NovelToon NovelToon
Jodoh Setelah Diselingkuhi

Jodoh Setelah Diselingkuhi

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:997
Nilai: 5
Nama Author: zennatyas21

"Aku mau kita putus!!"

Anggita Maharani, hidup menjadi anak kesayangan semata wayang sang ayah, tiba-tiba diberi sebuah misi gila. Ditemani oleh karyawan kantor yang seumuran, hidupnya jadi di pinggir jalan.

Dalam keadaan lubuk hati yang tengah patah, Anggita justru bertemu dua laki-laki asing setelah diputuskan pacarnya. Jika pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kalau ini malah tak kenal tapi berujung perjodohan.

Dari benci bisa jadi tetap benci. Tapi, kalau jadi kekasih bayaran ... Akan tetap pura-pura atau malah beneran jatuh cinta?

Jangan lupa follow kalau suka dengan cerita ini yaa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JSD BAB 19

Pada saat jam makan siang Anggara duduk di sebuah cafe tak jauh dari kantornya. Sambil menunggu pesanan, pria berjas abu-abu itu dihampiri oleh seseorang.

"Permisi, Pak. Maaf, kalau saya mengganggu waktunya sebentar. Ini ada orang mau lamar kerja di rumah sebagai asisten pribadi."

Anggara menoleh dengan wajah serius. Ucapan langsung dari sang supir pribadinya yang bernama Ragil.

"Siapa?"

"Ini, Pak."

Seseorang yang berdiri di sebelah Ragil pun memajukan tubuhnya sedikit mendekat ke posisi Anggara. Dengan penampilan berbaju pendek warna abu-abu, dan celana panjang hitam.

"Perkenalkan, Pak. Saya Elvino Prasetya. Saya ingin melamar pekerjaan di rumah Bapak dengan menjadi asisten pribadi."

Ragil, menatap pria yang umurnya lebih muda darinya dengan tatapan aneh. Anggara pun menyadari, tetapi ia tak ingin ambil pusing.

"Kamu bisa menjadi orang yang siap bersama saya ke manapun? Kalau mampu, silakan bekerja dengan jujur dan mengikuti arahan dari Pak Ragil." Elvino mengangguk patuh kepada Anggara.

Sementara Pak Ragil? Wajahnya tampak ragu begitu bosnya asal menerima seseorang tanpa seleksi apa pun.

•••••

Sementara Anggita dan Widi kini sudah berada di rumah Sarah. Gita memilih untuk menemani Sarah sesekali karena bagaimanapun ia sudah menjadi anaknya juga.

Dalam setiap bangunan dan barang-barang yang ada di sana dilihat oleh Anggita. Wajahnya seakan memahami arti rumah tersebut.

"Ibu udah berapa lama di rumah ini?" tanya Anggita pelan, menatap seorang wanita paruh baya yang telah dianggap seperti ibu kandungnya.

Sarah menatap atap rumah sambil menunjuknya. "Kalau dihitung perkiraan ya dari Widi umur sepuluh tahun. Berarti sudah sekitar tiga belas tahun kami tinggal di sini."

Dengan sopan Anggita mengangguk. Sementara Widi duduk di kursi kayu tua tak jauh dari posisi sang istri. Gita dan Bu Sarah duduk di amben. Tempat duduk sederhana yang terbuat dari kayu serta rotan.

"Udah lama banget berarti ya, kalau boleh tahu Widi jadi ... Preman itu sejak kapan, Bu?" Pertanyaan tersebut sontak membuat Widi terkejut. Kepalanya bahkan sampai menoleh ke Anggita.

"Wah, kalau itu belum lama, Nak. Widi aslinya anak baik-baik, cuma semenjak ayahnya pergi dan gak pulang sampai sekarang dia jadi preman begitu. Ya, mohon maaf ya, Nak Gita. Anak ibu ini kerjanya kadang bandel dibilangin jangan nyopet dan malakin orang."

"Ohh ... Gitu, emangnya udah pernah ketauan berapa kali?"

"Ehm, soal berapa kalinya sih gak bisa dihitung. Cuma yang aku alami baru satu kali masuk penjara dan dihukum warga tiga kali dalam dua tahun."

"Hah? Serius? Kok bisa sih ...." Anggita berubah menjadi orang yang tidak seperti biasanya.

"Yaa ... Tapi, sebenarnya aku udah pengen keluar. Cuma gak taunya si Ridho asal perjanjian aja sama ayah kamu. Jadinya aku gak bisa langsung keluar kalau udah begini."

Penjelasan dari Widi sontak membuat Anggita merasa bersalah. Tatapannya menjadi tidak enak, Sarah pun seketika menyadari.

"Eh, Nak Gita jangan merasa bersalah atau bagaimana ya. Lagian selama sama kamu kan dia gak berbuat kejahatan," tutur Sarah lembut.

Anggita menggeleng. "Memang aku gak seharusnya marahin Widi kan, Bu? Soalnya pas awal-awal aku marahin dia karena dia terima perjodohan ini cuma biar dapet uang banyak. Padahal dari ayah aku yang niatnya baik ke Widi, tapi aku malah gak ngertiin dia."

Sarah tersenyum haru, jarang sekali beliau menemukan wanita seperti Anggita. Anak orang kaya tapi hatinya begitu mampu perhatian pada anaknya.

"Kamu jangan merasa gitu, aku gak masalah. Toh, kamu marah juga karena aku salah," sahut Widi.

Gita menggeleng kuat. Tangannya terangkat mengusap pipi Widi. Sarah tak menyangka pemandangan itu terjadi. Bahkan pada anaknya yang terikat perjodohan dengan anak orang kaya.

"Sudah, tidak apa, Anggita. Kalau kamu mau di sini ibu akan senang, dan kalau Gita gak bisa di sini juga gak apa-apa."

Perempuan itu tersenyum. Posisi duduknya sedikit bergeser lebih dekat dengan Sarah. Satu tangan menggenggam tangan keriput ibunya Widi. "Aku mau di sini dulu sampai besok pagi, Bu. Biar Ibu gak kesepian."

"Kamu yakin, Anggita? Memangnya kamu bisa tidur di rumah aku?"

"Bisa. Selagi kamu juga aman di sini, kenapa enggak?" Jawaban Anggita membuat dua orang di dekatnya tersenyum. Tak lama kemudian tiba-tiba Widi memegang dadanya seakan terasa sakit.

"Argh ... Kenapa sakit, ya. Aduh,"

Gita dan Sarah seketika khawatir karena Widi sampai memegang perutnya juga. "Widi, kamu kenapa, Nak? Dada kamu sakit?"

Sang istri baru bergeser posisi menjadi lebih dekat. Widi menoleh ke ibunya sekilas. Tubuhnya sedikit membungkuk karena menahan sakit di perut.

"Apa yang sakit, Mas? Kamu kenapa?" Kali ini raut wajah Gita terlihat begitu ketakutan.

"Gak apa-apa, dada sakit kayak ditusuk. Tapi, perut yang lebih sakit. Kayaknya masuk angin," ujar Widi.

Bukannya langsung berusaha menyembuhkan suaminya. Perempuan itu justru memeluk erat dari samping. Hal tersebut membuat Sarah terharu. Perjodohan tanpa rasa cinta ternyata tidak sepenuhnya salah.

"Jangan sakit, ya. Punggung kamu masih sakit loh, masa sekarang aku kerokin? Nanti kalau tambah sak—"

"Aku gak apa-apa, Sayang."

Sedetik kemudian Anggita mengulum senyum. Sedangkan Widi malah menutup mulutnya. "Aku ... Bukan, maksudnya aku gak apa-apa, Anggita."

Wajah laki-laki itu sudah malu terhadap istrinya karena keceplosan. Tak lain sang ibu juga tersenyum bahagia melihat keakraban mereka.

"Panggil sayang juga gak masalah kali, kan kita udah suami istri." Penuturan Gita membuat Widi menarik napas lega.

"Jadi, beneran udah sah nih?" goda Widi sambil menaikkan alisnya.

Anggita kembali memeluknya. "Ya beneran dong, masa perjodohan terus."

•••••

Berbeda keadaan dengan Ridho dan Shinta. Sore hari pelanggan setia mulai berkurang. Hal itu membuat es buatan Shinta pun masih tersisa, walau tinggal sedikit.

Turun dari tempat duduk di gubug kecil, Shinta menarik napas berat. Bahkan wajahnya tampak kelelahan, ditambah pikiran yang tak tenang.

"Lo kenapa, Shin? Masalah penjualan hari ini, ya?" tanya Ridho, ikut menyusul berdiri di tepi jalan raya.

Perempuan itu menoleh dengan semburan angin yang membuat rambutnya menutupi sebagian wajahnya.

"Enggak, gue lagi pengen berdiri aja di sini. Cari ngin, sekaligus cari solusi dari masalah hidup."

Diam-diam tangan Ridho terangkat satu dan merapikan rambut Shinta yang berantakan. "Di gubuh kan udah seger, Shin. Kalau mau cari solusi masalah jangan pakai cara berdiri di pinggir jalan lah."

Shinta mendadak menatapnya sedikit tajam. "Emang lo siapanya gue? Sok banget pengen tahu kehidupan gue," celetuknya.

Sontak tangan Ridho turun secepat kilat. Tubuhnya bergeser membuat jarak dari Shinta.

"Ya bukan siapa-siapa sih, gue cuma bertugas jagain lo. Ya ... Sebisa mungkin gue akan selalu membantu masalah lo. Apalagi dulu gue pernah punya utang budi sama Bang Janu."

"Utang budi?" Shinta mengalihkan pandangannya jadi menatap laki-laki itu.

"Iya utang budi. Dua tahun yang lalu gue kena musibah. Pas lagi jadi preman lah, tapi dulu sadis banget sih. Karena gue belum gabung sama abang lo."

Hari mulai semakin sore. Angin di tepi jalan pun terasa dingin. Sebelum melanjutkan ceritanya, ia lebih dulu melepas jaketnya lalu dikenakan pada Shinta.

Selepas itu mereka kompak kembali duduk di gubug es dawet tersebut.

"Musibah apa kalau gue boleh tahu?" tanya Shinta penasaran.

"Gue pernah kecelakaan di jalan ini. Tepatnya di jembatan itu tuh, gue nabrak pembatas jalan kayaknya terus ya udah hancur semuanya aja. Gue sempat koma dua hari tapi alhamdulilah masih dikasih kesempatan untuk hidup. Dan itu abang lo yang pertama kali jadi saksi, nolongin nyawa gue di saat semua orang gak mau nolongin. Karena selain banyak darah, ya karena gue preman jahat."

Tanpa disadari Shinta meneteskan air matanya. "Terus?"

"Semua biaya dia yang tanggung hasil kerja keras sama anak buahnya."

"Keluarga lo? Maaf, ke mana emangnya?"

"Waktu itu keluarga lagi berantakan. Mereka di luar kota, bahkan gak ada yang jengukin gue. Lo kenapa ngeliatin gue sampai nangis?" Pertanyaan itu membuat Shinta cepat-cepat menghapus air matanya.

"Enggak. Lanjutin gih,"

Sambil menatap lurus jalanan dan kendaraan berlalu lalang semakin ramai, Ridho memperhatikan Shinta.

"Jangan nangis, ya. Lagian itu juga udah masa lalu. Cuma balas budinya gue sekarang jagain lo. Sekalipun gue harus bertaruh nyawa, gue siap."

"Eh! Sembarangan banget mulut lo!"

Ridho meringis setelah lengannya dipukul oleh Shinta cukup keras. "Lah, hidup gue tersisa buat jagain lo doang ini. Posisi gue sama Widi udah terancam, tinggal nunggu siaran nama gu—"

Secepat kilat Shinta membungkam mulut Ridho. "Mulut lo kalau ngomong jangan asal ceplos! Lo pikir omongan gak bisa jadi doa, hah!"

Laki-laki tersebut malah terkekeh. Sehingga membuat Shinta menurunkan tangannya.

"Gue ini preman. Apa layak buat lo takutin semisal gue pergi selamanya? Kenapa harus takut, semua manusia kan bakal kembali."

"Ya gak harus gitu juga lah. Emangnya lo gak mau nikah?" Pertanyaan itu seketika membuat Ridho terkekeh.

"Nikah sama siapa? Emangnya ada yang mau sama preman? Jangankan orang lain, lo juga pasti gak mau punya pasangan yang berandal," ujar Ridho.

Shinta diam-diam menatap laki-laki itu lekat. "Lo ganteng juga ya,"

"Abang lo lebih ganteng. Gue mah siapa," jawab Ridho menoleh sekaligus terkekeh.

Saat langit mulai menunjukkan waktunya pulang, tiba-tiba gubug es dawet itu didatangi tiga orang. Jelas Ridho mengenalnya, tetapi Shinta justru langsung waspada. Karena tiga orang yang seperti preman tersebut membawa senjata tajam.

1
Lonafx
kacau banget cwok kayak Arya, gak modal😅

hai kak, aku mampir, cerita kakak bagus💐
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!