"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Hari Pelantikan
Matahari pagi bersinar lembut di langit biru, seolah ikut merayakan hari yang telah dinanti selama bertahun-tahun. Lapangan upacara dipenuhi oleh lautan manusia—keluarga para taruna, petinggi militer, serta tamu undangan dari berbagai kalangan. Di barisan paling depan, berdiri tegap seorang pemuda dengan seragam taruna lengkap yang rapi dan gagah. Itulah Cakra, kini tinggal selangkah lagi resmi menyandang pangkat sebagai perwira muda.
Detik demi detik berjalan lambat namun sakral. Setiap aba-aba dari komandan upacara terasa seperti gema masa lalu—mengingatkannya pada hari pertama ia menginjakkan kaki di akademi, hari-hari latihan yang melelahkan, hingga malam-malam panjang penuh doa dan rindu.
Keringat mengalir perlahan di pelipisnya, bercampur haru yang tak bisa ia bendung. Dalam hati, ia menyebut nama ayahnya—sosok yang tak bisa hadir secara fisik, tapi selalu hidup dalam semangatnya. Lalu ia menyebut ibunya, yang berdiri entah di mana di antara kerumunan, dan Shifa—nama yang selama ini ia simpan dalam diam, namun terus menyalakan api semangat di hatinya.
Tiba-tiba, komando akhir diteriakkan lantang oleh pemimpin upacara.
“Komando!”
Serentak, puluhan taruna melempar topi mereka tinggi ke udara. Sorak sorai meledak. Langit seakan menjawab dengan kilau cahaya yang lebih terang dari biasanya. Cakra menengadah, dadanya bergemuruh oleh rasa bangga. Hari ini, mimpi masa kecilnya resmi menjadi nyata.
Langkah-langkah kaki Cakra masih terasa mantap di atas tanah lapangan, tapi hatinya mulai lembut, luluh oleh perasaan haru. Seusai upacara, ia menembus kerumunan, mencari satu sosok yang selalu hadir dalam setiap langkah hidupnya. Dan di sana, di antara para orang tua yang bersorak dan menangis haru, berdiri seorang wanita sederhana dengan senyum bangga—ibunya.
Cakra menghampiri, lalu merunduk, mencium punggung tangan wanita itu dengan penuh hormat.
“Bu...” ucapnya lirih.
Ibunya tak berkata apa-apa lebih dulu. Ia hanya menarik putranya ke dalam pelukan erat, seakan ingin memeluk seluruh perjuangan yang telah mereka lewati bersama. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Di balik suara ramai perayaan, bisikan ibunya terdengar seperti mantra yang menenangkan.
“Ayahmu pasti bangga…” katanya dengan suara bergetar.
Cakra menunduk dalam pelukan itu, genggaman tangannya pada tubuh ibunya menguat. “Terima kasih, Bu… semua ini karena Ibu yang nggak pernah nyerah sama aku.”
Mereka berdiri lama dalam pelukan itu, membiarkan waktu sesaat berhenti di tengah keramaian. Namun tanpa disadari, tak jauh dari mereka, seorang gadis berdiri diam. Di tangannya, ada bucket bunga yang dihias dengan pita merah. Senyum manis terukir di wajahnya, menyimpan kejutan yang telah ia dan sang ibu rancang diam-diam. Matanya hanya tertuju pada satu orang: Cakra.
Pelukan perlahan terlepas. Cakra menghapus peluh dan sisa air mata di wajah ibunya dengan lembut. Ia hendak berkata sesuatu, namun sang ibu justru menoleh ke belakang dan tersenyum penuh arti.
“Ada yang datang untukmu,” ucapnya pelan, seakan menyimpan rahasia besar.
Cakra spontan membalikkan badan.
Di sanalah dia—Shifa, berdiri tak jauh, mengenakan dress sederhana berwarna biru muda yang tertiup angin ringan. Di tangannya, bucket bunga matahari dan mawar putih tampak cerah, mencolok di antara kerumunan. Tapi tidak lebih mencolok dari senyumnya yang malu-malu.
“Selamat, Cakra,” ucap Shifa pelan, namun suaranya cukup untuk menggetarkan hati yang sudah terlalu lama menahan rindu.
Cakra terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, matanya membulat. Dunia seolah hening untuk sesaat.
“Shifa… kamu di sini?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Shifa mengangguk pelan. Cakra melangkah mendekat, lalu memeluk gadis itu dengan erat—tak peduli dengan siapa yang melihat. Ini adalah orang yang selama ini hadir di saat-saat gelap, yang berhasil membuatnya percaya lagi bahwa cinta itu masih ada, dan layak diperjuangkan.
Dari samping, ibunya tertawa kecil, penuh kebahagiaan. “Kita sudah rencanakan ini dari sebulan lalu. Susah loh jaga rahasianya.”
Cakra hanya bisa menggeleng sambil tertawa haru, hatinya penuh oleh sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya bahagia yang utuh.
Belum sempat Cakra melepaskan genggaman tangannya dari Shifa, dua sosok berlari kecil dari arah belakang, lengkap dengan seragam resmi yang kini mulai terlihat kusut karena peluh dan euforia.
“Cieee perwira dan dokter masa depan!” teriak Darma, suaranya nyaring, langsung mencuri perhatian sekitar.
Hakim menepuk bahu Cakra sambil tertawa keras. “Wah, jadi ini toh yang kamu rahasiain terus, bro? Pantesan waktu ditanya soal cewek, jawabnya selalu ngambang!”
Shifa menunduk malu, kedua tangannya menggenggam bunga erat-erat. Wajahnya yang tadi sudah merona, kini benar-benar merah seperti tomat. Sementara itu, Cakra hanya bisa menggeleng sambil tertawa.
“Gila, kalian emang nggak pernah bisa serius ya,” ujar Cakra geli, meski hatinya hangat mendengar tawa sahabat-sahabatnya.
Darma menyenggol Hakim sambil tertawa. “Abis ini nikah di barak atau di lapangan upacara nih?”
Tawa pecah di antara mereka. Tak ada lagi ketegangan. Tak ada lagi beban. Hanya persahabatan yang tulus, cinta yang nyata, dan masa depan yang menanti dengan segala ketidakpastiannya—tapi untuk kali ini, harapan terasa begitu dekat dan nyata.
Keramaian di lapangan pelantikan masih berlangsung. Tawa, pelukan, dan sorak-sorai memenuhi udara yang hangat oleh semangat dan kebahagiaan. Namun di tengah semua itu, Cakra justru merasa waktu melambat.
Ia menarik napas panjang, tangannya merogoh saku dalam seragam resminya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut beludru hitam—sudah lama kotak itu ia simpan, bahkan saat hatinya sempat hancur oleh keraguan.
Cakra berdiri diam sejenak, lalu berlutut tepat di hadapan Shifa.
Semua suara seketika memudar di telinga Shifa. Ia menatap Cakra yang membuka kotak itu perlahan—di dalamnya ada cincin perak sederhana, tapi bercahaya seolah menyimpan seluruh harap dan rindu yang pernah ada.
Cakra menatap mata Shifa dalam-dalam. Suaranya bergetar, namun tegas.
“Shifa… maukah kamu jadi ibu dari anak-anakku?”
Shifa mematung. Tangannya menutup mulut, air mata mulai berkaca di sudut matanya. Beberapa detik ia tak sanggup menjawab—lalu akhirnya ia mengangguk pelan, suaranya nyaris berbisik namun penuh keyakinan.
“Aku terima… tapi tunggu aku sampai selesai koas, ya?”
Senyum Cakra merekah, seakan semua perjuangannya selama ini terbayar lunas.
“Aku siap nunggu. Seumur hidup pun.”
Sorak Darma dan Hakim terdengar lagi, lebih heboh dari sebelumnya, diiringi tepuk tangan kecil dari orang-orang sekitar yang menyaksikan momen itu. Ibu Cakra menatap mereka dengan senyum penuh haru, matanya berkaca-kaca.
Dan di langit biru yang tenang, masa depan seolah menulis awal baru—bukan hanya untuk seorang perwira muda, tapi juga untuk seorang laki-laki yang kini percaya bahwa cinta bisa kembali… dan tumbuh kuat bersama mimpi.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf