Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Kedatangan Tamu Besar
Pagi itu, Raka datang seperti biasa—lebih awal dari Anya—demi menyiapkan adonan roti yang sudah dia pikirkan sejak malam. Ia berharap hari ini berjalan normal.
Tapi harapan itu hancur saat lonceng pintu berbunyi cling cling padahal jam baru menunjuk pukul 8.
Yang masuk adalah Andara… dengan langkah penuh percaya diri, diikuti seorang pria paruh baya berwibawa memakai setelan kasual mahal.
“Selamat pagi, Chef roti favoritku!” sapa Andara, suaranya nyaring sekali.
Raka langsung menegang. “Andara…” suaranya datar penuh peringatan. “Kamu bawa siapa?”
“Ini?” Andara pura-pura polos. “Oh, cuma… temanku. Dia pecinta roti sejati.”
Pria itu tersenyum ramah. “Pagi, Mas Raka. Saya… panggil saja Pak Bram.”
Matanya menyiratkan sesuatu yang Raka kenal betul—itu tatapan Ayah sedang menilai calon menantunya.
Sebelum Raka bisa merespons, Anya keluar dari dapur. “Wah, pagi-pagi sudah ramai. Silakan duduk, Pak. Mau pesan apa?”
Pak Bram tersenyum hangat. “Kalau boleh, saya mau coba semua menu yang jadi andalan di sini.”
Anya tertawa kecil. “Waduh, banyak banget, Pak. Tapi kalau itu maunya, saya buatin.”
Raka menatap Andara dengan tatapan kita akan bicara setelah ini. Andara hanya balas dengan kedipan jahil.
---
Dapur Sweet Anya langsung sibuk. Raka memutuskan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya roti pandan kelapa, croissant, dan satu resep roti manis yang hanya pernah ia buat di rumah keluarga.
Anya membantu di sebelahnya, masih belum menyadari siapa sebenarnya Pak Bram.
“Raka, kamu serius mau bikin semuanya? Nanti capek lho,” ujar Anya sambil menakar tepung.
“Biar dia puas,” jawab Raka singkat. “Lagipula… ada beberapa hal yang memang layak dikasih yang terbaik.”
Anya meliriknya cepat, lalu pura-pura fokus lagi. “Hmm, manis juga kalau ngomong.”
Andara dari luar sengaja bersuara keras, “Awas baper, Kak Anya!”
Anya langsung melihat keluar dapur. “Kamu dari tadi nyimak ya?! Bantuin kek, jangan cuma duduk!”
“Siap, Komandan!” teriak Andara sambil pura-pura hormat.
---
Sedangkan suasana di meja depan, sambil menunggu, Pak Bram berbincang santai dengan pelanggan lain yang baru masuk. Ada Bu Narti, tentu saja, yang langsung kepo.
“Wah, Bapak baru ya di sini?” tanya Bu Narti.
“Iya, Bu,” jawab Pak Bram sopan. “Saya dengar roti di sini enak sekali, jadi penasaran.”
Bu Narti tersenyum lebar. “Ih, pantes ganteng. Nggak heran kalau punya putri secantik ini, sayang saya cuma punya keponakan satun kalau dua udah saya jodohkan sama kamu.”
Andara nyaris meledak menahan tawa."Sudah menikah ya Bu?"
"Belum sih, tapi mau saya jodohkan dengan Anya" jawab Bu Narti santai
Mendengar itu Daddy Abraham dan Andara menyemburkan minumnya dan membuat Bu Narti kaget.
---
Setelah kekacauan kecil tak lama kemudian, Anya keluar membawa nampan besar. “Nah, ini dia. Semua andalan Sweet Anya.”
Pak Bram mencoba satu per satu. Wajahnya tenang, tapi sesekali mengangguk. “Lembut… manisnya pas… wangi pandan yang ini luar biasa. Siapa yang bikin?”
“Ya jelas Raka,” jawab Andara cepat.
Anya tersenyum bangga. “Iya, dia jago banget bikin roti. Saya beruntung punya karyawan sepert—”
Tiba-tiba Pak Bram menatap Raka agak lama. “Pernah ikut kursus di luar negeri, Mas?”
Raka hampir tersedak udara. “Ehh… nggak, cuma belajar otodidak.”
Pak Bram mengangguk pelan. “Hmm… bakat alam, berarti.”
Andara menunduk sambil menahan senyum puas—mission almost accomplished.
---
Selesai makan, Pak Bram mengeluarkan dompetnya. “Boleh saya bayar sekaligus lebih? Anggap saja untuk modal eksperimen menu baru.”
Anya kaget. “Lho, Pak… ini kebanyakan banget.”
Pak Bram tersenyum. “Anggap saja hadiah kecil dari saya. Untuk kalian berdua.”
Tatapan itu jelas mengarah ke Raka dan Anya bersamaan, membuat Anya bingung tapi sedikit tersipu.
Raka buru-buru menengahi. “Terima kasih, Pak. Tapi—”
“Sudah, terima saja,” potong Pak Bram tegas.
Saat mereka keluar, Andara sempat berbisik ke Raka, “Lihat? Daddy suka sama kamu. Tinggal tunggu waktu aja sampai Anya tahu.”
Raka mendengus. “Dan saat itu tiba, kamu yang bersihin semua loyang di toko ini.”
Andara tertawa puas sambil melambaikan tangan pada Anya.
---
Raka kembali ke dapur. Anya masih memandang ke arah pintu.
“Kamu kenal mereka?” tanya Anya pelan.
Raka menahan napas, lalu menggeleng. “Cuma pelanggan.”
Anya tersenyum tipis, tapi matanya berkata lain. “Pelanggan yang kayaknya bakal sering datang.”
Raka membalas dengan senyum samar. “Ya… mungkin saja.”
...----------------...
Di sebuah perusahaan mewah di pusat kota, Sonia menggenggam ponselnya dengan tatapan frustrasi.
Rambut hitamnya yang tergerai sempurna tampak sedikit berantakan jarang sekali terjadi untuk wanita yang selalu tampil bak majalah fashion.
“Kenapa dia nggak balas?!” gerutunya, menatap layar yang hanya menampilkan chat tanpa centang biru.
Ia sudah menelepon berkali-kali sejak seminggu lalu, tapi hasilnya sama—sunyi.
Seorang pria paruh baya berdiri di dekatnya, sekretaris keluarga Adrian.
“Maaf, Nona Sonia,” ucapnya dengan suara hati-hati, “Tuan Adrian… sedang sangat sibuk. Beliau keluar kota.”
Sonia menatapnya tajam. “Keluar kota ke mana?!”
Pria itu menunduk. “Saya tidak bisa memberi detail, Nona. Ini urusan pribadi beliau.”
“Pribadi?!” Sonia mendengus, lalu tertawa miris. “Aku adik dari sahabat terdekatnya. Masa aku bahkan nggak boleh tahu dia di mana?”
Sekretaris itu hanya menunduk lebih dalam. “Saya minta maaf.”
Sonia memalingkan wajah, matanya berkilat penuh tekad. “Baiklah. Kalau dia nggak mau kasih tahu, aku yang akan cari. Sendiri.”
---
Tiga hari terakhir, Sonia menyusuri kafe, restoran langganan Adrian.
Tidak ada satu pun jejaknya.
Ia bahkan mendatangi rumah Adrian, tapi penjaga hanya memberi jawaban yang sama, “Tuan tidak di tempat.”
Di ruang pribadinya, Sonia duduk sambil menatap album foto. Di layar, ada Adrian dalam balutan jas, senyum tipisnya yang khas.
“Tuan sombong… pikir bisa menghindar dariku? Tunggu saja,” bisiknya.
---
Kembali ke Sweet Anya
Sementara itu, di Sweet Anya, Raka sedang mengeluarkan roti panggang dari oven. Wajahnya tenang, tapi di balik itu, ia sadar ada bayang-bayang masa lalu yang bisa saja muncul kapan saja.
Penyamaran ini adalah hal paling nekat yang pernah ia lakukan—dan sejauh ini hanya Daddy, Mommy, Andara, dan asistennya yang tahu.
Tidak ada orang luar yang boleh tahu, apalagi… Sonia.
Di luar sana, ia yakin wanita itu masih mencari.
Dan jika Sonia berhasil menemukan Anya sebelum waktunya, segalanya akan kacau.
Bersambung…
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔