NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:898
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19 mulai retak

Cahaya senja menyinari lobi gedung kantor Willson Corp saat Rania melangkah masuk dengan gaun simpel namun elegan berwarna nude pastel. Tatapannya menyapu ruangan sebelum akhirnya menangkap sosok Zhavira yang sedang berbincang dengan sekretaris divisi lain. Senyum Rania muncul spontan, bukan karena tulus, tapi penuh rencana.

“Zhavira, ya?” ucapnya hangat, mendekat tanpa suara langkah.

Zhavira menoleh dan sejenak terlihat terkejut. “Iya, saya Zhavira. Kamu siapa, ya?”

“Oh, maaf… aku Rania, teman masa kecilnya Makes,” katanya seraya tertawa ringan. “Baru beberapa hari ini aku kembali ke Jakarta. Dengar-dengar kalian sudah tunangan, ya? Wah, selamat! Kalian cocok banget,” katanya dengan tatapan seolah kagum, namun sorot matanya penuh penilaian tajam.

Zhavira tersenyum sopan, meski naluri perempuannya mulai menaruh curiga pada nada bicara Rania yang terdengar terlalu... manis.

Di balik itu semua, Rania menyembunyikan rasa tak terima. Ia memang tahu kalau Makes adalah anak orang kaya sejak remaja, tapi waktu itu ia terlalu sibuk menjalin cinta dengan laki-laki yang akhirnya menghancurkan hatinya. Kini, setelah patah hati, ia kembali... dan melihat Makes telah menjadi pria mapan yang tampan, dewasa, dan... sudah bertunangan.

Keesokan Harinya

Rania kembali muncul, kali ini di lobi kantor saat Makes baru tiba bersama Zhavira.

“Makes!” seru Rania ceria sambil melambaikan tangan. Ia menghampiri keduanya seolah sangat bahagia bertemu lagi.

“Oh, Rania.” Makes tersenyum ramah. “Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?”

“Lagi suntuk di apartemen, jadi kepikiran ke sini. Kangen ngobrol sama kamu, hehe. Tapi... kamu sibuk nggak?” tanyanya sambil melirik Zhavira sekilas.

Zhavira yang mendampingi Makes hanya tersenyum, meski terasa canggung. Makes sempat menoleh padanya sejenak, seolah meminta izin.

“Nggak apa-apa, aku langsung ke atas dulu,” ujar Zhavira lembut, menyembunyikan perasaannya. Dia tahu apa yang harus dilakukan tunangan yang dewasa: percaya.

Tapi saat melangkah pergi, ia mendengar Rania berkata pelan, “Senang banget bisa dekat kamu lagi, Makes... beneran, ya. Dulu aku bodoh banget ninggalin kamu.”

Langkah Zhavira terhenti sejenak, sebelum ia lanjut berjalan. Kata-kata Rania bukan untuknya, tapi sengaja dilontarkan cukup keras agar ia dengar. Sekilas, Zhavira menoleh. Rania menatapnya dengan senyum lebar, seperti wanita tak berdosa.

**

Beberapa Hari Berikutnya

Entah sejak kapan, Makes jadi sering mengantar Rania makan siang. Alasannya selalu sama. “Kasihan, dia baru putus dan nggak punya siapa-siapa di Jakarta.”

Zhavira tak pernah mengekang. Ia diam. Tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dibohongi—oleh tunangannya sendiri.

Sore itu, Zhavira melihat notifikasi pesan di ponsel Makes yang tertinggal di meja kerja saat rapat. Nama pengirim: Rania.

Is it okay kalau aku ke apartemenmu malam ini? Aku takut sendirian. Ada suara aneh di unitku.

Zhavira memejamkan mata sesaat. Logika dan perasaannya saling bertabrakan. Ia percaya Makes, tapi Rania… ia terlalu manipulatif untuk diabaikan.

Setelah rapat selesai, Makes kembali dan melihat Zhavira duduk diam, wajahnya tenang tapi dingin.

“Ada apa?” tanya Makes sambil mengambil ponselnya. Sekilas ia membaca pesan dari Rania dan buru-buru menguncinya kembali.

“Jadi kamu akan biarkan dia datang ke apartemenmu?” tanya Zhavira pelan.

“Itu cuma bantu dia, Zha. Dia nggak punya siapa-siapa di sini.”

Zhavira menatapnya. “Dan kamu pikir itu tugasmu? Kamu bertunangan, Makes.”

“Tapi dia temanku, Zha. Dia nggak ganggu hubungan kita kok.”

Zhavira tersenyum pahit. “Belum. Tapi kalau kamu terus membukakan pintu buat dia, suatu saat dia akan masuk lebih dalam.”

“Maksud kamu…?”

“Makes, aku perempuan juga. Dan aku tahu cara Rania melihatmu. Aku nggak buta. Tapi kalau kamu yakin dia cuma teman, ya sudah. Aku percaya sama kamu. Tapi tolong, jangan buat aku kelihatan bodoh dalam kepercayaan ini.”

Kata-kata Zhavira menusuk. Makes terdiam. Ia memang bodoh… karena tak sadar dirinya sedang dimanipulasi oleh wajah manis dan air mata palsu yang datang membawa nostalgia masa kecil.

**

Di Sisi Lain Rania. Di apartemennya, Rania menatap layar ponselnya yang tak kunjung membalas. Ia menghela napas panjang, lalu membuka laci dan mengeluarkan foto lama: dirinya dan Makes saat masih remaja, tertawa sambil bermain air di danau kecil kampung mereka.

“Aku nggak akan kalah dari perempuan sepertimu, Zhavira,” gumamnya lirih. “Kamu mungkin punya cincin itu sekarang, tapi aku punya kenangan.”

Ia menatap dirinya di cermin. Lalu tersenyum.

**

Hari-hari setelah kedatangan Rania menjadi sedikit berbeda bagi Zhavira. Walau secara formal tidak ada yang berubah dalam rutinitas kantor, namun perasaan tidak tenang itu seperti hantu yang membayangi setiap langkahnya.

Rania semakin sering datang ke kantor Makes, dengan berbagai alasan. Kadang membawa makanan, kadang hanya ingin "main sebentar",

Meski Zhavira tidak pernah secara langsung mempermasalahkannya, raut wajahnya mulai menyiratkan keraguan. Bahkan di rumah, saat mereka pulang bersama pun, obrolan mereka tidak lagi semanis dulu.

**

Malam itu, Zhavira sedang duduk di ruang tamu apartemen Makes. Ia menatap layar TV tanpa fokus. Suara garing dari drama yang diputar hanya jadi pengisi keheningan. Makes keluar dari kamar, mengenakan hoodie dan celana santai, lalu ikut duduk di sebelah Zhavira.

“Besok aku mau ke pameran lukisan bareng Rania,” ucap Makes tanpa menoleh.

Zhavira mendongak. “Bareng Rania?”

“Iya. Dia pengen refreshing katanya. Biar nggak terlalu kepikiran sama mantannya.”

Zhavira mengangguk pelan, walau hatinya mulai panas.

“Kamu nggak keberatan, kan?” tanya Makes kemudian, dengan nada seperti biasa.

Zhavira tersenyum samar. “Cuma temen, kan?”

“Ya iyalah. lagian dari dulu kami cuma temen? Udah tunangan sama kamu ini,” jawab Makes, tertawa ringan. Tapi tawa itu terdengar hambar bagi Zhavira.

Zhavira tidak menjawab. Ia tahu, kadang yang disebut "hanya teman" itu bisa jadi tempat kembali yang tak disadari.

**

Keesokan harinya, Zhavira menatap Makes dan Rania yang berjalan berdampingan keluar dari lobby kantor. Rania tampak cantik, memakai dress midi berwarna sage dan sepatu flat senada. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu dibarengi tawa manis.

Zhavira memalingkan wajahnya.

“Zha,” suara Delia, sahabatnya di kantor, membuyarkan lamunannya.

“Iya?”

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Delia pelan, lalu menatap ke arah yang tadi ditatap Zhavira.

Zhavira menarik napas. “Aku cuma ngerasa… dia mulai berubah.”

Delia menghela napas. “Rania kelihatannya memang bukan perempuan polos. Ada sesuatu di matanya, ngerti nggak?”

Zhavira mengangguk. Ia tahu. Ia sudah melihatnya. Sorot mata Rania yang seperti menantangnya diam-diam, seolah berkata: Aku akan mengambil dia kembali.

Hari itu, Makes pulang agak malam. Saat masuk apartemen, ia mendapati Zhavira sedang duduk di meja makan, menyusun laporan kerja.

“Hei,” sapa Makes pelan, menghampiri dan mengecup ubun-ubunnya. “Lagi sibuk?”

Zhavira hanya tersenyum. “Baru selesai kok.”

“Mau cerita tentang hari ini?” tanya Makes, mengambil duduk di sampingnya.

Zhavira menutup laptopnya. “Nggak usah. Aku yakin kamu lebih seneng cerita sama Rania.”

Makes mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

“Kamu sadar nggak sih, semenjak dia datang… kamu mulai lebih sering sama dia? Dan aku kayak cuma formalitas tunangan di mata kamu?”

“Zha…” Makes mendesah. “Jangan mikir macam-macam. Dia itu cuma butuh teman.”

Zhavira menatap Makes lurus. “Tapi kenapa kamu selalu mengiyakan semua permintaannya? Bahkan sampai harus nemenin dia ke tempat yang dulu pernah kamu datangi waktu masih sama dia. Kamu tahu nggak rasanya jadi aku?”

Makes terdiam.

“Kalau kamu nggak bisa bedain mana masa lalu dan mana masa depan… aku takut, kamu akan kehilangan keduanya.”

Perkataan Zhavira membuat ruangan jadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar.

“Aku akan mulai jaga jarak sama dia,” ucap Makes akhirnya. “Aku janji.”

Tapi janji itu tak berlangsung lama.

**

Beberapa hari kemudian, Zhavira masuk ke ruang kerja Makes untuk memberi dokumen. Tapi ia terhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Ia melihat Rania duduk di kursi tamu, tertawa kecil sambil memegang bahu Makes yang ikut tertawa.

"sejak kapan dia datang? Kenapa aku tidak tahu?" Batin zhavira.

Dan entah kenapa — untuk pertama kalinya — Zhavira merasa ingin menangis di tempat.

Ia memutar arah langkahnya, kembali ke mejanya. Senyum yang biasa ia berikan pada semua orang, hari itu lenyap sama sekali.

Malam harinya, Zhavira tidak pulang ke apartemen Makes. Ia memilih tinggal di rumah orang tuanya.

Makes mencoba menelepon, namun tak dijawab.

Pesan-pesan yang ia kirim juga hanya centang dua tanpa balasan.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!