Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BARRA GALAU
Malam itu, suasana rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Seminggu setelah kepulangan mereka dari Malang, Btari memilih duduk di ruang tamu sambil memeriksa hasil foto-fotonya di laptop. Barra, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, duduk di sofa seberang sambil menyeruput kopi.
"Kakimu gimana? Sudah baikan?" Tanya Barra.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop, Btari mengangguk. "Sudah. Kayaknya seminggu lagi aku udah bisa menjelajah lagi." Jawabnya enteng.
Barra tidak bisa menahan rasa terkejutnya. "Kamu bahkan belum pulih benar. Lebih baik istirahat dulu. Lagipula, jangan terlalu semangat mencari uang. Kamu punya suami yang punya banyak uang." Kata Barra sengaja berlagak sombong.
Btari menatapnya tajam. "Dasar sombong! Jangan lupa uang bulan anak-anak panti."
"Tenang. Kalau itu sudah aku transfer ke rekeningmu. Sengaja aku lebihkan untuk kamu." Jawab Barra dengan santai.
"Nggak butuh, Bar. Ini nggak ada dalam perjanjian kita." Tolak Btari lalu segera meraih ponselnya. Ia kemudian mengecek rekeningnya. Mata Btari membulat ketika melihat angka yang tertera di layar.
"Kenapa? Kurang?" Tanya Barra heran.
"Aku bakalan transfer balik ke kamu. Ini kebanyakan. Perjanjian kita tidak seperti itu."
Barra cepat-cepat menolak. "Itu hak kamu. Bagaimana pun kamu istrimu. Ya walaupun hubungan kita agak aneh. Namun menafkahi kamu adalah kewajibanku."
"Nggak sebanyak ini juga, Barra. Aku juga gak butuh uang sebanyak ini."
Barra tertawa. Baru kali ini ia mendengar ada orang yang tidak butuh uang banyak. Btari memang unik. Selain galak, ia juga tidak pandai memanfaatkan situasi.
"Simpan aja. Terserah kamu mau diapain itu duit. Awas aja kalau kamu transfer balik ke aku. Aku bakalan laporin ke Mama dan Abang kamu. Masa iya, ada istri nggak mau dinafkahi suaminya sendiri."
Btari diam. Malas berdebat dengan Barra. Lagipula lelaki itu benar. Bisa berdosa Barra jika tidak menafkahinya. Bisa dimarahi juga dia oleh mama mertua dan abangnya jika ia menolak uang nafkah dari suaminya.
Gadis itu lalu kembali fokus dengan layar laptopnya.
“Jadi, gimana hasil fotonya? Ada pemandangan yang bikin Raka tambah jatuh cinta?” tanya Barra dengan senyum menggoda.
Btari, yang awalnya mulai fokus pada layarnya, mengangkat kepala dan menatap Barra sekilas. “Kenapa kamu selalu bawa-bawa nama Raka sih? Dia cuma teman, Bar.” Jawabnya sambil mendengus kecil.
Barra tertawa ringan, meletakkan cangkir kopinya di meja. “Iya, tapi kan teman yang sering bilang kamu itu ‘inspirasi hidupnya.’ Jangan-jangan kamu juga kagum sama dia?”
Btari menggeleng, berusaha menyembunyikan senyumnya. “Kamu terlalu banyak berimajinasi. Lagipula, aku nggak ada waktu buat mikirin yang aneh-aneh. Proyekku di Malang saja sudah cukup menguras energi.”
“Kalau gitu, kamu harus istirahat. Kalau sakit, nggak ada Raka yang mengobati.” Barra kembali menggoda sambil memiringkan tubuhnya ke arah Btari.
Btari menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu ini ya, nggak pernah serius. Selalu saja cari cara buat nyebelin.”
“Aku serius, kok. Serius mau bikin kamu nggak terlalu tegang,” jawab Barra sambil bersandar santai di sofa.
Percakapan itu berlanjut dengan lelucon ringan dari Barra dan komentar singkat dari Btari. Meski awalnya mereka menjaga jarak, malam itu terasa berbeda. Tidak ada kekakuan atau canggung. Barra berhasil membuat Btari tertawa pelan beberapa kali, meskipun ia tetap menjaga jaraknya dengan memakai jilbab dan kaos kaki di rumah.
Di balik semua itu, Barra merasakan sesuatu yang baru—rasa nyaman yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
Malam itu, suasana yang hangat di antara Barra dan Btari tiba-tiba berubah. Tawanya terhenti, senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar. Ia tak sengaja melihat sebuah unggahan di ponselnya—foto Nadea, kekasihnya, tengah tersenyum mesra di pelukan suaminya.
Foto itu diunggah oleh suami Nadea sendiri, lengkap dengan caption, “Bahagia adalah pulang ke rumah yang penuh cinta. Selalu bersyukur untuk istriku yang luar biasa.”
Barra menelan ludah, jemarinya refleks menggulir layar, memastikan apa yang baru saja ia lihat. Wajah Nadea di foto itu begitu tenang, nyaris sempurna dalam perannya sebagai istri yang baik. Barra tahu, inilah risiko dari hubungan terlarang yang selama ini ia jalani.
"Kenapa mendadak diam?" suara Btari memecah kesunyian.
Barra mengangkat wajah, menyadari Btari menatapnya dari balik layar laptop. Wajahnya masih memancarkan ketenangan, kontras dengan hatinya yang mendadak kacau. "Enggak apa-apa. Tadi baca sesuatu aja," jawabnya datar, mencoba menutupi perasaannya.
Btari mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh pada Barra. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Kalau ada apa-apa, istirahat saja dulu. Kamu kelihatan capek," ujarnya dengan nada netral.
Barra hanya mengangguk tanpa menatap Btari. Pikirannya terus berputar, memutar ulang momen-momen bersama Nadea, percakapan mereka, dan janji-janji yang pernah dibuat. Tapi foto itu… foto itu seperti pengingat bahwa Nadea adalah milik orang lain, sesuatu yang seharusnya ia hindari sejak awal.
Barra menghela napas panjang. Malam itu, tawa dan candaan yang sempat tercipta menghilang, digantikan oleh beban pikiran yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun. Sementara Btari kembali fokus pada pekerjaannya, tak menyadari badai kecil yang bergejolak di hati Barra.
Btari menyadari perubahan ekspresi Barra, dan meski lelaki itu mencoba menyembunyikannya, sorot matanya yang redup tidak bisa berbohong. Alih-alih bertanya atau menghakimi, Btari memilih cara yang lebih lembut.
"Bar," panggil Btari sambil menutup laptopnya. Suaranya tenang namun mengandung perhatian. "Kadang, cinta memang bikin kita buta. Tapi kalau sampai bikin kita lupa diri, itu harus dihentikan."
Barra menatapnya sekilas, lalu menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi nggak semudah itu," jawabnya lirih, sambil memalingkan wajah.
Btari tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. "Kamu itu ganteng, sukses. Masa iya nggak ada yang single dan benar-benar sayang sama kamu? Daripada nyari yang sudah punya suami, kenapa nggak nyari pasangan yang lebih jelas?"
Barra tertawa kecil mendengar itu, meski terdengar getir. "Ganteng? Kamu mengakui aku ganteng? Tumben." Btari mendengus. Merasa menyesal memuji lelaki itu.
Barra tertawa kecil, "Dan siapa yang kamu maksud lebih jelas itu? Kamu?" candanya dengan nada menggoda, meski ada kesan serius di matanya.
Btari langsung mengambil bantal sofa di sebelahnya dan melemparkannya ke arah Barra. "Kamu ini ya, aku serius ngomong, malah bercanda!" katanya, pura-pura kesal.
Barra tertawa keras, menangkap bantal yang dilemparkan Btari. "Aku nggak bercanda. Kita kan pasangan, setidaknya di atas kertas. Jadi kenapa nggak sekalian aja?" godanya sambil mengedipkan mata.
Btari menggeleng sambil mendengus. "Dasar nggak tahu diri! Tapi serius, Bar. Kamu itu berhak bahagia. Tapi dengan cara yang benar. Kalau terus-terusan kayak gini, kamu malah menyakiti diri sendiri."
Ucapan Btari membuat Barra terdiam. Di balik candaannya tadi, ia tahu Btari benar. Hubungan dengan Alina selama ini hanya memberikan kebahagiaan semu. Mungkin sudah saatnya ia benar-benar melepaskan semuanya dan mencari kebahagiaan yang nyata.
Malam itu, meski suasana berakhir dengan candaan ringan, ucapan Btari terus terngiang di kepala Barra. Sesuatu di dalam dirinya mulai berubah, walau ia belum tahu bagaimana cara melangkah ke arah yang baru.
"Aku duluan, ya. Kamu jangan frustasi terus bunuh diri. Kan nggak lucu aku jadi janda yang ditinggal mati suaminya karena patah hati." Ucap Btari bercanda. Gadis itu segera masuk kamar.
Barra terkekeh mendengarnya. Malam semakin larut, dan Barra kembali ke kamarnya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Ia menutup pintu perlahan, melemparkan tubuhnya ke kasur, lalu menatap langit-langit kamar yang gelap. Pembicaraan dengan Btari tadi terngiang-ngiang di benaknya.
“Kamu itu berhak bahagia. Tapi dengan cara yang benar.”
Barra menghela napas panjang, pikirannya kembali pada sosok Nadea. Selama ini, Nadea adalah pusat hidupnya. Ia rela melakukan apa saja demi melihat senyum wanita itu, meskipun senyum itu sering kali diperuntukkan bagi orang lain—suaminya. Barra tahu betapa salahnya hubungan mereka, namun cinta yang ia rasakan untuk Nadea begitu kuat hingga ia terus membohongi dirinya sendiri.
Namun, kini ia bertanya-tanya. Apakah ia bisa mencintai gadis lain seperti ia mencintai Nadea?
Barra memejamkan mata, mencoba membayangkan jawaban dari pertanyaan itu. Alina adalah segalanya baginya—kecantikan, kecerdasan, dan pesona yang membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu. Tapi, di tengah perenungannya, sebuah bayangan lain muncul.
Btari.
Sosok istrinya yang selama ini ia anggap sebagai formalitas belaka, tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Ia mengingat caranya berbicara tadi—tegas namun penuh perhatian. Ia mengingat caranya tersenyum, bahkan tawa kecilnya saat ia mencoba menghibur. Btari memiliki sesuatu yang berbeda. Tidak ada kepura-puraan, tidak ada kepalsuan seperti yang selama ini ia temui di hubungannya dengan Alina.
Barra membuka matanya dan menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. “Gila apa aku? Dia cuma istri kontrak,” gumamnya. "Sadar, Barra. Sadar."
Namun, sebuah kesadaran kecil mulai tumbuh di dalam hatinya. Btari memang bukan Nadea, dan mungkin tidak akan pernah sama. Tapi, apakah itu benar-benar buruk? Jika ia bisa melihat Btari dengan cara yang baru, mungkin ada sesuatu yang lebih baik dari sekadar cinta terlarang yang selama ini ia kejar.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Barra berbalik memeluk bantal. Untuk pertama kalinya, ia mempertimbangkan kemungkinan untuk meninggalkan Nadea sepenuhnya dan memberi dirinya kesempatan untuk memulai hidup baru—mungkin dengan Btari, atau dengan seseorang yang lebih baik untuknya. Tapi apakah ia punya keberanian untuk melangkah? Itu masih menjadi pertanyaan yang belum bisa ia jawab malam itu.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan yang tidak hanya membuat Barra tersenyum. Namun juga bisa membuatnya terhibur.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri