Aluna Maharani dan Reza Mahesa sudah bersahabat sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan yang sama, lalu bersama-sama bekerja di PT. Graha Pratama hingga hampir tujuh tahun lamanya.
Kedekatan yang terjalin membuat Aluna yakin, perhatian kecil yang Reza berikan selama ini adalah tanda cinta. Baginya, Reza adalah rumah.
Namun keyakinan itu mulai goyah saat Kezia Ayudira, pegawai kontrak baru, masuk ke kantor mereka. Sejak awal pertemuan, Aluna merasakan ada yang berbeda dari cara Reza memperlakukan Kezia.
Di tengah kegelisahannya, hadir sosok Revan Dirgantara. Seorang CEO muda yang berwibawa dari perusahaan sebelah, sekaligus sahabat Reza. Revan yang awalnya sekadar dikenalkan oleh Reza, justru membuka lembaran baru dalam hidup Aluna. Berbeda dengan Reza, perhatian Revan terasa nyata, matang, dan tidak membuatnya menebak-nebak.
Sebuah kisah tentang cinta yang salah tafsir, persahabatan yang diuji, dan keberanian untuk melepaskan demi menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HAMPIR SALAH PUKUL
"Kau sudah pulang?" kata pria itu, seolah sudah menunggunya.
Jantung Aluna seakan jatuh ke perut. Dengan cepat ia bersuara tegas meski suaranya sedikit bergetar.
"Siapa kamu!?"
Perlahan Aluna melangkah dan meraba dinding mencari saklar lampu.
Tek!
Saat lampu menyala, pria itu berdiri dan masih membelakangi Aluna. Lalu tiba-tiba berbalik dengan wajah penuh semangat.
"NUNAAAAA!" serunya, berlari kecil sambil membentangkan kedua tangan hendak memeluk Aluna.
Belum sempat tubuhnya menyentuh, Aluna langsung menghajar dengan tote bag yang dibawanya.
BUK! BUK!
"Farhan!!! Kamu bikin aku hampir mati jantungan!" bentak Aluna sambil memukuli tubuh adiknya itu, wajahnya merah kesal.
"Hehe, maaf, Nuna. Aku cuma pengen kasih kejutan," jawab Farhan sambil cengengesan.
"Nuna apaan, nih rasain." Aluna kembali memukuli adiknya lagi.
****
Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di ruang tamu. Di meja sudah ada martabak yang tadi dibelikan Reza. Farhan melahapnya dengan semangat.
"Emmm~ martabak telur! Makasih ya, Nuna!" ucapnya sambil mengunyah.
"Bukan aku yang beli, itu Reza," jawab Aluna ketus sambil melipat tangan di dada.
Farhan terkekeh lalu mulai bercerita tentang kehidupannya di kampus. Tentang dosen killer yang suka ngasih kuis mendadak, tentang tugas kelompok yang selalu telat setor, sampai tentang hobinya main futsal tiap akhir pekan.
Aluna mendengarkan setengah hati, sambil sesekali menyeruput teh hangat.
Namun, dari nada suaranya, Aluna tahu arah pembicaraan adiknya. Ia sudah hafal betul gaya Farhan. Kalau sudah cerita panjang lebar, pasti ada ujungnya.
Dan benar saja, Farhan akhirnya menatapnya dengan wajah memelas.
"Ehm… Nuna~ Aku ke sini sebenernya mau minta uang juga. Uang kosan, sama tugas-tugas agak numpuk, jadi butuh biaya tambahan."
Aluna mendengus keras, dan menggelengkan kepalanya karena kelakuan adiknya itu.
"Aku udah duga. Dasar. Kamu kalau tiba-tiba datang, pasti ada maunya."
"Nuna… plis. Sekali ini aja. Aku janji belajar lebih rajin kok." ujar Farhan dengan senyum andalannya.
Aluna menghela napas panjang. Bagaimanapun, ia tetap kakak. Perlahan ia mengambil dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu menyerahkannya.
"Nih. Jangan kebanyakan gaya di kampus. Belajar yang bener. Kalau sampai aku tau kamu main-main, aku nggak mau kasih uang lagi."
Farhan langsung mendekat dan memeluknya "Makasih banyak, Nuna! Kamu emang kakak yang terbaik."
Aluna yang merasa geli sekaligus jijik, mendorong kecil tubuh adiknya itu, hendak melepas pelukannya. Bukan jijik karena Farhan kotor, tapi karena Farhan adalah adiknya ^^.
"Issss. Ya ya, sudah sana pulang. Aku mau istirahat"
Farhan pun berpamitan. Namun, bukannya langsung pergi, beberapa menit setelah Aluna menutup pintu ia malah kembali usil.
Ting tong!
Aluna bangkit dari sofa dan berjalan membuka pintu. Wajahnya jelas sangat kesal setelah tau Farhan yang mengerjainya.
Lalu ia menutup pintu lagi. Beberapa detik setelah ia duduk, bel kembali berbunyi.
Ting tong!
"Farhan! Jangan macem-macem! Kalau kamu nggak pergi, aku ambil lagi uang tadi." teriaknya dari dalam.
Dan tetap saja. Beberapa menit kemudian, bel berbunyi lagi, kali ini dengan jarak agak lama.
Ting… tong…
"Ya ampun! Anak ini!"
Aluna berjalan cepat ke pintu dan meraih sandal di dekatnya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Wajahnya sudah penuh amarah.
Dengan geram, ia membuka pintu lebar-lebar.
"FARHAN!!! SIAP-SIAP KEPALAMU..."
Namun tangannya yang hendak melayangkan sendal itu terhenti.
Di depan pintu, bukan Farhan. Melainkan Revan.
Revan berdiri tegak, mengenakan kaos kasual biru tua, wajahnya tenang seperti biasa. Pandangannya berhenti sejenak ke arah sandal yang masih terangkat di tangan Aluna. Keningnya sedikit berkerut.
"Farhan?" tanyanya pelan, jelas heran.
Aluna terpaku. Wajahnya langsung panas, seolah darah mengalir deras ke pipinya. Cepat-cepat ia menurunkan sandal itu dan menyembunyikannya di belakang punggung.
"Re… Revan? Kamu… ngapain di sini?” suaranya terbata, jelas terlihat gugup.
Revan menahan senyum kecil, lalu mengeluarkan sebuah kantung kecil dari sakunya.
"Aku tadi singgah sebentar ke apotek buat beli vitamin. Terus nggak sengaja liat salep gel ini," ujar Revan sambil mengangkat salep tersebut.
"Katanya bisa bantu menghilangkan bekas luka. Jadi aku mampir buat nganterin." sambungnya. Matanya sedikit menyipit, ada senyum tipis di sudut bibirnya.
"Tapi… ternyata sambutannya lumayan heboh juga, ya."
Aluna menggeleng cepat. "Tadi aku kira kamu itu Farhan…" ucapnya gugup, berusaha mencari alasan.
"Dia adik aku, suka banget usil, tadi sempat ngerjain aku dengan mainin bel."
Revan mengangguk kecil, seolah mengerti. Senyumnya makin melebar melihat ekspresi canggung Aluna.
Aluna hanya bisa terkekeh kaku, lalu buru-buru membuka pintu lebih lebar.
"Masuk aja, Van."
Revan melangkah masuk dengan santai, matanya menyapu sekeliling ruang tamu Aluna. Sementara itu, Aluna dengan gerakan terburu-buru membereskan kotak martabak bekas ia makan bersama Farhan, dan segera ia bawa ke dapur.
Tak ingin terlihat kikuk terlalu lama, Aluna berinisiatif membawakan segelas air putih. Ia menaruhnya di meja ruang tamu di depan Revan.
"Ini, Van. Minum dulu, maaf ya cuma air putih."
Revan menerima dengan anggukan kecil, jemarinya menyentuh gelas itu.
"Makasih, Na. Ini aja udah cukup kok." katanya singkat, tapi nada suaranya terdengar hangat.
Sementara itu, Aluna duduk di ujung sofa, jarak yang sengaja ia buat cukup jauh. Namun dari ekor matanya, ia tahu Revan memperhatikannya.
Akhirnya, ingatan satu hari sebelumnya kembali menyeruak. Ingatan saat ia terbangun dan mendapati Revan ada di sisinya menemaninya tidur. Ingatan yang membuat dadanya berdegup tak menentu.
Aluna menelan ludah. Wajahnya panas lagi. Kali ini bukan karena sandal yang hampir ia layangkan, tapi karena sesuatu yang jauh lebih membingungkan.
"Van…" suaranya terdengar ragu, bahkan hampir tenggelam.
Revan menoleh, menatapnya dengan mata teduh penuh perhatian. "Hm?"
Aluna terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berani membuka mulut lagi.
"Pagi itu... Waktu kita habis tidur bersama..." Ia menunduk, tak berani menatap mata Revan.
"Kenapa… bajuku berbeda dari baju yang kupakai sebelumnya? Aku lihat baju yang kupakai sebelumnya berserakan di lantai."
Ada getaran jelas dalam suaranya. Ragu. Takut. Penasaran. Semua bercampur.
Revan masih terdiam beberapa detik, hanya menatap Aluna yang tampak begitu canggung. Lalu ia menaruh gelas kembali ke meja dengan hati-hati.
"Kamu yang ganti sendiri, Na." jawabnya santai.
Mendengar itu, Aluna langsung menghela nafas lega. Syukurlah tidak ada yang terjadi di antara mereka berdua pada malam itu.
"Tapi, Na." sambung Revan yang membuat Aluna menoleh cepat ke arahnya.
"Tapi apa, Van?"
Namun Revan memilih tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala.
"Nggak apa-apa, Na." ucapnya lalu menyerahkan salep yang tadi dibawanya.
"Kamu pakai ini ya, biar bekas lukanya cepat hilang. Kalau begitu aku pulang dulu. Terima kasih atas air minumnya." lanjut Revan sembari bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Aluna pun ikut berdiri, dan mengantarnya sampai depan pintu. Namun, saat hendak melangkah pergi, Revan kembali menoleh.
"Mau berangkat bareng besok pagi?" tanyanya tiba-tiba.
Aluna sempat terdiam beberapa detik, bingung harus menjawab apa. Tapi sebelum sempat membuka mulut, Revan sudah menimpali sendiri.
"Tidak ada penolakan, kamu sudah nolak ajakanku kemarin. Jadi, hari ini aku nggak mau ditolak lagi" ucap Revan sambil tersenyum.
Aluna terkekeh kecil. Pipinya memanas karena Revan mengungkit penolakannya kemarin saat ia diajak menghabiskan waktu bersama di akhir pekan.
"Iya, Van. Aku nggak nolak kok." jawab Aluna sambil tersenyum malu.
Mendengar jawaban itu, senyum tipis Revan berubah menjadi lebih lebar, tapi tetap tenang. Ada kepuasan tersirat di wajahnya sebelum akhirnya ia berbalik dan melambaikan tangan ke Aluna.
...----------------...
Info guysss, buat yang belum tau. "NUNA" itu adalah panggilan untuk Kakak wanita/perempuan di Korea. Dan karena Aluna suka banget dengan yang berbau Korea, akhirnya Farhan jadi korban pertamanya 😆
Jadi, Farhan mau nggak mau manggil Aluna dengan panggilan itu. Supaya apa? Supaya cuannya nggak di stop sama Aluna (≧▽≦)
BONUS VISUAL FARHAN. UNTUK VISUAL TOKOH YANG LAIN BISA CEK DI IG IQUEENA YA 🥰
kebanyakan nonton Drakor lu lun..
kali dia emang mau ngasih duit segepok,tapi nyuruh jgn ninggalin anaknya
abis....takut belok beneran
ini mumpung ada betina yg mau dan khilaf🤣🤣🤣
yg penting pasangan perempuan..
seenggaknya lega euy,anak gw ga belok
abis ga pernah ketawan gandeng cewek
di ga tau aja,udah kyk soang anknya maen nyosor Mulu🤣🤣