas lagi dalam satu tarikan waktu.

Orang-orang mulai berhenti berjalan, memperhatikan.

Karan mengulurkan tangannya ke arah Helena yang masih cemberut.

“Kalau kamu mau marah, marah lah. Kalau mau nangis, menangislah. Tapi jangan pergi dariku. Jangan tinggalkan aku sendirian di kota ini, Hel. Karena tanpa kamu, Paris nggak ada artinya.”

Helena menatapnya lama, lalu setitik senyum muncul di tengah air matanya.

Dengan perlahan, ia meraih tangan suaminya yanh dari tadi berjongkok.

Karan berdiri, tapi tak langsung memeluk. Ia menunggu.

Helena menarik napas dalam, lalu akhirnya bersandar di dada suaminya.

“Kalau besok ada wanita lain yang datang-datang bawa kontrak sambil ketawa-ketawa lagi…”

“Akan aku suruh pulang sebelum dia buka mulut,” potong Karan cepat.

Helena mengerjapkan mata sambil tersenyum kecil, masih dalam pelukan.

“Janji?”

“Demi Menara Eiffel.”

“Kalau bohong?”

“Aku suruh Eiffel melengkung ke kiri.”

Helena langsung tertawa terbahak-bahak itu akhirnya pecah bersama air mata haru.

Karan mengecup puncak kepalanya pelan.

“Pulang yuk, Ratu-ku. Sarapan kita masih dingin. Tapi aku janji, cintaku tetap hangat.”

Helena menggenggam tangannya dan melihat suaminya yang mengajaknya pulang.

“Ya sudah. Tapi nanti aku yang gendong kamu kalau kamu bandel lagi.”

Mereka pun melangkakan kakinya menuju ke hotel.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!