Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan Dwiki
Sementara itu, hari ini keluarga besar Danish, kakeknya Emily dan Disa mengadakan kumpul mendadak di rumah utama. Dwiki, anak kedua yang biasanya tinggal di luar kota, juga pulang khusus untuk hadir. Sengaja mengadakan ini di hari weekend karena menunggu Dwiki dan cucu-cucunya libur.
Andri dan Erna tampak sumringah sejak pagi. Senyum mereka tak pernah lepas, bahkan sejak dari rumah mereka tadi.
"Akhirnya... semuanya berjalan sesuai rencana," ucap Andri, menepuk-nepuk meja sambil menahan tawa puas.
Istrinya ikut menimpali, "Iya, sekarang Kak Rakha sudah resmi disingkirkan dari perusahaan pusat, dan aset-asetnya juga sudah kita kuasai."
Lebih dari itu, mereka tampak semakin puas karena Rakha — ayah Emily — bahkan sudah tidak diakui lagi sebagai bagian keluarga besar. Mereka menganggap Rakha sudah tidak mempunyai apa-apa.
Seolah merayakan kemenangan, beberapa anggota keluarga mulai menyiapkan minuman dan makanan. Ruangan itu seperti berubah menjadi pesta kecil.
Namun, di tengah euforia itu, tak ada yang menyadari bahwa Disa tak terlihat sejak pagi. Baru ketika Dwiki mengedarkan pandangan, ia bertanya, "Eh… Disa mana? Dari tadi gue nggak lihat dia."
Semua orang saling pandang. Erna mencoba mengingat. "Waktu kita berangkat tadi, dia masih tidur. Sudah aku bilang supaya ikut ke sini."
Danish mengetuk-ngetuk tongkatnya di lantai, suaranya terdengar tegas. "Kalian ini bagaimana? Masa sampai lupa sama anak sendiri?"
Erna buru-buru menjawab, "Sudah, Pa. Tadi waktu berangkat dia nggak mau ikut. Katanya mau nyusul agak siangan."
"Ya, tapi sekarang sudah siang, kok belum kelihatan juga," gumam Dwiki, mulai curiga.
Dengan sedikit raut khawatir, Erna mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Disa. Nada sambung terdengar, tapi berkali-kali panggilannya tak dijawab.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Dwiki.
"Entahlah… mungkin lagi mandi," jawabnya sambil memaksakan senyum, mencoba menutupi rasa cemas yang mulai menyelinap.
Sementara itu, beberapa anggota keluarga mulai berbisik-bisik, merasa ada sesuatu yang janggal. Termasuk Thalita, istri dari Dwiki. Dia menyayangkan sikap ayah mertuanya yang lebih mementingkan ego.
Sementara di sisi lain, di sebuah apartemen yang jauh dari suasana riuh itu, Disa duduk di sofa dengan wajah kusut. Matanya sembab, rambutnya berantakan, tanda ia belum mandi sejak pagi.
Ponselnya bergetar di meja, menampilkan nama Mama. Disa hanya melirik sekilas, lalu memalingkan wajah. Ia tak berniat mengangkat. Lebih tepatnya ia enggan diganggu.
Lelaki yang dari tadi berdiri di dekat dapur, memperhatikan. "Kenapa nggak diangkat?"
"Nanti ketahuan gue ada di mana." jawab Disa.
"Ya, sih." lelaki itu berjalan menuju sofa dan duduk di samping Disa. "Tapi lo gak papa, hari ini bukannya ada om lo?"
"Justru karena ada om gue, dia seperti detektif, apalagi Tante Thalita yang pasti sudah membela Emily."
"Bisa begitu?" lelaki itu bersender di bahu Disa.
"Hm..."
Lelaki itu mendongak, "Di sini ngapain, kita?"
"Ajak teman lo ke sini? Gue gak mau kalau gak ada temannya."
"Mereka lagi sama keluarganya, kita aja. Paling nanti sore mereka ke sini."
***
Sementara itu di kediaman Danish.
Dwiki menatap ayahnya, Danish, dengan sorot mata yang penuh tanya. “Pa, jawab yang jelas. Kak Rakha bilang benda itu… ada di tas Emily. Itu bener atau enggak?”
Andri yang duduk di sebelahnya langsung menyela, nadanya meninggi. “Untuk apa menanyakan itu? Jelas-jelas Disa itu gadis baik-baik! Ngapain bahas itu lagi? Bukannya Kak Dwi juga sudah muak sama Kak Rakha?”
Dwiki menarik napas panjang, menatap Andri tajam. “Awalnya iya. Gue memang muak karena keluarga besar jadi taruhannya. Tapi setelah gue ulang-ulang video klarifikasi Kak Rakha… gue yakin kalau Kak Rakha memang benar. Bahkan lihat sendiri, dia sampai rela melepaskan semua asetnya demi kebenaran.”
“Udah! Gak usah dibahas lagi!” bentak Andri sambil mengetukkan jarinya di meja. “Lagian Papa juga membenarkan.”
Dwiki memutar kepalanya ke arah Danish. “Pa?” tanyanya lagi, kali ini lebih pelan tapi tegas, seperti memaksa sang ayah untuk menjawab dengan jujur.
Danish terdiam sejenak. Tatapannya berpindah dari Dwiki ke Andri, lalu ke seluruh anggota keluarga yang menunggu jawabannya. “Kalian sudah dewasa. Gak usah ribut terus,” ucapnya datar, menghindari inti pertanyaan.
Keheningan menyelimuti ruangan sesaat. Dwiki menyandarkan punggungnya, tapi wajahnya jelas menunjukkan ia belum puas dengan jawaban itu. Sementara Andri memalingkan wajah, seperti tak mau diskusi berlanjut.
Dwiki menghela napas dalam-dalam, lalu mengubah arah pertanyaan. “Kalau begitu… sekarang rumah Kak Rakha di mana?”
Danish dan Andri saling pandang sebentar, sama-sama mengangkat bahu.
“Mungkin dia ngontrak rumah,” jawab Danish singkat.
Andri menimpali, nada suaranya sarkastis, “Gue masih ingat banget gimana dia menguasai semua harta Papa.”
Dwiki menoleh cepat. “Dia bukan menguasai, Andri. Mama sendiri yang minta Kak Rakha untuk memimpin menggantikan Papa.”
Andri terdiam, tapi matanya menunjukkan ia tak sepenuhnya setuju.
Ya, perusahaan itu memang Rakha pimpin atas permintaan ibu mereka sebelum meninggal—lebih tepatnya ibu sambungnya Rakha. Waktu itu, kedua adiknya masih menempuh pendidikan. Rakha menerima amanah itu tanpa banyak protes.
Di tangannya, perusahaan berkembang pesat. Cabang baru dibuka di beberapa kota. Rakha tetap mengelola kantor pusat, sedangkan kedua adiknya dipercaya memimpin di kantor cabang.
Dwiki menatap kosong ke arah jendela. “Kalau dia mau, dari dulu dia bisa aja ambil semua keuntungan itu buat diri sendiri… tapi dia gak pernah lakukan. Justru sekarang… semua ini kayak dibalik jadi kesalahan dia.”
Andri terdiam, mengatupkan bibir. Danish hanya menghela napas berat, seakan tak ingin membuka luka lama yang lebih dalam.
***
Beberapa hari setelah percakapan itu, Dwiki tak bisa mengusir rasa penasaran dari kepalanya. Malam-malamnya dihabiskan mencari jejak, mulai dari kenalan lama hingga data alamat di berkas perusahaan. Hingga akhirnya, sebuah nama jalan di pusat kota muncul dari hasil penelusurannya.
Siang itu, Dwiki mengajak Danish dan Andri. “Gue udah tahu rumah Kak Rakha,” ucapnya, menatap mereka serius.
Andri sempat ragu, tapi Danish akhirnya setuju. “Baiklah… kita lihat sendiri.”
Perjalanan menuju alamat itu memakan waktu hampir satu jam. Begitu mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan cat dinding mulai pudar, suasana hening menyelimuti. Tak ada gerbang tinggi atau taman luas seperti dulu. Hanya halaman kecil dengan sepeda tua terparkir di sudut.
“Itu… rumahnya?” Andri setengah berbisik, seolah tak percaya.
Dwiki mengangguk pelan. “Iya. Dari luar aja udah kelihatan dia beneran mulai dari nol lagi.”
Mereka berjalan mendekat. Pintu kayu itu terbuka sedikit, dan sesosok pria keluar—Rakha. Penampilannya jauh berbeda dari citra pengusaha yang dulu mereka kenal: kemeja lusuh, rambut agak berantakan, dan wajah yang jelas-jelas menyimpan lelah.
Rakha terhenti begitu melihat mereka bertiga. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia berkata lirih, “Kalian… datang.”
Dwiki menelan ludah, berusaha menahan emosi. “Kita perlu bicara, Kak.”
Rakha menatap mereka satu per satu, lalu mempersilakan masuk. “Kalau kalian datang untuk menghakimi, saya gak punya banyak tenaga."
"T-tidak, kami hanya...lebih tepatnya aku, ya, aku. Aku kangen sama Kak Rakha." Dwiki terlihat gugup.
Namun Thalita yang ikut mereka dari tadi mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sangat ia rindukan. "Kak Indira di mana?" tanyanya.
Deg
Bersambung