Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Wajah Sofia Putri langsung muram mendengar komentar itu. Ia berharap mendapat jawaban, tapi yang muncul hanyalah pengingat pahit tentang situasi yang sedang menjeratnya. Ia merasa sudah tamat.
Tiba-tiba, pria itu menarik tangannya. Sofia mendongak kaget, namun ia tak peduli. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah jalan keluar.
“Aku butuh bantuanmu,” ucapnya lirih.
Alis pria itu terangkat. Sofia buru-buru menambahkan, “Tolong...”
Pria itu kembali menarik tangannya, menatapnya dingin. “Sepertinya kau belum paham situasi yang kau hadapi. Bahkan kalau kau berhasil kabur, kami akan memburumu sampai ke ujung bumi.” Ia mendekat, tubuh mereka hampir bersentuhan. “Lalu, kenapa aku harus membantumu melarikan diri?”
Sofia tercekat. Ya, benar juga. Untuk apa dia membantunya?
“Aku cuma butuh sedikit waktu,” Sofia memohon, berusaha menggantungkan harapannya pada keajaiban. “Aku punya dana perwalian dalam jumlah besar, tapi baru bisa diakses tahun depan. Aku hanya butuh lebih banyak waktu!”
...
“Siapa yang tidak butuh lebih banyak waktu?” pria itu menyahut datar.
“A-apa maksudmu?” Sofia terbelalak.
Ia mendesah panjang. “Tawaranmu memang menggiurkan. Tapi aku seorang pengusaha, dan bagiku waktu adalah aset paling berharga. Pamanmu sudah kehabisan waktunya, jadi tak ada lagi yang bisa kulakukan. Lagipula...”
Tangannya terulur, meraih dagu Sofia, mengangkatnya lembut. “Menjadi istri Pangeran tidak seburuk itu.”
Sofia merasa muak. Bukan karena sentuhan pria itu yang begitu hati-hati, seakan takut menyakitinya, melainkan karena membayangkan sosok Pangeran. Ia memang belum pernah bertemu, tapi bayangan tentang pria tua mesum, kaya, gendut, dan rakus akan istri muda sudah cukup membuat kulitnya merinding.
Ketika pria itu menyebut kata istri, ia bahkan tidak menjelaskan istri yang keberapa. Kelima? Kedelapan? Kesepuluh? Membayangkannya saja sudah membuat Sofia ingin muntah.
Yang jelas, ini pernikahan paksa. Tidak ada cinta. Tidak ada hormat. Ia hanya akan jadi barang yang dibeli. Harga dirinya akan hilang, dan satu-satunya pilihan hanyalah bertahan sampai ia bisa melarikan diri... atau mati.
“Kau tidak akan diperlakukan buruk, karena kau adalah istri bos,” pria itu menambahkan, seolah menyindir pelecehan yang sudah ia alami.
Ia kembali memiringkan dagu Sofia ke kiri dan ke kanan, memperhatikan memar kecil di wajahnya dengan sorot mata yang sulit ditebak.
“Kau akan punya kuasa penuh setelahnya. Semua orang akan tunduk padamu, termasuk aku. Kau bisa melakukan apa saja yang kau mau... dan aku akan siap mendukungmu,” ucapnya mantap tanpa memutuskan tatapan.
Sofia semakin bingung. Ada sesuatu tersembunyi dalam kata-katanya, sesuatu yang ia belum bisa pahami. Tapi satu hal jelas pria ini menginginkan sesuatu darinya.
Sofia mencoba mundur untuk menciptakan jarak. Sayangnya, ia lupa pergelangan kakinya terkilir. Begitu menumpu beban, rasa sakit langsung menusuk, membuatnya meringis.
Pria itu menyadarinya. Tanpa peringatan, ia menggendong Sofia dengan mudah lalu membaringkannya di ranjang.
Belum sempat Sofia protes, pria itu sudah memanggil seseorang. Beberapa menit kemudian, seorang anak buah masuk membawa nampan kecil berisi bungkusan es.
“Oh...” Sofia baru paham niatnya. Ia mengulurkan tangan, berniat mengambil sendiri, tapi pria itu malah menarik kursi dan duduk di samping ranjang.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Sofia, merasa tidak nyaman dengan kedekatan mereka.
“Suamimu akan datang besok untuk menjenguk istrinya. Aku harus memastikan kondisimu baik-baik saja. Kalau tidak, bisa-bisa kepalaku yang jadi taruhannya,” jawabnya datar.
Sofia hanya terdiam ketika ia menempelkan kompres dingin ke wajahnya. Jarak mereka begitu dekat, bahkan hampir bersentuhan. Namun Sofia memilih diam, tidak ingin menunjukkan kelemahan.
Selesai dengan wajahnya, pria itu mengangkat kaki Sofia dan meletakkannya di pangkuannya, lalu mengompres pergelangan kakinya. Lima belas menit berlalu dalam diam.
Sofia menatap kosong, berusaha menepis perasaan aneh yang muncul. Gangster dingin ini ternyata bisa bersikap baik? Tidak mungkin tanpa maksud. Entah pria ini ingin memanfaatkannya atau menjadikannya pion dalam rencana lain.
Tapi Sofia juga punya rencana. Ia harus melarikan diri. Kalau harus memanfaatkan pria ini, biarlah. Semoga pemain terbaik yang menang.
Untungnya, cedera itu tidak parah. Dalam satu atau dua hari, ia akan pulih asal cukup istirahat.
“Kau sebaiknya tidur sekarang,” ucap pria itu sambil menyelimutinya.
“Aku susah tidur di tempat asing. Mungkin aku butuh teman,” Sofia mencoba mencari celah.
Seketika, ekspresi asing melintas di wajahnya, lalu hilang begitu cepat. Ia kembali bersikap dingin. “Kamu harus tahan kesepian sampai suamimu datang besok.”
Deg! Jantung Sofia seperti berhenti mendengar kata suami. Ya Tuhan... ini nyata. Dia akan menikah dengan orang asing, pria yang bahkan bukan pilihannya. Ia bahkan belum siap menikah.
“Kalau begitu, tonton saja Netflix,” pria itu menyalakan televisi dan menyerahkan remote kepadanya.
Mulut Sofia berkedut. Sungguh, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda.
“Sampai jumpa,” katanya sambil beranjak.
“Tunggu!” Sofia spontan menahan.
Ia menoleh dengan alis terangkat.
“Aku bahkan tidak tahu namamu,” Sofia menatapnya.
Pria itu tersenyum tipis. “Fino.”
“Oh... Fino,” Sofia mengulang pelan, mencatat nama itu dalam benaknya. Ia tahu, pria ini bisa jadi kunci penting dalam rencananya.
“Terima kasih, Fino.”
“Ugh,” Akmal terbangun karena silau cahaya matahari yang menembus jendela. Namun, itu bukan hal utama yang mengganggunya. Ada sesuatu lebih tepatnya, seseorang yang sedang menjilati wajahnya.
Awalnya, Akmal mengira itu ulah Samson, singanya. Ia terduduk kaget, siap memarahi hewan itu. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati seekor anjing kecil dengan wajah menggemaskan tengah menatapnya sambil menjulurkan lidah.
“Ya Tuhan,” gerutunya. “Serangan macam apa ini pagi-pagi begini?”
Wajahnya penuh air liur, membuat Akmal kesal. Ia sama sekali tak paham soal perilaku normal anjing. Saat anak-anak lain di usia tiga tahun sibuk dengan boneka atau mainan, ia justru sudah berlatih membongkar dan merakit senjata.
Singkatnya, ia tak pernah punya hewan peliharaan. Satu-satunya binatang yang menemaninya hanyalah Samson singa besar yang kini sedang berbaring malas di lantai sambil menatap penyusup kecil itu dengan tatapan penuh ancaman. Bagi Akmal, Samson bukan sekadar peliharaan, melainkan teman sekaligus penjaga.
Kalau ada hal yang paling berharga bagi Akmal, itu adalah tidur. Dan kini, si anjing kecil telah merusaknya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih anjing itu dari ranjang, melemparkannya ke lantai, lalu kembali menyelimuti diri.
Namun, Samson justru memandang anjing kecil itu dengan tatapan jahat. Lidah panjangnya sempat menjilat mulut anjing itu, membuat si kecil panik. Naluri langsung memberitahu anjing itu bahwa nyawanya dalam bahaya. Ia melompat ke arah selimut, mencoba naik, tapi kain itu licin. Ia pun menggonggong keras-keras, seperti sedang memohon perlindungan pada Akmal.
.....
Akmal mendesah berat mendengar gonggongan tanpa henti itu. “Aduh, ganggu banget,” gumamnya. Ia akhirnya mengulurkan tangan, mengangkat anjing kecil yang ketakutan itu, lalu membawanya kembali ke ranjang. Samson jelas tak suka, tapi Akmal tak peduli.
Begitu berada di tempat tidur, anjing itu langsung menyusup ke sisinya dan berbaring rapat hingga tubuh mereka bersentuhan.
Akmal sempat bingung, tak tahu harus tertawa atau kesal. Ketika ia membayangkan punya teman tidur, sosok yang ada di pikirannya jelas seorang wanita cantik, bukan seekor anjing. Tapi ya sudahlah, untuk sementara ia harus puas dengan yang ini.
Untungnya, anjing kecil itu cepat belajar. Ia tak lagi mengganggu, membiarkan Akmal tidur sekitar satu jam lagi sebelum bangun untuk menjalani hari.
Sejak saat itu, si anjing kecil terus menempel padanya. Akmal bahkan tak bisa melangkah tanpa dibuntuti makhluk mungil itu. Ia tahu, anjing itu takut pada Samson. Dan tentu saja, Akmal tak bisa mengusir singa yang sudah menganggap tempat ini sebagai wilayah kekuasaan sejak lahir. Kecuali Akmal sendiri yang memerintah, Samson adalah bosnya sendiri.
Ketika Akmal masuk ke kamar mandi yang luas, si anjing kecil tetap mengikutinya. Ia menatap lekat saat Akmal mengisi bak mandi penuh air.
“Kau tahu, kalau kau manusia, kau pasti disebut mesum karena menatapku begitu,” kata Akmal, membuat anjing itu menggonggong seolah mengerti.
“Ya, ya, aku memang tampan,” Akmal menyeringai, mengusap rambut pirangnya yang basah.
Anjing itu menggonggong lagi, seperti membalas ucapannya.
“Dan sepertinya aku sudah gila,” gumam Akmal, “karena sekarang aku ngobrol sama seekor anjing.”
Ia menarik napas panjang, lalu menyelam ke dalam air dengan mata terpejam. Lima menit ia bertahan di sana, sementara anjing itu terus menggonggong resah, seakan yakin tuannya akan mati tenggelam.
Namun, Akmal muncul kembali dengan napas lega. Ia sudah terbiasa. Justru saat berada di bawah air, mendekati batas hidup dan mati, ia merasakan kedamaian. Meski begitu, ia tahu ia tak bisa tinggal di sana selamanya.
Selesai mandi, ia keluar dan mendapati bulu anjing kecil itu sebagian ikut basah. Akmal mengerutkan kening. Apa aku perlu memandikan makhluk ini juga? Pikirannya menolak. Membayangkan harus membuang waktu untuk memandikan anjing menyebalkan itu saja sudah bikin malas.
Namun, tiga menit kemudian…
Akmal justru terlihat sedang menyabuni bulu anjing kecil itu dengan tangannya. Bertolak belakang dengan dugaannya, si anjing tidak memberontak, malah pasrah. Pekerjaan itu pun jadi lebih mudah.
Kalau saja anak buahnya melihat pemandangan ini bos mereka memandikan anjing mungil sambil mengikuti instruksi dari ponsel pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak sampai perut sakit.
Padahal, untuk Samson saja, Akmal punya tim khusus yang merawatnya. Tapi singa itu terlalu sombong dan suka menyulitkan, kecuali Akmal sendiri yang mendampingi.
Setelah selesai, Akmal mengangkat anjing itu dari bak, membungkusnya dengan handuk kering, lalu menggosokkannya perlahan sesuai petunjuk di ponsel. Sementara ia mengeringkan rambutnya sendiri, si anjing kecil duduk manis di sampingnya. Samson memperhatikan mereka dari kejauhan, matanya penuh curiga.
Bukan karena anjing itu kuat, melainkan karena ia merasa posisinya sebagai “sahabat sejati” sedang terancam. Samson tahu ia harus menunjukkan siapa yang berkuasa, tapi bukan sekarang. Ia memilih menunggu waktu yang tepat.
Akmal sedang mengenakan pakaian terakhirnya ketika terdengar ketukan di pintu.
“Masuk,” ucapnya, sambil menutup kancing terakhir saat Bella melangkah masuk.
Samson menoleh sebentar, lalu kembali berbaring malas setelah tahu tamu itu bukan ancaman.
“Ada apa?” tanya Akmal sambil menggendong anjing kecil yang kini entah kenapa mulai ia sukai.
Bella menjawab dengan tenang, “Saya sudah menemukan klinik yang merawat Erik malam itu.”