Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Laki-laki Cerdas & Tangguh
Saat teringat masa-masa ia dan Marwah dulu, Rambo mempererat genggamannya, menciumi sela jemari Marwah lebih dekat. Sebelumnya, sungguh sesal terus menghantui Rambo karena tak sadar akan perasaannya pada Marwah, hingga ia kehabisan kesempatan, saat Marwah sungguh pergi 5 tahun yang lalu.
Detik pertama Rambo menyentuh jemari itu dengan bibirnya, ia sudah merasakan. Ada arus... pengharapan akan takdir bahagia di antara mereka. Betapa inginnya ia untuk segera mewujudkan perasaan itu, tapi kesadaran akan ikatan mereka yang rumit taj kau lenyap.
Marwah bergerak, ketika Rambo menciumi jemarinya terus. Matanya yang menakjubkan terbuka dan memandangi Rambo. Dan untuk sejenak, Rambo memanjakan diri melihat kedalam mata itu.
Lalu saat Marwah berbicara dan Rambo langsung menjauhkan wajahnya.
"Om? Kenapa kamu di sini? Kita di mana?"
Rahang Rambo menegang dan tulang punggungnya menjadi kaku. Bagaimana ia menjelaskan bahwa Marwah pingsan karena mereka telah berciuman sebelumnya? Rambo adalah lelaki sejati, bukan pria yang mudah terbujuk hasrat pada sepasang mata coklat bening dan tubuh kecil yang imut.
"Kamarmu." Jawab Rambo.
"Oh," kata Marwah menghembuskan napas lega, namun sesaat langsung berubah setelah berhasil mencerna jawaban Rambo barusan. "Hah? Apa?"
"Ja-jangan berpikir macam-macam dulu! aku tidak melakukan apa pun padamu kok. Masih ada kesadaran, sungguh."
Marwah hanya diam, mengalihkan pandangan ke kasur. Mata sendu itu dapat dirasai oleh Rambo, tentulah ia peka pada wanita yang dicintainya itu. Hingga ia mengambil alih pembicaraan lagi.
"Kamu baik-baik saja? Atau masih memikirkan soal tadi? Maaf kalau aku bertindak kurang baik padamu, sungguh aku tak bermaksud macam-macam atau menjadikan kamu pelampiasan hasrat. Sungguh tidak sama sekali!"
Namun, hening... Masih tak ada jawaban apa pun. Entah apa yang dipikirkan Marwah saat ini, mungkin bukan perkara ciuman saja. Tapi lebih kepada Erin.
"Oh, kamu belum menjawab kata-kata ku tadi, sebelum kamu pingsan. Kamu masih ingat? Begini, aku akan menceraikan Erin. Aku juga sudah menemui orang tuanya tadi pagi untuk mengatakan rencana ini. Begitu kan? Mengembalikan dia baik-baik pada orang tuanya." Lalu sekali lagi, Rambo meraih tangan Marwah dan menggenggamnya Erat. Bersamaan dengan itu, kini mereka saling berpandangan.
"Sebentar lagi, setelah semua hubungan kita dengan pasangan masing-masing selesai. Aku dan kamu akan segera bersatu. Kamu senang kan?"
Dengan napas yang berat, Lemah dan penuh kesesakan. Marwah membalas Rambo dengan tatapan putus asa yang amat menyakitkan.
"Jangan... Ceraikan Ibu, Om---" Katanya pelan.
Rambo mengernyitkan dahi, sebelah alisnya terangkat. Apa yang ada dalam pikiran Marwah, seberapa berat angin topan yang dirasakannya sehingga tiba-tiba saja mengatakan permintaan demikian? Ini jauh dari bayangan Rambo.
"Apa maksudmu?" Rambo mengubah raut wajahnya seketika.
"Renungilah Om. Kamu tak tahan dengan bu Erin, karena ia tak pandai mengurus rumah tangga. Padahal kamu tahu Bu Erin itu, dari dulu memang sudah terbiasa tak pernah menyentuh dapur. Emosi yang meledak-ledak, padahal kamu sendiri sudah tahu dia memang masih muda, masih wajar kan kalau belum memiliki emosi yang stabil? Karena itu sudah menjadi tugasmu sebagai kepala keluarga juga pembimbing untuknya, arahkan dia pada hal yang sepatutnya ia jalani sebagai seorang istri." Marwah berhenti sejenak, menggantung kata-katanya. Kemudian melanjutkan.
"Om, Wanita zaman sekarang, setelah menikah dituntut multi-peran. Dia bekerja mencari uang untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Dia melayani suami, mengurus anak-anak. Sedangkan banyak laki-laki yang merasa tugasnya hanya mencari nafkah. Padahal, tanpa laki-laki pun, perempuan bisa mencari nafkah sendiri."
Mendadak hening, Rambo masih menatap Marwan dengan tatapan yang dingin untuk melihat reaksinya.
"Tidak masalah." Rambo mendekatkan diri pada Marwah dengan kepercayaan penuh, membuat tubuh Marwah terbakar gairah yang tak bisa dihilangkannya dengan mudah. "Apa yang membuatmu mengatakan ini? Aku tak butuh jawaban itu. Yang kubutuhkan adalah kamu terus mendukungku, dan kita berjuang bersama. Maka aku akan baik-baik saja."
Mata Marwah terpejam lagi sebelum Rambo kembali mendekatkan wajahnya, dan apa pun yang ingin dia katakan, lenyap tak tersampaikan. Rambo berhenti tepat pada jarak sekitar 1 kilan saja dari wajah Marwah.
"Buka matamu, dan tatap aku! Katakan apa yang kamu pikirkan sekarang?! Jelaskan padaku mengapa tiba-tiba mengatakan hal itu?!"
Dengan gerakan pelan, Marwah menuruti keinginan Rambo. Hingga saat kedua pasang sorot mata itu bertemu, Marwah terdiam.
"Kalau kamu tidak jawab, aku tak akan mengubah pikiran. Aku akan tetap menceraikan Erin!" kata Rambo kembali.
"Om!!!"
Semilir angin yang dingin dan lembab meniup-niup dari luar jendela, membuat rambut Marwah berkibar membentuk api merah gelap. Tak seharusnya ia menyiasati Rambo, atau berupaya untuk menyembunyikan sesuatu darinya, Marwah sadar itu. Sebab, sekali lagi, Rambo terlalu cerdas dan terlalu peka di balik penampilan luarnya yang gemar bercanda, dulunya.
"Katakan padaku dengan jujur! Apa kah kamu sudah tak percaya lagi padaku?! Jika kamu berencana untuk menutupi sesuatu dariku," Bisiknya di telinga Marwah. "Ku ingatkan kamu Marwah. Aku bukanlah lelaki kikuk dan lugu yang bisa kamu kelabui dengan kata-kata basi semacam itu. Aku akan mendapatkan jawaban darimu, jika tidak---wanita yang paling kucintai atau bukan---kau akan tetap menjadi milikku, dan aku akan tetap menceraikan Erin."
"Ibu sudah tahu semuanya, Om!" Marwah mengaku.