Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Kembali ke kosan
Terlihat dari jauh, Rizal yang masih terbaring dan masih tak sadarkan diri. Riski dan bela yang melihat itu pun segera mendekat. Bela terlihat sedikit takut mendekat karena ia melihat dua orang pria yang sedari tadi mengejarnya terkapar.
"Riski, kenapa mereka bisa tak sadarkan diri, apakah luka yang kamu dapati itu akibat bertarung." Wajahnya menoleh ke arah Riski, ia memperhatikan tubuh Riski yang terluka.
"Nanti baru di obati ketika sampai di kosan. Kita urus dulu Rizal. aku tidak tau apakah ia terluka parah juga atau tidak" mereka pun sudah berada di sekitar Riski. "
"Jadi, bagaimana ini? Adakah cara untuk membuat dia sadar? " ucap Riski sembari duduk di samping temannya itu . Sedangkan Bela menaikkan kepala Rizal di pangkuannya.
"Emm Sepertinya ada minyak kayu putih yang aku bawa. Semoga bisa membantu agar ia bisa segera sadar. " Bela merogoh sakunya mencari botol minyak kayu putih
Riski berdiri sembari berjalan sekitar, ia memperhatikan kedua orang pria yang terkapar itu. Bela pun mengoleskan minyak kayu putih ke hidung Rizal. " Ahhkk... Ahhk." Terlihat mata Rizal terlihat yang mulai terbuka. Ia pun sadar.
Beberapa saat mereka duduk sejenak. " Sebaiknya kita segera pergi. Untuk pengobatan lebih lanjut ada baiknya di kosan saja. " Bela dan Rizal mengangguk.
"Bela maaf, akhh karena aku kita jadi terjebak di situasi ini" Rizal menatap mata Bela.
"Sudah, yang penting kita semua selamat, siapa saja pasti tidak akan menyangka bahwa semua ini bisa terjadi. " Bela menatap Rizal. Terlihat Bela tersenyum tipis.
"Kita bergegas pulang ayok." ucap Riski sembari menopang tubuh Rizal. Tak lama kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu, karena khawatir kedua pria itu tersadar.
Setibanya mereka di depan toko,
Rizal dan Riski kaget ketika melihat handphone mereka.
“Anjir... banyak telepon tak terjawab.” Rizal sembari mengecek HP-nya.
“Iya... Wehh, Amira dan Sinta menelpon terus ternyata,” ucap Riski.
“Tunggu, aku kabari mereka dulu.” Riski menelfon balik Sinta.
Ting... ting...
“Hall—” Ucapan Riski terjeda.
“Wehhh! Mana Bela?! Kalian ini kenapa tidak angkat telepon kami, hah?!” Sinta mengomel di telepon. Suara bela memecah keheningan malam itu.
“Nanti kami jelaskan. Kami sama-sama Bela ini. Kami sudah mau otw ke kosan.”
“Riski! Mana Bela? Cepat katakan mana Bela..” Terdengar suara Amira di telepon milik Sinta.
“Amira... aku takut sekali terjadi apa-apa... Huuhuu...” Bela tiba-tiba merengek.
“Kami mau ke sana ini, tunggu yaaa. Nanti baru aku ceritakan di sana. Assalamualaikum.” Ucap Riski sembari menutup telepon.
“Lah... tidak tunggu jawaban salamnya, kah?” Rizal sedikit terheran.
“Sinta itu hobi mengomel, jadi lebih baik di sana saja baru ladeni dia.” Riski menarik napas dalam-dalam sambil geleng-geleng kepala.
Mereka memutuskan untuk segera pulang.
“Riski, kamu yang bawa motor, yah.” Tubuh Bela gemetar sembari memeluk tubuhnya.
“Iya, aman mi itu.”
“Mending sama aku saja, Bela.” Rizal memainkan keningnya.
“Malas. Maaf, ya. aku maunya dengan Riski.” Bela memalingkan wajahnya dari Rizal.
“Sudah, mari kita pulang.”
“Ambil jalan pintas saja. Jangan lewat di perempatan. Kita ambil jalan lurus, masuk lorong-lorong.”
“Oke. Gas, kita pulang...” Ucap Riski sembari memainkan gas motor Bela.
Mereka meninggalkan toko terbengkalai itu.
Toko itu menyimpan misteri. Tapi eksistensi mereka tak mau terekspos. Makhluk halus itu ada di sekitar mereka. Mereka menatap—memperhatikan.
Mereka menatap jauh, mengiringi deru motor Riski dan kawan-kawan.
Hujan tak kunjung reda di kota ini.
Depan kos Riski
“Assalamualaikum... Kami sampai!” Mereka bertiga berteriak.
Crekkk... Sinta membuka pintu.
“Selamat datang kembali...” Sinta melihat Riski dan Rizal, Senyum itu pun seketika hilang, "Rizal.. Riski...? " ia pun langsung terdiam, Air matanya menetes. " Ke .. Kenapa kalian? " Sinta langsung memeluk mereka berdua.
Terlihat wajah, kepala dan tubuh mereka berdua yang tergores dan lecet. Nafas Riski dan Rizal sedikit terengah-engah. Tangan mereka gemetaran.
"Amira pun menatap mereka, ia pun ikut menangis. " Bela? apa yang terjadi kepada mereka? A.. Apa yang sebenarnya terjadi. "
Bela menatap mereka " Maaf di telfon tadi aku tidak cerita apa-apa. aku tidak tau pasti kejadiannya bagaimana. Tapi yang penting kita rawat dulu mereka." Bela terlihat mencoba tegar.
Rizal melepaskan pegangan Riski... " Hah? Kami tidak selemah i...Tu" Tiba-tiba Rizal pingsan. " Mereka semua panik.
''Rawat Rizal dulu, saya masih bisa bertahan sejenak. " Sinta dan Amira pun merawat Rizal. Luka-lukanya di bersihkan dan di kompres.
"Bela kamu rawat aku yah," Riski menatap mata bela dengan dalam. Bela tertegun. "Meski kamu tidak bilang, aku pasti akan segera lakukan.
Malam itu mereka di rawat. Ketika gadis itu tertidur di samping ranjang teman mereka itu.
Jam 3 pagi Riski terbangun. Ia melihat teman-temannya sedang tertidur. Tubuhnya masih merasakan sakit. Tapi sudah mendingan. Ia bangun perlahan agar tak membuat teman-temannya terbangun. Ia berjalan keluar kamar. Ia duduk di teras sembari membakar rokoknya. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. "Riski?" Terlihat Sinta di depan pintu, membawa secangkir kopi hangat. "Kamu terbangun juga? " Riski menatap Sinta dengan hangat.
Sinta hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia berjalan—kemudian ia duduk di samping Riski. "Ini kopi Riski, tadi aku lihat kamu terbangun. Aku pun segera membuat kopi untuk kamu" Sinta menyodorkan kopi ke Riski.
"Terima kasih Sinta." Ia menyambut kopi itu dengan hangat.
Suasana malam yang indah. Langit subuh itu cerah sekali. Sesekali suara jangkrik Terdengar.
"Terkadang hidup tak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan, harapan tinggi tapi kenyataannya tak terduga, itulah hal yang kupikirkan kemarin sebelum kenal dengan kalian semua. " Riski menatap langit yang bertaburan bintang disana. "Dan tadi itu saya hampir..." Riski langsung berhenti berbicara.
"Hampir apa? Sinta menatap mata Riski. "Ah tidak, saya mau bilang Bahwa saya bersyukur karena memiliki kamu, Rizal, dan yang lainnya. Meski sebenarnya saya tinggal sendirian. Tapi secara logika, kalian itu milikku karena kita sudah mulai sering sama-sama"
Mendengar ucapan Riski, wajah Sinta memerah, ia seketika memalingkan wajahnya." Sinta? Kenapa." Riski tak tahu apa yang terjadi.
"A... Aku... A gueku " Sinta menjadi terbata-bata. Riski menyentuh wajah Sinta agar menoleh, seketika saat ia menoleh, wajah Riski tepat di depannya. Wajahnya terlihat malu, " Riski, ko - kopimu nanti dingin." Tangan Sinta gemetaran .
"Ahh iya kenapa saya bisa lupa. Hehe."
Riski mematikan rokoknya. Mereka pun bercanda dan bercerita kembali. Suasana subuh itu tentang sekali, Atmosfer yang luar biasa indah, Seolah-olah hal buruk yang ia alami sudah berlalu pergi.