Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. MENGHALANGI BERINTERAKSI
"Mas, kira-kira bayinya perempuan atau laki-laki ya?" Agnes menatap suaminya yang berbaring di sebelahnya.
"Laki-laki dan perempuan itu sama saja, yang penting Dia lahir dengan selamat," ujar Teddy tanpa membalas tatapan istrinya. Sejak tadi tatapannya terus tertuju pada langit-langit kamar sambil menyangga kepala dengan sebelah tangannya, namun pikirannya tertuju pada Fiona yang sudah beberapa hari ini mengalami morning sickness.
Agnes mengangguk membenarkan. Hanya saja ia merasa penasaran dengan jenis kelamin calon bayinya yang sedang dikandung Fiona. Ia bisa membeli keperluan bayi yang sesuai jika sudah tahu jenis kelaminnya.
"Untuk mengetahui jenis kelaminnya itu kira-kira di Minggu keberapa, Mas?" tanya Agnes.
"Sekitar 18 sampai 20 Minggu, saat alat kelamin luar sudah terbentuk jelas," jawab Teddy dengan tatapan masih tertuju pada langit-langit kamar.
"Aku udah gak sabar menunggu bayi itu lahir, Mas. Pengen segera menggendong dia." Agnes tersenyum membayangkan hal tersebut.
Teddy menoleh menatap istri pertamanya itu yang terlihat sangat bahagia. Ingin sekali ia meminta pada Agnes untuk tetap mengizinkan Fiona bersama mereka, menjadi istri keduanya selamanya. Sampai detik ini ia semakin sadar bahwa perasaannya terhadap Fiona belum sepenuhnya hilang. Cinta itu masih ada dan kian hari semakin bertambah besar. Bahkan ia tidak sanggup membayangkan jika Fiona akan pergi darinya suatu hari nanti. Namun, ia juga tak sanggup melihat Agnes terluka, sebab ia tahu istri pertamanya itu tidak akan pernah mau berbagi suami.
"Besok kita bawa Fiona ke rumah sakit. Kasihan dia muntah-muntah terus."
Agnes menghela nafas. "Dari kemarin sudah aku ajak, Mas, tapi dia gak mau. Nanti aku bujuk lagi, deh," ujarnya.
Teddy hanya mengangguk pelan, kemudian beranjak turun dari tempat tidur. Melihat itu, Agnes pun segera menyusul turun dari pembaringan nya.
"Mas, mau kemana?"
"Ke dapur, ambil air minum," jawab Teddy seraya mengambil teko air yang sudah kosong di atas nakas.
"Biar aku saja, Mas." Agnes hendak mengambil teko air tersebut, namun Teddy tak memberikannya
"Gak apa-apa, biar aku saja."
"Ya udah, kalau gitu aku mau lihat Fiona sebentar." Agnes keluar dari kamar lebih dulu.
Teddy menghela nafas. Ingin mengambil air minum sebenarnya hanya alasan saja untuk bisa menjenguk Fiona sebentar. Seperti malam-malam sebelumnya, tapi Agnes selalu saja punya cara untuk menghalanginya, dan sepertinya istri pertamanya itu tahu jika ia ingin menemui Fiona.
"Kenapa belum tidur?" tanya Agnes yang baru saja masuk ke kamar Fiona dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan tampak melamun.
"Belum ngantuk," jawab Fiona sembari tersenyum tipis.
Agnes duduk di sisi madunya itu dan menatapnya dalam-dalam. Ia akui Fiona itu lebih cantik darinya, juga memiliki kepribadian yang lembut dan mampu membuat lawan bicaranya tertarik dan nyaman berbicara dengannya. Ia saja jarang berinteraksi dengan bi Ira, tapi asisten rumah tangganya itu justru terlihat akrab dengan Fiona yang baru dikenalnya.
Hal tersebut membuatnya memiliki kekhawatiran suaminya akan terpesona oleh wanita itu dan berpaling darinya. Terlebih kini Fiona sedang mengandung benih suaminya. Ia juga beberapa kali mendapati suaminya terus memperhatikan Fiona. Sebagai wanita yang tak lagi bisa memberikan keturunan, ia takut hal itu terjadi. Maka itulah ia selalu berusaha menghalangi interaksi antara Fiona dan suaminya.
"Besok kita ke rumah sakit ya," ucap Agnes.
Fiona terdiam sejenak. Alasannya yang tidak ingin ke rumah sakit itu karena tidak mau bertemu Aidan. Ia tak sanggup melihat kesedihan di wajah adiknya itu.
"Aku gak mau kandungan kamu sampai kenapa-napa. Kamu tahu, kan, kalau aku sangat mengharapkan bayi itu?" Agnes menyentuh punggung tangan Fiona yang hanya diam.
Fiona menatap wanita itu, dan kemudian akhirnya mengangguk.
Agnes tersenyum. "Ya sudah, sekarang kamu tidur. Gak baik Ibu hamil itu tidur larut."
"Iya."
Agnes pun keluar dari kamar itu, bertepatan dengan Teddy yang baru saja kembali dari dapur membawa teko yang telah diisi air minum.
"Gimana, apa Fiona mau diajak ke rumah sakit besok?" tanya Teddy.
Agnes mengangguk. "Iya, Mas."
"Syukurlah kalau begitu." Teddy tersenyum tipis.
"Ayo, Mas. Aku sudah ngantuk." Agnes segera menarik lengan suaminya menuju kamar mereka.
*****
"Janinnya sehat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap dokter wanita yang baru saja selesai memeriksa Fiona.
"Mual muntah memang sudah biasa terjadi pada awal kehamilan, nanti juga akan mereda dengan sendirinya setelah memasuki trimester kedua," imbuhnya menjelaskan.
Fiona dan Agnes hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter tersebut.
Dokter wanita yang bernama Anita itu lalu menuliskan resep untuk Fiona dan memberikannya pada Agnes.
"Terima kasih, dok," ujar Agnes.
Dokter Anita mengangguk dan tersenyum.
"Kalau begitu kami pamit."
"Silahkan."
Agnes bersama seorang perawat lalu membantu Fiona turun dari ranjang. Begitu keluar dari ruangan dokter, Teddy yang sejak tadi menunggu di luar segera menghampiri kedua istrinya itu. Tadinya ia ingin ikut masuk, tapi Agnes melarangnya.
"Gimana kata dokter?" tanya Teddy tampak tak sabar.
"Janinnya sehat kok, Mas," jawab Agnes.
Teddy tersenyum lega mendengarnya.
"Oh ya, Mas. Ini tolong ambil obatnya ya. Aku sama Fiona biar tunggu di mobil aja," ujar Agnes seraya memberikan resep obat tersebut pada suaminya.
Teddy hanya mengangguk, wajahnya terlihat sendu. Agnes benar-benar tak memberinya ruang sedikitpun meski hanya sekedar berbicara dengan Fiona.
"Ayo," ajak Agnes sembari menggandeng lengan madunya menuju parkiran.
Teddy pun hendak menuju instalasi farmasi, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara pintu ruangan dokter Anita terbuka. Ia pun menghampiri dokter yang namanya tertera pada surat keterangan inseminasi palsu itu.
"Ingat, Agnes jangan sampai tahu kalau aku dan Fiona tidak pernah melakukan inseminasi itu," ujarnya memperingati.
Dokter Anita mengangguk. "Dokter Teddy tidak perlu khawatir," ucapnya sembari tersenyum.
"Terima kasih," ucap Teddy lalu segera menuju apotek rumah sakit.
Di lobi, langkah Fiona dan Agnes terhenti ketika berpapasan dengan Aidan yang baru saja tiba di rumah sakit.
Kakak adik itu saling menatap penuh kerinduan. Aidan mengindai penampilan kakaknya, lebih dari satu bulan tidak bertemu tidak ada yang berubah, hanya wajah sang kakak yang terlihat sedikit pucat.
"Kakak sakit?" tanya Aidan.
Fiona menggeleng. Ia melangkah maju dan langsung memeluk adiknya. "Kakak hamil, Ai," bisiknya.
Kedua mata Aidan terpejam mendengarnya. Kabar yang seharusnya menjadi kabar bahagia itu, justru terdengar menyedihkan di telinganya.
"Tapi gimana keadaan kakak? Apa kehamilan ini menyusahkan kakak?" tanya Aidan. Pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan itu, ia lontarkan sembari menatap Agnes. Wanita itu seketika membuang muka darinya.
"Kakak hanya mual muntah, tapi itu gak apa-apa, Ai," jawab Fiona.
untuk Agnes jgn jadi jahat, kena kamu yg mau fio menikah SM suamimu
tambah lagi up nya thor