Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan Haris
Akhirnya, Haris dan Nanda tiba di kampungnya. Mereka di sambut dengan suka cita, apalagi Haris membawakan banyak oleh-oleh.
Bukan hanya untuk keluarga inti, namun Haris juga membelikan masing-masing satu setelan baju untuk sepupunya Nanda.
Haris langsung dianggap orang berada, dia di jamu dengan baik oleh keluarga Nanda.
"Jadi, maksud kedatangan saya kemari. Saya ingin melamar Nanda untuk menjadi istri saya." tutur Haris setelah makan malam.
"Maaf sebelumnya, nak Nanda pernah bilang, jika nak Haris ini duda ya?" tanya ibu Nanda.
"Iya, saya pernah menikah, dan umur pernikahan kami berlangsung selama lima tahun. Dan alasan bercerai, istri saya selingkuh, karena saya yang selalu dalam perantauan." bohong Haris.
"Memang, seperti itu, sebaiknya di tinggalkan." lanjut ibu Nanda.
"Jika nak Haris memang berniat menikahi Nanda, bapak minta agar jangan pernah sesekali kamu membandingkan Nanda dengan mantan istrimu itu. Baik itu dalam pelayanan, ataupun dalam makanan juga kebersihan." pinta bapak Nanda.
"Baik pak, selama dalam perantauan, saya sudah mengenali bagaimana sosok Nanda. Jadi, tidak ada satu pun hal, yang bisa di bandingkan sengan mantan istri saya." ucap Haris lantang.
Akhirnya setelah berbincang-bincang agak lama. Keputusan untuk pernikahan mereka akan di berlangsung satu bulan mulai sekarang. Haris yang mengaku sudah yatim piatu meminta izin untuk pulang kampung.
Dia beralasan, ingin meminta restu seraya berkunjung ke makam kedua orang tuanya.
Tentu saja, permintaan Haris semakin membuat keluarga Nanda kagum. Dia di nilai anak yang berbakti, walaupun kedua orang tuanya telah tiada.
Nanda yang mendengarkan perkataan Haris, memberikan kedua jempolnya, dia sangat senang kala Haris mematuhi keinginannya.
Iya, itu adalah ide dari Nanda.
Alif yang sedang bermain mobil-mobilan yang sudah tak layak pakai, langsung kegirangan kala tukang ojek membawa ayahnya di belakang.
Dia berlari, menghampiri Haris dan memeluk kaki lelaki yang telah lama di rindukannya.
Neli yang sedang menyapu pun tertegun. Akhirnya, anak semata wayangnya pulang. Dia sempat merasa khawatir, saat nomor ponsel Haris tidak bisa di hubungi beberapa bulan terakhir.
Akan tetapi, Neli memilih memendam sendiri. Dia tidak pernah mengatakan kegundahan hatinya ada siapapun. Termasuk Alif.
"Bu, aku disini hanya dua hari. Aku mau menikah, dan berharap jika ibu mau menggadai kan rumah ini, untuk keperluan ku." Haris mengutarakan maksud dari kepulangannya.
Bahkan, dia tidak meminum air yang sengaja ibunya suguhkan.
Alif yang masih memegang mobil-mobilan nya terpaku. Dia memang anak-anak. Namun, dia sangat paham arah pembicaraan kedua orang di hadapannya.
"Menikah? Sama siapa? Kapan?" beruntun Neli terkejut.
"Ibu gak perlu tahu, karena aku tidak butuh kehadiran mu. Sebab, aku mengaku yatim piatu pada keluarganya." balas Haris.
Neli tercekat, bahkan dia merasakan sesak di dadanya. Dadanya terasa berat, seperti ada sesuatu benda besar yang menghimpitnya.
"Jadi, dimana surat-surat rumah ini? Aku mau mendapatkan uang secepatnya." tanya Haris.
"Kamu tega? Kamu tega menganggap ibu mu mati?" isak Neli.
"Bu, gak usah drama deh. Lagipula, ini demi kebaikan ibu. Ibu bayangkan saja, jika aku mengaku ibu masih hidup, yang ada ibu malah malu. Jadi, ini satu-satunya pilihan yang benar." papar Haris memandang ibunya dengan tatapan cemooh. "Jadi, mana suratnya?" Haris kembali bertanya.
"Jika aku kamu anggap mati, maka surat-surat itu ada di kuburan ku. Maka kamu gali lah ..." sahut Neli menahan sakit hatinya.
Haris memutar mata, dia mengganggap ibunya terlalu lebay. Tanpa merasa bersalah pada ibunya. Dia bangkit menuju kamar Neli, dan langsung membuka lemari, untuk mencari surat yang diperlukannya.
"Cukup Haris! Kamu gak bisa mengadaikan nya" larang Neli.
"Ayah, nanti jika rumah ini digadaikan, aku dan nenek tinggal dimana?" tanya Alif, mengikuti nenek dan ayahnya ke kamar.
"Kalian berdua gak usah lebay. Aku hanya menggadaikannya. Bukan menjualnya. Jadi, kalian masih punya waktu untuk menebusnya. Jadi, gak usah drama!" hardik Haris.
"Kamu yang keterlaluan Haris, ini rumah ku. Peninggalan orang tuaku. Jadi, kamu tidak ada hak disini." balas Neli dengan suara tegas. Dia bahkan, menarik Alif untuk berlindung di belakang tubuhnya.
"Bu, aku ini anak ibu loh. Memangnya ibu gak mau aku bahagia? Aku hanya minta sedikit dari ibu." Haris menjambak rambut frustasi. "Jika ibu memang menyayangi ku, ibu pasti ..."
"Cukup! Bukti apalagi yang kamu mau? Saat kamu menikah dengan ibunya Alif dulu, apa yang gak ibu kasih? Bahkan uang mahar dan seserahan semua ibu yang tanggung. Padahal, itu adalah persiapan untuk masa tua ibu sendiri. Tapi apa? Dan sekarang, kamu juga limpahkan tanggung jawab menjaga Alif untuk ibu. Jadi, apa lagi bukti yang kamu mau?" papar Neli merasa jengkel.
Haris mengabaikan perkataan ibunya. Dia tetap mencari-cari surat di lemari. Bahkan, Haris mengeluarkan semua isi lemari Neli.
Akan tetapi, sampai isi lemari habis dikeluarkan, Haris tidak menemukan apa yanh dia cari.
Dia langsung mencengkram kedua bahu ibunya, akibat emosi yang dirasakan.
"Ibu simpan dimana surat-surat rumah, hah?" tanya Haris membentak ibunya.
"Ayah ,,, jangan sakiti nenek." Alif menarik kaki Haris.
Karena di kandung emosi, Haris memilih menendang Alif. Dia menganggap bocah itu terlalu ikut campur dalam urusannya.
"Anak gak tahu diri." bentak Haris, pada Alif yang memegangi perut akibat tendangannya.
"Apa yang kamu lakukan pada Alif, Haris." bentak Neli.
"Katakan dimana surat itu ibu, jangan alihkan pembicaraan. Dia tidak akan mati, hanya karena tendangan dariku." kembali Haris mengguncang-guncang tubuh Neli. Bahkan, cengkraman nya, lebih kuat di bahu ibunya.
Alih-alih menjawab, Neli lebih mengkhawatirkan keadaan Alif, apalagi bocah itu terus meringis dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Cukup Haris ... Bukankah, orang tuamu udah meninggal? Jadi, rumah ini bukan lagi milikmu. Walaupun nanti aku mati, ku haramkan kamu untuk menjual rumah ini." teriak Neli.
Karena marah Haris pun, memilih mendorong ibunya ke arah Alif. Alhasil, kembali Alif tertindih tubuh Neli.
Tubuh ringkih Neli langsung bergeser, dia meraba-rabanya serta mengelus pucuk kepala Alif.
"Kamu gak apa, kan?" tanya Neli membawa Alif ke pelukannya.
"Sakit nek," isak Alif, membalas pelukan neneknya. "Ayah jahat!" teriak Alif.
Kembali Haris disulut emosi. Dia menarik kasar, tubuh kecil Alif dan membungkam mulutnya dengan bahan dalam milik Neli yang berserakan, akibat perbuatannya tadi.
Neli yang susah payah untuk bangun, memukuli tangan Haris, teriakannya untuk menghentikan perbuatan Haris, tidak dihiraukan.
"Bu, aku harus mengajarinya bu, jadi jangan hentikan aku." hardik Haris. Dia kembali mendorong Neli, dan menguncinya dari luar.
Sebelah tangannya lagi, dia menggenggam kedua tangan Alif, dan menariknya ke arah dapur.
Mata Haris jelalatan, dia mencari-cari dimana Neli meletakkan bumbu dapur. Setelah bertemu, dia kembali menarik tubuh kecil Alif.
"Ini, ini pelajaran untuk anak yang mulutnya tidak pernah di ajarkan sepertimu." Haris mengoles beberapa cabai rawit ke mulut Alif.