Dengan sisa-sisa tenaganya, akhirnya Anggapala berhasil membuat tempat untuk berteduh. Ia menyekah keringatnya dengan sebuah kain lusuh. Dalam kondisi seperti itu, terdengar dari samping suara langkah beberapa orang yang mendekatinya.
Mereka akhirnya hidup bersama dengan tujuan membangun sebuah tatanan kehidupan yang pada akhirnya banyak orang-orang yang hidup di daerah itu. Hingga dalam beberapa bulan saja, daerah itu menjadi tempat persinggahan para pedagang yang hendak ke arah Barat.
Pada akhirnya daerah itu sekarang menjadi sebuah daerah yang mempunyai banyak unsur seni dan budaya, bahkan daerah Cikeusik atau Gegesik mendapat julukan Kampung Seni.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XIX BAIRAWATANTRA
Sejak dulu tanah Jawa merupakan tanah yang subur makmur penuh kekayaan alam yang begitu melimpah. Segala jenis tumbuhan ada, semua hanya ada di sini di tanah ini. Menurut cerita orang-orang zaman dulu bahwa Jawa memiliki nama awalnya adalah Wahja. Stop. Kita lanjutkan episode di pedukuhan Cikeusik.
Pagi itu pedukuhan Cikeusik sangatlah bersahaja, dengan kehidupan warganya yang silih asah, silih asuh , dan silih asih. Pendek kata kehidupan masyarakat walau di pedukuhan tapi semua kebutuhan terpenuhi. Sebagai penghasil padi dengan kwalitas beras yang bagus , penghasil sayuran dengan tingkat nilainya yang baik , dan juga penghasil ternak yang memiliki keuntungan yang positif.
Suatu hari......
" Hari ini , kalian para kerani harus lebih mengutamakan kesejahteraan warga , mereka yang belum mapan berilah tanah garapan titisara , mereka yang butuh bantuan kasih dengan dana urunan , dan mereka yang kurang beruntung dalam mengolah tanah pertanian, sokong dana dengan sistem tangkong. Untuk itu , aku berpesan , jangan ada warga kita yang kurang makan apalagi sampai kelaparan , kalau ada dan itu nyata , maka kalian yang bertanggungjawab ke depannya," kata Ki Buyut.
" Baik Ki , kita di sini siap menciptakan kerukunan dan kesejahteraan dan kami menjamin untuk kelayakan mereka , baik kehidupan ataupun keamanannya," tegas Soma.
" Untuk lebih menjadikan semuanya terkendali , baiknya akan aku susun kembali , Soma , kau jadi kerani Umum , untuk kerani Adat aku tunjuk Wirya , dan kau Pandanala jadi kerani Jaga , selanjutnya kau Dula , jadi kerani Warga , serta Nyi Mesti jadi kerani Perempuan," kata Ki Buyut.
" Baik Ki , akan kami jalankan kepercayaan itu , semoga selalu amanah," kata Soma.
Kepedulian Bulhun atau Ki Buyut kepada warganya begitu dirasakan oleh semua kalangan, sehingga nama beliau sekarang dipergunakan untuk nama-nama tanah pekuburan di daerah ini. Apabila menyebut nama pekuburan selalu disebut Kibuyutan.
Selama beberapa tahun Ki Buyut memerintah pedukuhan Cikeusik , di tahun ketiga sebelum masa akhir pemerintahannya , tanah Cikeusik kedatangan pengungsi dari bumi Andalas atau Sumatera , yakni dari daerah Bengkalis.
Kala itu , pedukuhan Cikeusik sedang menghadapi musim panen padi. Masyarakat berharap hasilnya melimpah dan dapat mencukupi kebutuhan , syukur kalau bisa untuk menyimpan hingga musim tanam tiba. Dalam suasana yang penuh harapan itu , pedukuhan Cikeusik kedatangan sekelompok orang yang terdiri dari orang dewasa dan beberapa remaja serta anak-anak. Mereka datang ke daerah itu dengan tujuan untuk menyelamatkan diri dari kejaran para pemberontak di daerah asal. Tampak di antara mereka terlihat beberapa orang yang begitu dilindungi dan disanjung oleh yang lain. Ia seorang wanita masih muda namun kharismatik.
Wanita muda itu menghadap Ki Buyut di bangsal pedukuhan , terlihat sedang bercengkrama dengan begitu serius.
" Salam sejahtera tuan , kami sangat membutuhkan perlindungan dari tuan dengan tujuan , kami ingin hidup di tempat ini sebagai balas budi , kami beserta yang lain ingin membangun tempat ini , sekiranya tuan menerima kehadiran kami di sini," kata wanita itu.
" Jangan panggil aku dengan kata tuan ki sanak , di sini tidak untuk perbudakan ataupun tempat menelantarkan orang , kami di sini saling menghargai setiap pendatang , kalau memang kalian berkenan di tempat ini , kami berbangga hati , menambah saudara baru , semoga ini sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta," jawab kj Buyut.
" Syukurlah kalau anda menerima kami untuk hidup di sini," kata wanita itu.
Sejak saat itulah , pedukuhan Cikeusik semakin ramai dengan kehidupan yang penuh kedamaian. Dalam beberapa hari saja para pengungsi tadi mampu untuk beradaptasi dengan warga sekitar. Bahkan banyak di antara mereka yang menikah. Dengan demikian pedukuhan Cikeusik mengalami pembauran semakin banyak. Dengan berbagai pengucapan bahasa juga pembauran budaya membuat semakin komplek adat dan tradisi.
Suatu hari Ki Buyut mengadakan rembugan bersama di bangsal pedukuhan. Tampak yang hadir di situ semua kerani , para beukeul , juga tampak pula wanita ningrat tadi. Setelah saling memperkenalkan diri, tercatat data bahwa wanita ningrat itu dijuluki sebagai Nyai Bengkalis alias Nyai Kalis. Ia merupakan keturunan bangsawan dari daerah asalnya. Ia juga selalu didampingi seorang pembantu pribadinya yaitu Nyai Kuning. Juga ada penasehat dirinya yaitu Aki Sawerga atau Breh Mandapa. Di samping itu terdapat seorang laki-laki yang tampan , ia bernama Jaya Kusuma.
Dalam kesempatan itu Ki Buyut bercerita tentang penghuni tanah Jawa zaman dulu yang sering melakukan Bairawatantra. Semakin betah mendengar ceritanya membuat banyak warga menghabiskan waktunya di bangsal pedukuhan. Akibat sering digunakan untuk menerima para tamu dan juga sebagai tempat bercengkrama maka nama bangsal berubah menjadi sebutan Pendopo.
*Di pendopo Cikeusik kini semakin banyak yang menggunakan untuk pertemuan para aparat pedukuhan. Siang itu tampak Ki Buyut sedang bercerita tentang kebiasaan para leluhur dulu , tepatnya di bagian utara pedukuhan yang sekarang dinamakan Panggung Wayang. Dulu tempat itu tempat untuk pemujaan. Begini tutur Ki Buyut , " Sebelum mengenal budaya dan agama banyak tempat-tempat di wilayah ini sebagai tempat pemujaan yaitu dengan mengorbankan nyawa manusia dan pemujaan kepada Dewi Durga , salah satunya di Panggung Wayang," katanya.*
*" Apa tempat itu sekarang jarang dijamah orang Ki," tanya Sawerga.*
*" Betul , dan tempat itu mengapa disebut panggung wayang , soalnya bagi mereka yang bernasib apes , maka orang itu akan menjadi tumbal dan hidup di alam lain," kata Ki Buyut.*
*" Lantas , apakah korban itu menjadi makhluk jejadian Ki?" tanya Soma.*
*"Tidak , dunia ini tidak ada istilah makhluk jejadian, karena orang yang memiliki ilmu itu telah mokswa dari dulu , adapun yang ada cuma sebatas ilmu Mencala," kata Ki Buyut.*
*" Terus ceritanya bagaimana lagi Ki," kata Wirya.*
*" Ilmu nenek moyang kala zaman primitif dikenal dengan nama Bairawatantra , yaitu ilmu memakan tumbal manusia berharap menjadi kesaktian yang sempurna , tapi itu selalu gagal , sehingga banyak penganut yang keluar dari perkumpulan ilmu itu. Dan lagi bila gagal maka ia akan terkena sendiri. Di samping itu sering penganutnya gila selamanya," tutur Ki Buyut.*
*" Apa sampai sekarang ilmu itu ada Ki," tanya Sawerga.*
*" Semua sudah berubah , ilmu telah lenyap bersama peradaban bahkan si pemilik ilmu itu matinya tragis , tubuhnya tertusuk bambu dari dubur tembus ke kepala," kata Ki Buyut.*
*" Hiiiiiii....mengerikan," sahut Wirya.*
*Pada malam harinya , Ki Buyut menerima kunjungan Nyai Bengkalis dan Nyai Emban Kuning , dengan tujuan ingin mengubah tatanan pedukuhan Cikeusik , yakni dengan memperluas wilayah supaya menambah penghasilan semakin mapan , yaitu membuka lahan pesawahan di wilayah Selatan.*
*" Begitulah kira-kira langkahnya Ki, dan semoga berhasil segala usaha dari kita semua," kata Nyai Bengkalis.*
*" Tak mengapa Nyai , itu tujuan mulia dan semoga menjadi bahan pembicaraan di pendopo ini bersama para kerani," jawab Ki Buyut.*
*Dalam benak Ki Buyut , terpikir tentang masalah besar bangsa siluman di negeri Trojogan. Negeri bangsa kasat mata yang sampai sekarang terkenal angkernya.*
*Jangan lupa di episode terakhir , membahas Negeri Trojogan*.
Q.Sambling Gegesiklor
Cirebon
Jawa Barat