kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inikah namanya cinta?
Dengan tangan gemetar Tiwi membuka surat yang diberikan oleh Rudy tadi. Saat ini waktu istirahat pertama, dan dia menyendiri di halaman belakang sekolahnya. Kertas surat berwarna biru muda dan harum baunya.
Tulisan yang sangat amat rapi untuk ukuran seorang cowok, membuat Tiwi sangat terkesima…
Teruntuk Dek Tiwi seorang,
Setelah Kamu buka dan baca coretanku ini, kamu akan mengerti jika apa yang pernah aku sampaikan beberapa saat yang lalu itu bukan sekedar gurauan semata.
Dek, aku memang beneran suka sama kamu, aku telah jatuh cinta padamu. Kamu telah berhasil memporak porandakan hati dan pikiranku. Membuatku selalu terbayang wajah ayumu itu. Dan aku pun tau jika Adek juga memiliki rasa yang sama denganku, nggak geer sih, tapi pandangan matamu itu menyiratkan segalanya.
Maka sudilah kiranya Adek mau menerima cintaku ini, mau ya jadi pacarku?
Dari yang selalu mencintaimu dalam diam,
Rudy Hartono..
Tiwi membacanya berulang kali, dia nyaris tidak percaya jika ternyata cowok yang juga mulai mengisi hatinya itu pun mencintainya. Ada rasa bangga dan bahagia yang Tiwi rasakan. Diantara semua teman ceweknya yang mengidolakan Rudy, dialah yang dipilih untuk jadi pacarnya.
Dia berniat nanti sepulang sekolah akan membeli kertas surat untuk balasan surat cinta Rudy itu.
—----------
“Kemana saja kamu Wi? Kok istirahat nggak kelihatan di kantin?” tanya Anita teman sebangkunya.
Tiwi hanya tersenyum tipis menanggapi rasa penasaran temannya ini.
“Lagi pingin mojok sendiri aja, menghafal pelajaran buat ujian akhir,” jawabnya enteng.
Anita pun manggut-manggut. Siapa yang nggak tau jika Tiwi ini bintang pelajar yang nilainya selalu diatas rata-rata itu.
Dan saat pulang sekolah pun tiba, setelah mampir membeli kertas surat, maka Tiwi pun berjalan menyusuri jalan raya menuju rumahnya. Tiba-tiba sebuah motor vespa berhenti di sampingnya.. Pak Fauzul Adhim sang guru Matematika sekaligus wali kelasnya, yang menaiki motor vespa itu tersenyum dan memintanya untuk naik ke boncengan.
“Ayo, naik ke boncengan Wi, nanti aku turunkan depan rumahmu.”
Tanpa banyak protes, gadis remaja itu pun naik dan duduk manis di boncengan.
“ Kok tumben nggak bawa sepeda kamu Wi?” tanya pak Adhim.
“Iya Pak… sepeda saya bocor bannya belum sempat saya bawa ke tambal ban.”
“Ooh.. bagaimana kamu?
Sudah siap ikut EBTANAS?” Tanya pak Guru itu lagi.
“ Siap nggak siap harus siap Pak…”
Hahahahaha… sang guru tertawa.
“Kalau kamu merasa ada kesulitan saat belajar terutama yang masih belum kamu pahami tentang Matematika, kamu segera bilang ke saya ya.”
Tiwi mengangguk sembari menjawab pelan. Jujur saat ini pikirannya sedang bercabang kemana-mana.
Dan sesampainya di depan rumah, pak Adhim menghentikan motornya dan Tiwi pun turun, mencium takzim tangan sang Guru sebelum kemudian melangkah masuk kedalam rumah.
—---------
Rumah lumayan sepi, hanya ada neneknya yang sedang memasak di dapur.
“Kok sepi Mbah? Kemana semua orang?”
“ Bapakmu pulang ke kota M. Ibumu sedang ke rumah kakekmu,” Jawab bu Mirah sembari meletakkan ubi rebus yang masih baru diangkat dari kukusan.
“Cepat ganti baju, cuci tangan dan kaki, trus makan,” titah sang nenek.
Tiwi pun masuk ke kamarnya, mengganti bajunya dengan setelan rumahan biasa. Lalu pergi mencuci kaki dan tangannya, dan berakhir dengan duduk manis di depan neneknya, makan ubi rebus panas itu.
“Nggak makan nasi dulu kamu?” Tanya sang Nenek heran.
Tiwi menggelengkan kepalanya,
“Ini aja udah kenyang Mbah…”
Dan bu Mirah pun menemani sang cucu makan siang itu dalam diam.
—-----------
Tiwi menulis balasan surat untuk Rudy dengan penuh perasaan.
Buat Mas Rudy disana…
Terimakasih atas semua pernyataan dan rasa cinta yang Mas coba berikan padaku.
Jujur memang aku juga menyukaimu Mas, tapi aku menyadari, aku masih sangat kecil. Aku takut pacaran Mas. Aku juga takut dimarahi kedua orang tuaku jika ketahuan nanti.
Jadi simpan saja dulu rasa itu sampai nanti waktu yang tepat.
Maafkan aku Mas
Salam sayang selalu,
Tiwi Rastuti
Tiwi melipat surat itu dan menyimpannya di dalam buku cetaknya. Karena tidak aman menyimpan di saku Tas sekolahnya yang selalu diperiksa oleh sang Ibu.
Kakak keduanya pulang sekolah, dan karena anak SMK sudah lebih dulu selesai melaksanakan ujian akhir, maka dia hanya bermain-main dengan teman-temannya tadi.
“Kamu ujian kapan Wi? Minggu depan ya?” Tanya Adi sembari duduk di kursi depan Tiwi, mencomot ubi rebus, lalu memakannya dengan santai.
Tiwi mengangguk, memasukkan bukunya ke dalam rak di sebelah mereka. Kemudian ikut mencomot ubi rebus seperti kakaknya ini.
“Bagaimana ya jika ketiga istri Bapak berkumpul di pulau Jawa, pasti Bapak akan bingung bagi waktunya, dan kita akan bebas tanpa pengawasan ketat kayak gini ya Wi?”
Tiwi menoleh, memandangi wajah kakak kedua nya yang memang songong ini, tapi dia melihat ada keseriusan dalam kata-katanya kali ini.
“Loh, memangnya ibunya mas Adi mau datang ke Jawa?” Tanya Tiwi.
Adi mengangguk pasti.
Bu Mirah yang mendengar itu menjadi kaget, ada apakah Roslina akan datang kembali ke Jawa? Apakah akan menemui Tiwi, si bungsu yang sedari kecil dia berikan kepada keluarga ini? Apakah Tiwi akan dibawanya pulang ke pulau seberang? Hati dan pikiran bu Mirah langsung kacau balau.
“Benarkah ibumu akan datang Di?” Tanya bu Mirah pada Adi.
“Katanya sih begitu mbah. Mau lihat mbak Rini lahiran..” jawab Adi.
“Ooh.. kapan ibumu datangnya ?” tanya bu Mirah lagi.
“Nggak tau Mba, cuma bilangnya kalau mbak Rini sudah lahiran mau datang ke Jawa lihat cucunya… lagian ibuk juga harus ngumpulin sangu yang banyak kan? Tiket kapal dan biaya dari kampung ke kota saja segitu banyak dan mahal Mbah..” terang Adi pada nenek itu.
Bu Mirah manggut-manggut sedikit lega, karena tidak dalam waktu dekat ini ibu kandung Tiwi itu datang. Hatinya masih belum siap jika harus kehilangan Tiwi, dan tidak akan pernah siap sampai kapanpun. Karena anak itu sudah menjadi belahan jiwanya.
—----------
Rudy duduk di bangku teras samping rumah kos nya. Dia sedang melamun, menerka-nerka apakah jawaban yang akan diberikan oleh Tiwi nanti. Belum pernah dia merasakan jatuh cinta kepada seorang gadis seperti yang dia rasakan saat ini pada Tiwi… gadis yang diam-diam selalu dia perhatikan selama ini, tiap pulang sekolah, dia selalu melihat gadis berambut panjang itu menyapu halaman dan menyiram tanaman. Gayanya yang tomboy membuatnya semakin unik, menarik hatinya untuk mencoba mendekatinya. Dan semesta memberinya jalan saat bulan puasa lalu dia bisa tarawih bersama. Lelaki muda itu tersenyum kala mengingat betapa nakalnya dia menggenggam tangan Tiwi saat gadis itu mendapat barisan sholat tepat di sisinya lalu. Hm, Tiwi… benar-benar seluruh pikiranku dan hatiku penuh dengan namamu…
“Kok senyum-senyum sendirian Mas? Lagi mikirin apa hayooo…” tiba-tiba Iis anak dari pemilik kost sudah duduk di sebelahnya.
Rudy yang terkejut segera menoleh dan menggeser duduknya agak menjauh. Dia tidak ingin citranya yang sudah baik selama tiga tahun kos disini akan tercoreng jika bapak ibu kos nya tau jika dia memacari anaknya. Untuk itu dia yang sempat mengiyakan dulu permintaan Iis agar dia menjadi pacar pura-puranya demi menolak seorang cowok yang memaksa ingin jadi pacarnya sangat menyesali keputusannya lalu itu. Karena Iis malah keterusan menganggapnya pacar. Padahal dia tidak ada hati sama sekali, dia hanya menganggap Iis adalah adiknya. Dan seperti saat ini iis akan menempel padanya, yang sejujurnya membuatnya merasa risih.
“Eh, kamu Dek, nggak kok, nggak lagi mikir apa-apa. Ada apa nih kok tumben sore-sore sudah rapi?” tanya Rudy basa basi.
Iis tersenyum centil, lalu menyeret kursinya mendekat kembali ke arah Rudy.
“Ya aku dandan cantik buat siapa sih kalau nggak buat kamu Mas…”
Rudy langsung berdiri dari duduknya, dia pun bersandar pada tiang rumah.
“Oh, em… hehhehe… jangan gitu Dek, nanti pacarmu marah loh.”
“Loh gimana seehh.. pacarku kan yo sampeyan toh Mas.. kok marah? Emange aku kurang cantik a Mas?”
“Oh, eh, engg.. anu Dek, kamu itu cantik kok.” Jawab Rudy gugup. Dia paling tidak bisa menghadapi anak gadis yang sangat agresif seperti iis ini.
Akhirnya dilihatnya teman satu sekolahnya lewat, segera dipanggilnya,
“Wan! Tunggu! Aku ikut kamu !”
Iwan yang tidak tau apa-apa jadi bingung. Pasalnya dia ini mau pulang kembali ke rumahnya, bukan mau jalan kemana gitu, ngapain si Rudy kok malah ikut dirinya.
“Loh, aku ini cuman mau pulang Rud, kamu kok ikut?” Tanya Iwan heran.
Rudy tetap berlari mendekatinya, dan mengajaknya jalan kembali. Yang penting dia bisa segera menjauhi Iis. Dan dia hanya melambaikan tangannya pada Iis yang memandangi kepergiannya dengan wajah cemberut.
**********