Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan Belas
Sudah satu minggu sejak Dipta melamar Khanza. Hati Vania masih merasa sedih. Cinta yang belum bersemi, harus layu sebelum berkembang.
Seperti Bunga yang menerima keadaan layu dengan lapang dada, kita juga perlu menerima kegagalan dan kesulitan sebagai bagian dari proses belajar dan tumbuh.
Bunga layu mengajarkan kita tentang pentingnya ketabahan dalam menghadapi masa sulit, menghadapi tantangan dengan keberanian dan tekad yang kuat.
Vania melangkah keluar dari kamar. Dia mencium aroma wangi dari dapur. Gadis itu yakin, itu pasti Khanza yang sedang memasak. Kehamilannya telah memasuki bulan keempat sehingga lebih kuat dan sudah tidak mengalami ngidam atau morning sickness yang berlebihan.
"Masak apa, nih? Wangi banget," ucap Vania. Sudah satu minggu dia tak ikut sarapan karena sejak hari itu Dipta selalu saja sarapan di rumahnya. Vania belum siap melihat kemesraan keduanya.
"Selamat Pagi, Nia!" ucap Dipta. Entah dari mana dan sejak kapan sahabatnya itu berada di dapur. Vania mengira hanya ada Khanza, tapi ternyata ada Dipta juga.
"Selamat Pagi. Sejak kapan kamu datang?" tanya Vania akhirnya. Dia masih penasaran dengan kedatangan pria itu.
"Sejak tadi. Habis solat subuh aku langsung ke sini. Aku ingin Khanza buatkan sarapan roti bakar."
"Oh ... berarti sudah cukup lama juga ya kamu datang," balas Vania.
"Lumayanlah. Kamu tak.bosankan jika melihat aku lebih sering datang dari biasanya?" tanya Dipta.
"Nggaklah, kayak kamu baru kenal aku aja!" seru Vania.
Dipta tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya itu. Dia lalu membantu Khanza untuk menyiapkan sarapan di dapur.
Vania memandang Khanza dengan sedikit rasa cemburu, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Tak pernah dia melihat Dipta begitu effort. Dia makin sadar jika Dipta begitu mencintai Khanza dan memilihnya, dan dia harus menerima keputusan itu.
"Apa aku bisa ikut sarapan?" tanya Vania dengan suara yang sedikit datar. Dipta dan Khanza saling menatap, lalu Dipta tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Vania. Ayo, duduk dan bergabung dengan kami," jawab Dipta.
"Apa aku tak mengganggu?" tanya Vania lagi.
"Mbak Vania jangan bicara begitu. Ini rumah Mbak Vania. Seharusnya aku yang bicara begitu. Apakah aku tak mengganggu?" tanya Khanza.
Vania tersenyum tipis mendengar kata-kata Khanza. Dia merasa sedikit bersalah karena telah membuat Khanza merasa tidak nyaman. "Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan. Jangan merasa begitu, aku justru senang ada kamu dan Dipta. Tak sendirian lagi sarapannya," jawab Vania.
Dipta memotong percakapan mereka dengan menawarkan Vania secangkir kopi. "Kopi, Vania?" tanya Dipta sambil tersenyum. Vania mengangguk, dan Dipta menuangkan kopi ke dalam cangkir Vania.
Suasana menjadi sedikit lebih santai setelah itu, dengan Vania yang mulai menikmati sarapannya. Dia berusaha bersikap sewajarnya agar Dipta dan Khanza tak bisa membaca perasaannya.
"Kamu libur, Dip?" tanya Vania setelah beberapa saat mereka saling diam.
"Ya ... gimana kalau kita makan siangnya diluar nanti. Kita bertiga sudah cukup lama tak makan bersama," ajak Dipta.
"Sepertinya aku gak bisa. Kalau siang aku masih banyak pasien," jawab Vania.
"Bukankah Dewi dan Susi bisa menangani?" tanya Dipta.
"Aku yang tak enak hati jika harus meninggalkan pasien demi kepentingan pribadi," jawab Vania.
"Baiklah, aku paham maksudmu. Lain kali tak ada penolakan. Aku ingin kamu menjadi bagian dari setiap momen bahagiaku. Aku juga sebenarnya ingin mengajak kamu membawa Khanza ke rumah. Mengenalkan pada Mamaku," ucap Dipta.
"Boleh, jika aku libur. Akan aku ajak Khanza. Aku juga sudah sangat rindu dengan Tante Lily," ucap Vania.
Mendengar ucapan Vania dan Dipta membuat Khanza jadi kepikiran. Dia belum siap untuk saat ini dikenalkan sama keluarga Dipta. Mengingat perutnya yang sudah semakin membesar. Apa yang akan dikatakan keluarga Dipta jika melihat dirinya.
"Maaf, Mas. Seperti yang aku katakan kemarin, gimana kalau menunggu anak ini lahir baru aku datang ke rumah, Mas. Apa yang akan mama Mas katakan saat melihat perutku besar begini," ucap Khanza.
Dipta tersenyum lembut dan menggenggam tangan Khanza. "Aku akan bicarakan ini dengan mama, dan semoga mama mengerti. Semoga mama tidak akan mempermasalahkan ini." Dipta memandang Khanza dengan penuh kasih sayang. "Kita tidak perlu khawatir tentang pendapat orang lain, yang penting adalah kita bahagia bersama." Khanza tersenyum lega dan Dipta lalu memeluknya agar wanita itu merasa nyaman dan tak memikirkan hal itu lagi.
Melihat keduanya saling berpelukan, Vania berdiri. Merasa tak nyaman berada di antara mereka. Lagi pula sarapannya telah habis.
Dipta baru menyadari kepergian Vania setelah Khanza melepaskan pelukannya. "Vania?" panggil Dipta, tapi tidak ada jawaban. Khanza memandang Dipta dengan ekspresi yang sedikit khawatir. "Apa Mbak Vania baik-baik saja, Mas?" tanya Khanza.
Dipta bangkit dari kursinya dan memandang ke arah ruang tamu. "Aku akan menyusulnya dulu," kata Dipta. Dia berjalan menuju ruang tamu dan memanggil Vania lagi, tapi gadis itu tidak ada di sana. Dipta merasa sedikit khawatir dan bertanya-tanya apa yang salah dengan Vania.
Dia lalu melihat pintu kamar yang sedikit terbuka. Tampak Vania sedang menangis, duduk di tepi ranjangnya. Tanpa mengetuk pintu lagi, Dipta lalu masuk.
"Nia, kamu baik-baik saja?" tanya Dipta. Dia memandangi Khanza, dan baru menyadari jika penampilan gadis itu telah berubah. Saat ini kepalanya telah ditutupi hijab.
"Aku tak apa-apa, Dip. Aku tiba-tiba ingat papa dan mama saat kamu menyebut mamamu," ucap Vania.
Dipta lalu mengambil sapu tangan dari dalam sakunya. Dia menghapus air mata yang menetes di pipi gadis itu.
"Jangan menangis. Aku dan Mama akan selalu ada untukmu. Jika kamu rindu mamamu, ayo ke rumah. Mama pasti bisa menghapus rasa kangen'mu itu" ucap Dipta.
"Terima kasih, Dip. Selalu ada untukku. Maaf, bisa tinggalkan aku, karena aku ingin sendiri saat ini," balas Vania.
"Baiklah. Tapi janji jangan sedih," ujar Dipta. Vania mengangguk dan tersenyum.
"Kamu tambah cantik dengan hijab," ucap Dipta sebelum meninggikan gadis itu sendirian. Dia lalu menutup pintu kamar.
Setelah kepergian Dipta, kembali Vania menangis. "Dipta, aku punya lebih dari seribu alasan untuk mencintai kamu. Dan hanya cukup satu alasan dari kamu untuk bisa ninggalin aku, dan satu alasan itu ternyata karena hati kamu bukan untukku."
Vania lalu berjalan menuju jendela kamar. Ternyata hujan di luar sana. Dia memandangi air yang turun dari langit itu, seolah bumi ikut merasakan kesedihannya.
Dipta, mencintaimu tidak pernah ada dalam rencanaku. Namun, pada suatu hari dengan alasan yang belum aku pahami, Tuhan menempatkan kamu menjadi bagian terbaik di hati dan pikiranku. Jadi apa bila suatu saat kau menanyakan alasan mengapa aku bisa sejatuh ini dalam mencintaimu, maaf aku tak bisa menjawabnya. Sebab, sampai hari ini pun aku belum bisa menemukan jawabannya. Meskipun aku sadar, bahwa mencintaimu adalah luka yang sengaja aku berikan pada diriku sendiri.
saya Khanza...eh salah..saya khenzo 😁🤣😅🙏
vania semoga km menemukan jodoh yg baik di tempat yg baru ya
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍